Lagi,
Kecanduan Subsidi
Rhenald Kasali ;
Pendiri Rumah Perubahan @Renald_Kasali
|
JAWA
POS, 07 September 2014
ANDA
yang pernah punya bisul tentu tahu rasanya: sangat mengganggu. Tapi, ternyata
ada juga yang bisa menikmatinya ketika bisul itu dielus-elus. Katanya bisa
membuat merem melek.
Sekarang
bukankah kita sedang mengelus-elus bisul? Namanya subsidi energi –baik BBM,
listrik,maupun elpiji. Siapa pun tahu bahwa subsidi berlebihan yang tak tepat
sasaran itu jelas penyakit. Tidak adil, mendorong perilaku boros, merusak
mindset,… dan silakan sebut puluhan lagi.
Namanya
juga bisul, ya harus dipecahkan, bukan dielus-elus. Apalagi, itu candu yang
membuat rakyat ketagihan. Begitu tidak ada, rakyat sakau, mencarinya ke
mana-mana. Dan terjadilah pertarungan kebenaran melawan pembenaran. Lihatlah
ketika Pertamina memutuskan untuk mengendalikan konsumsi, kelangkaan BBM
segera terjadi, terutama di luar Jakarta. Tapi, apa yang kita lakukan?
Lihatlah,
bak candu, ketika BBM bersubsidi hilang, pemilik mobil rela berkeliling jauh
mencari yang masih menjualnya. Begitu didapat, puas sekali rasanya. Lalu,
dengan bangga mereka berbagi cerita tentang ”perburuan” itu kepada
kolega-koleganya.
Lain
lagi elpiji. Dulu, ketika harga elpiji 12 kilogram dinaikkan, banyak rumah
tangga di kawasan elite yang tanpa malu-malu memburu gas tabung ukuran 3
kilogram. Rumah boleh elite, tas mewah buatan Italia, tapi perilaku mencari
barang murah adalah hal lain.
Pun
konsumsi listrik. Kita protes saat tarif dasarnya naik, tetapi kita biarkan
AC, dispenser air panas, dan lampu di gedung-gedung beton terus menyala meski
tak seorang pun ada di situ. Sekali lagi, saya tak antisubsidi kalau saja
penikmatnya memang mereka yang harus disubsidi. Kini sudah campur aduk dan
tak pantas lagi dielus-elus dengan pembenaran karena science tak bisa dipakai
untuk mengelus bisul. Kecuali, Anda belajarnya dari Ponari.
Efek Candu
Begitulah
kalau energi murah sudah menjadi ”candu”. Sebagaimana orang kecanduan,
perilaku kita menjadi aneh dan menyimpang. Boros dan kurang peduli.
Tapi,
jangan salah, perilaku itu bukan hanya milik konsumen. Itu ternyata juga
diidap banyak pejabat. Akibatnya, keputusan-keputusan yang dibuat
kontraproduktif. Contohnya begini. Mereka tahu bahwa setiap tahun jumlah
penjualan kendaraan bermotor selalu bertambah. Untuk 2014, misalnya, jumlah
sepeda motor diperkirakan bertambah 10 juta–12 juta unit. Lalu, untuk mobil,
diperkirakan mencapai 1,25 juta unit.
Lalu,
apa yang para petinggi kita putuskan? Mereka malah mengurangi kuota BBM
bersubsidi dalam APBN 2014 dari 48 juta kiloliter menjadi 46 juta kiloliter.
Sudah harganya tidak naik, jatah kuota diturunkan. Itu jelas ilmu jurus batu
Ponari, bukan? Akibatnya apalagi kalau bukan antrean panjang dan kelangkaan?
Dampaknya
kita lihat di mana-mana. Betul-betul heboh.
Perilaku
aneh lainnya begini. Bagi sejumlah produsen, naik harga sebisanya dihindari.
Tapi, ketika kondisi sudah tak terelakkan, mereka akan melakukannya. Dalam
kasus BBM, kondisinya tidak begitu. Kalangan legislatif maupun eksekutif
seakan-akan alergi dengan kata ”menaikkan harga BBM”. Mereka mati-matian
menghindarinya. Saling mengunci.
Level of Playing Field
Baiklah,
kita harus fair. Dalam teori ekonomi apa pun, subsidi, meski mendistorsi
pasar, adalah hak rakyat yang membutuhkannya. Namun, bukan berarti distorsi
itu tidak diperlukan. Sebab, dalam batas-batas tertentu, pasar bebas tidak
sepenuhnya baik bagi kita.
Persaingan
bebas bisa diterapkan jika ada kesamaan tingkat dari para pelakunya (same level of playing field).
Sederhananya begini. Petinju kelas berat hanya layak ditandingkan dengan
sesama kelas berat. Apa jadinya kalau si kelas berat diadu dengan si kelas
bulu? Jelas bukan pertandingan, melainkan pembantaian.
Jelas
kita masih memerlukan subsidi, namun yang tepat sasaran. Subsidi di sini tak
hanya dalam bentuk finansial, tapi bisa juga berupa kebijakan.
Lalu,
bagaimana subsidi BBM kita? Banyak riset menyebutkan bahwa hanya 30 persen
dari subsidi BBM yang tepat sasaran, diterima mereka yang membutuhkan.
Sebagian besar malah dinikmati oleh mereka yang tidak berhak. Di luar Kota
Namlea, Pulau Buru, tempat Rumah Perubahan berkarya, misalnya, masyarakat
adat harus membayar BBM bersubsidi seharga Rp 27.000. Itu pun sering tidak
ada.
Dan,
kita terlalu lama membiarkan kondisi semacam itu berlarut-larut. Kini bukan
masanya lagi bagi kita untuk mengelus-elus bisul. Kita harus membuatnya
pecah. Bukan pakai batu Ponari, melainkan akal sehat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar