Merampas
Daulat Rakyat
Saldi Isra ;
Guru
Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO), FH
Universitas Andalas
|
KOMPAS,
09 September 2014
PEMBAJAKAN proses politik yang lebih demokratis terus
berlangsung. Kecenderungan yang terlihat dalam beberapa waktu terakhir,
pembajakan tersebut dilakukan melalui proses legislasi. Salah satu bentangan
fakta yang tersaji di depan mata kita,
keinginan mayoritas kekuatan politik di DPR mengganti pola pemilihan
kepala daerah dari pemilihan langsung jadi pemilihan tidak langsung.
Padahal,
apabila dilacak riwayat proses panjang pembahasan RUU Pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada), keinginan memilih kepala daerah secara tidak langsung (via DPRD)
sesungguhnya dari usulan pemerintah. Namun, begitu pemerintah berubah sikap
untuk mempertahankan pemilihan langsung, justru mayoritas partai di DPR
berbalik arah dengan menyatakan kepala daerah dipilih oleh anggota DPRD.
Perubahan
sikap mendadak tersebut diambil oleh lima dari enam fraksi di DPR yang
tergabung dalam Koalisi Merah Putih. Kelima fraksi yang berubah sikap secara
mendadak ini adalah Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional,
Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Gerakan Indonesia Raya. Hanya Fraksi
Partai Keadilan Sejahtera yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih bertahan
dengan usul gubernur, bupati, dan wali kota dipilih secara langsung.
Anehnya,
semua fraksi yang berubah sikap itu mengambil alih hampir semua argumentasi
yang dulu dikemukakan pemerintah. Misalnya, pemilihan langsung tak efisien,
masifnya praktik politik uang, dan menimbulkan demokrasi berbiaya tinggi.
Padahal, pemilihan langsung tidak bisa dikorbankan semata-mata hanya karena
persoalan efisiensi biaya demokrasi yang dinilai sangat mahal (Kompas, 7/9).
Bahkan, berbalik arah ke pemilihan oleh DPRD dapat dikatakan sebagai bentuk
nyata merampas daulat rakyat.
Melihat
perkembangan ini, pertanyaan mendasar yang tidak mungkin dihindarkan: bagaimana
menjelaskan perubahan sikap mendadak mayoritas kekuatan politik di DPR ini?
Pertanyaan lain yang lebih menggelitik: adakah perubahan sikap mendadak ini
terkait dengan hasil Pemilu Legislatif 2014 dan konstelasi politik setelah
Pemilu Presiden 2014?
Masalah konstitusional
Secara
konstitusional, debat sentral di sekitar pilkada terkait frasa ”dipilih
secara demokratis” dalam konstitusi. Dalam hal ini, Pasal 18 Ayat (4) UUD
1945 menyatakan: gubernur, bupati, dan wali kota sebagai kepala daerah
provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Sekalipun frasa
”dipilih secara demokratis” memiliki makna ganda, pembentuk UU (pemerintah
dan DPR) telah mempersempitnya menjadi dipilih secara langsung. Melalui Pasal
56 UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, secara eksplisit ditegaskan:
kepala daerah dipilih secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Sekiranya
dibaca dan diikuti semangat yang melingkupi kehadiran Pasal 56 UU No 32/2004,
secara sederhana dapat dikemukakan bahwa pilihan pembentuk UU memaknai frasa
”dipilih secara demokratis” menjadi pemilihan secara langsung dapat dikatakan
sebagai salah satu bentuk konkret penerapan asas kedaulatan rakyat.
Bagaimanapun, dengan menggunakan sistem perwakilan, rakyat akan kehilangan
kedaulatannya untuk secara langsung menentukan kepala daerah. Banyak
pengalaman menunjukkan bahwa pemilihan dengan sistem perwakilan acap kali
mendistorsi kehendak dan logika rakyat.
Dengan
memilih pemaknaan tersebut, pembentuk UU menyadari hasil perubahan UUD 1945
tak lagi menempatkan daulat rakyat di tangan lembaga perwakilan. Artinya,
mengubah makna frasa ”dipilih secara demokratis” untuk kembali dipilih
lembaga perwakilan akan jadi persoalan konstitusional yang sangat serius.
Lalu, bagaimana mempertanggungjawabkan secara konstitusional pilihan politik
mengganti makna ”dipilih secara demokratis” dari dipilih secara langsung
menjadi dipilih oleh DPRD? Pertanyaan ini kian menarik karena Pasal 1 Ayat
(2) UUD 1945 menyatakan, kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
UUD.
Karena
itu, sekalipun frasa ”dipilih secara demokratis” acap kali dimaknai sebagai
open legal policy dari pembentuk UU, pemerintah dan DPR tak bisa semena-mena
mengubah mekanisme pemilihan kepala daerah menjadi pemilihan dengan sistem
perwakilan. Selain telah terlebih dahulu dimaknai sebagai pemilihan langsung,
perubahan ke arah pendulum yang berlawanan ini jelas akan merusak kepastian
hukum dalam proses pemilihan kepala daerah. Padahal, pilihan politik yang mengabaikan
kepastian hukum dapat menjadi alasan untuk mempersoalkan substansi sebuah
undang-undang.
Selain
itu, karena pemilihan kepala daerah terkait dengan hubungan pusat-daerah,
seberapa jauh DPD dilibatkan dalam pembahasan RUU Pilkada ini? Sekiranya DPD
tidak dilibatkan secara wajar, perubahan proses pemilihan kepala daerah ini
akan memiliki cacat formal yang sangat nyata. Dikatakan demikian, Pasal 22D
UUD 1945 mengharuskan adanya peran DPD dalam setiap proses kehadiran UU yang
terkait dengan hubungan pusat dan daerah. Cacat formal itu akan makin nyata
jika dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No 92/PUU-X/2012 yang
menghendaki adanya pembahasan tripartit DPR-pemerintah-DPD dalam setiap
rancangan UU yang terkait dengan Pasal 22D UUD 1945.
Tidak
hanya persoalan di atas, terkait masalah ini, dalam tulisan ”Haruskah Kembali
ke DPRD” (Kompas, 16/12/2010) dikemukakan, upaya mengembalikan penyempitan
makna ketentuan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 ke pemilihan oleh DPRD tidak
sesederhana itu. Argumentasi tambahan yang harus dicari: bagaimana mengubah
putusan MK yang telah meneguhkan pilkada secara langsung? Selain meneguhkan
pemilihan langsung, MK juga memberikan ruang bagi calon perseorangan. Karena
itu, tidak hanya bertolak belakang dengan makna hakiki kedaulatan rakyat,
mengembalikan pilkada ke DPRD jelas memupus eksistensi calon perseorangan.
Merujuk
penjelasan tersebut, persoalan-persoalan konstitusional yang mengancam
konstitusionalitas RUU Pilkada ini harus dihitung betul oleh DPR dan
pemerintah. Artinya, mengabaikan persoalan tersebut berpotensi menggugurkan
formalitas dan substansial UU ini nantinya. Dalam hal ini, DPR dan pemerintah
harus belajar banyak dari kesalahan yang terjadi dalam proses pergantian UU
No 27/2009 menjadi UU No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Sebagaimana
diketahui, hanya hitungan hari setelah disetujui, beberapa kelompok (termasuk
DPD) telah bersiap menguji ke MK. Jika dilacak permohonan yang masuk ke MK,
hampir semua substansi UU No 17/2014 dinilai cacat konstitusional.
Ganti bukan solusi
Secara
jujur harus diakui, sejak menggunakan mekanisme pemilihan kepala daerah secara
langsung memang muncul banyak persoalan. Di antara persoalan yang paling
menonjol: meruyaknya praktik politik uang. Sebagai sebuah persoalan, sejak
semula telah dikemukakan oleh banyak kalangan, persoalan politik uang dapat
diminimalisasi sekiranya partai politik memiliki kontrol yang ketat terhadap
pasangan calon yang mereka usung. Namun, pada faktanya, partai seperti enggan
melakukan langkah penertiban. Bahkan, di titik-titik tertentu, sebagian
partai politik seperti menikmati praktik curang ini.
Begitu
pula praktik politik uang yang melibatkan pemilih, sejak semula telah
diyakini penyimpangan ini kian menjadi- jadi karena penegakan hukum bagi
pelaku hampir tidak pernah dilakukan. Padahal, ketentuan yang ada lebih dari
cukup untuk menyeret pelaku, termasuk juga kemungkinan menganulir atau
mendiskualifikasi pasangan calon. Artinya, sekiranya semua pihak yang terkait
dengan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah memiliki komitmen menegakkan
aturan hukum, praktik membeli suara dengan mudah dapat diminimalisasi.
Begitu
pula pendapat bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung tidak efektif dan
efisien. Salah satu bentuk nyata mereka yang menggugat proses pemilihan yang
telah diterapkan selama ini: pilkada merupakan proses politik yang
memboroskan keuangan negara. Dalam soal ini, sebetulnya sejak awal sudah
ditawarkan solusi cerdas, yaitu melaksanakan pemilihan langsung kepala daerah
secara serentak. Paling tidak merujuk pilkada di Sumatera Barat tahun 2010
yang melaksanakan pemilihan di 13 kabupaten/kota (dari 19 kabupaten/kota yang
ada) ditambah pemilihan gubernur, KPU Sumbar mampu menghemat biaya hampir 65
persen.
Melihat
semua persoalan yang melingkupi pilkada selama ini, pilihan mengganti model
bukanlah sebuah solusi. Dari rangkaian persoalan yang ada selama ini yang
dinilai sebagai titik lemah pilkada secara langsung, sekiranya memang
memiliki komitmen mempertahankannya, semua persoalan dapat ditanggulangi.
Namun, faktanya, tak terlihat komitmen dan langkah nyata untuk meminimalisasi
persoalan tersebut. Bahkan, dalam batas-batas tertentu, boleh jadi persoalan
tersebut ”dipelihara” untuk jadi alasan untuk menilai bahwa pilkada secara
langsung dilingkupi banyak masalah.
Mengepung Jokowi-JK?
Sebetulnya,
tidak terdapat alasan kuat dan dapat dipertanggungjawabkan secara
konstitusional mengubah pengisian kepala daerah dari pemilihan langsung
menjadi pemilihan dengan sistem perwakilan via DPRD. Karena itu, dalam
batas-batas tertentu, perubahan sikap mendadak mayoritas partai politik yang
tergabung dalam Koalisi Merah Putih dapat dibaca sebagai bentuk akrobat
politik terhadap kemenangan Jokowi-JK. Bahkan, bukan tidak mungkin upaya ini
sebagai langkah nyata lebih jauh untuk mengepung pemerintahan Jokowi-JK.
Sebelumnya,
langkah serupa telah pula dilakukan ketika partai politik yang berada dalam
Koalisi Merah Putih memaksakan persetujuan UU No 17/2014. Sebagaimana
diketahui, salah satu substansi yang dipaksakan adalah mengubah tata cara
pemilihan pimpinan DPR dari semula berasal dari urutan partai peraih suara
terbanyak dalam pemilu legislatif menjadi mekanisme pemilihan oleh anggota
DPR. Melihat langkah politik tersebut, bukan tidak mungkin semua langkah
akrobatik yang dilakukan ini bagian dari skenario mengepung Jokowi-JK mulai
dari DPR sampai ke mayoritas daerah.
Dalam situasi seperti ini, yang
paling mungkin diingatkan adalah pemerintah dan Presiden SBY. Sebagai
institusi yang memiliki otoritas sama kuat dengan DPR dalam proses legislasi,
sekiranya mayoritas partai politik tetap memaksakan mengganti model pilkada,
pemerintah (baca: SBY) seharusnya menggunakan hak konstitusionalnya menolak
menyetujui RUU Pilkada. Banyak pihak percaya, hanya dengan cara demikian,
pemerintahan SBY dinilai masih mampu memelihara model pemilihan demokratis
yang telah dibangun selama ini. Artinya, apabila pemerintah dan SBY takluk
oleh keinginan tersebut, SBY dan mayoritas partai politik dapat dikatakan
secara bersama-sama merampas daulat rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar