Dari
JFC hingga Jatim Specta
Henri Nurcahyo ;
Praktisi
Budaya Jawa Timur
|
JAWA
POS, 09 September 2014
SEJAK
Kabupaten Jember sukses menggelar Jember Fashion Carnaval (JFC), banyak kota
yang mencoba menirunya. Pawai budaya menjadi wabah. Bupati Banyuwangi malah
langsung menyewa arsitek JFC untuk membuat acara serupa yang kemudian sukses
dengan nama Banyuwangi Ethno Carnival (BEC). Sementara kota-kota lain gagal
bersaing dengan JFC. Mungkin hanya Surakarta yang lumayan berkibar dengan
Solo Batik Carnival (SBC).
Model
acara seperti pawai budaya itu sebetulnya bukan barang baru. Pawai semacam
ini sudah jamak dilakukan di mana-mana dalam acara 17-an. Begitu juga halnya
di mancanegara dengan Karnaval Bunga Pasadena yang legendaris itu. Kota
Surabaya, Jakarta, dan kota-kota lain juga sudah menggelar pawai atau
karnaval bunga. Jadi, apa istimewanya? Mengapa ketika Jember sukses dengan
JFC, lantas menjadi heboh?
Keistimewaan
JFC yang menonjol adalah kostumnya. Bahwa Jember yang hanya kota kecil, bukan
kota busana seperti Bandung, justru mampu menciptakan tren tersendiri dalam
hal busana pawai yang spektakuler. Pernah ada yang ”meniru” dengan membuat
pawai busana (bertipe) daun, tapi tidak berlanjut. Diperlukan gagasan luar
biasa yang sanggup menandingi kehebatan JFC sehingga menjadi tontonan
alternatif dan bukan saling mengalahkan. Seperti apakah itu?
Satu
hal yang sering dilupakan dalam penyelenggaraan pawai budaya selama ini
adalah cenderung memaksakan semua jenis seni pertunjukan menjadi seni
jalanan. Padahal, setiap seni pertunjukan itu memiliki karakter sendiri. Ada
yang cocok di panggung prosenium, di arena terbuka, ada juga yang memang
hanya cocok disajikan sambil berjalan (moving).
Menghadirkan seni tayub sebagai peserta pawai budaya, misalnya, jelas sebuah
pemaksaan. Apalagi kalau memaksakan ludruk. Ini pemerkosaan namanya. Demikian
pula sebaliknya, reog Ponorogo yang merupakan seni pertunjukan jalanan malah
dipaksa tampil di panggung dalam festival reog yang menjadi acara rutin
tahunan di Ponorogo sendiri. Tidak heran, yang kemudian menang adalah peserta
dari kalangan terpelajar dan bukan seniman rakyat yang biasa tampil di
jalanan.
Dalam
konteks Jawa Timur, sejumlah contoh seni pertunjukan jalanan adalah reog
Ponorogo, reog Kendhang (Tulungagung), reog Cemandi (Sidoarjo), berbagai
jenis seni jaranan atau kuda lumping (Tulungagung, Trenggalek, dan banyak
daerah lain), singo ulung (Bondowoso), bantengan (Mojokerto dan Batu), seni
patrol (ada di banyak daerah), dungkrek (Madiun), kebo-keboan (Banyuwangi),
jaran monelan (Malang), serta kesenian dari Tiongkok yang sudah membumi di
Indonesia, yaitu barongsai dan liangliong. Masih ada lagi yang justru
diperankan kuda, yaitu jaran kencak (Lumajang). Bayangkan, betapa kayanya
seni pertunjukan jalanan di Jawa Timur.
Kalau
toh misalnya tetap menghadirkan kesenian non jalanan sebagai peserta pawai,
tentu tidak dapat dihadirkan begitu saja, namun mesti dikolaborasikan dengan
seni jalanan yang sudah ada. Apalagi, karakter sebagai seni pertunjukan
panggung itu masih dapat disiasati dengan menyajikannya di atas panggung
berupa mobil. Memang selama ini belum pernah diterapkan prinsip kuratorial
untuk menjadi peserta pawai. Yang penting asal ikut saja. Patut disayangkan
kalau memang ingin menjadi acara pawai yang bagus.
Lantas,
bagaimana membuat pawai budaya yang berbeda dengan JFC, namun tidak kalah
spektakuler? Pilihannya adalah menyelenggarakan pawai budaya (pada) malam
hari. Hal itu sudah dilakukan di Sumenep dalam Festival Musik Dhuk-Dhuk,
yaitu semacam musik patrol dengan instrumen dari kayu. Pawai di Sumenep
inilah (juga pernah diselenggarakan di Pamekasan dan Sampang) yang membuat
tampil beda dengan banyak pawai lainnya. Di Pacitan juga ada festival patrol
(namanya rontek), juga digelar malam hari. Kalau hanya festival perkusi saja
sudah sedemikian meriahnya, bagaimana kalau konsep pawai budaya yang
menampilkan semua jenis kesenian jalanan? Bagaimanapun, aspek pencahayaan
akan sangat menentukan dalam kemeriahan ini.
Pawai
malam hari juga pernah diselenggarakan di Gresik dengan menampilkan aneka
lampion berupa damar kurung yang sudah menjadi ikon Gresik. Bahkan, menjelang
upacara kasada juga menjadi tradisi, ada pawai obor. Nah, pawai obor ini juga
menjadi hal yang tidak asing di kampung-kampung atau pedesaan saat bulan
Ramadan. Singkatnya, pelaksanaan pawai pada malam hari memang memiliki pesona
tersendiri. Sayangnya, pawai theng-thengan ciluk di Surabaya yang juga
diselenggarakan malam saat peringatan Maulid Nabi sudah lama punah.
Parade
seni budaya dengan konsep penyelenggaraan malam hari itulah yang bakal
digelar di Ngawi Sabtu nanti (13/9) dengan tema ”Jatim Specta Night
Carnival”. Memang hal ini mengingatkan pada Singapore Night Festival,namun
tentu saja seluruh materinya berbeda. Kali ini disajikan seni arak-arakan,
fashion street, dan kendaraan hias yang semuanya menekankan pada garapan
artistik, atraktif bersifat kolosal dengan latar belakang sejarah, legenda,
cerita rakyat atau babad, serta kesenian rakyat di daerah masing-masing yang
dianggap spektakuler ditampilkan malam hari.
Menurut
panitia, setidaknya akan ada dua kelompok besar dalam pawai ini, yaitu
kelompok upacara adat dan seni budaya serta kelompok Majapahitan. Sejumlah
peserta bakal menyajikan pertunjukan jalanan bertema sejenis, yaitu cerita
Panji dari Kota dan Kabupaten Kediri, Pacitan, serta Kabupaten Malang. Dari
Lumajang ditampilkan cerita Adipati Nambi, Magetan dengan legenda Dewi Sri,
Kota Blitar mengetengahkan cerita Gunung Kampud (Kelud), lantas kebo-keboan
dihadirkan Banyuwangi. Bojonegoro mengambil inspirasi dari wayang thengul,
sedangkan pawai obor disajikan peserta dari Tuban dengan tema Oncor Malem
Suro. Dan masih banyak lagi.
Pawai
”Jatim Specta Night Carnival” kali pertama ini diharapkan bisa menjadi
tontonan hiburan masyarakat sekaligus atraksi wisata yang mampu mengundang
turis domestik maupun mancanegara ke Kota Ngawi. Dalam rancangannya, gawe
Dinas Pariwisata Jawa Timur itu akan menjadi kalender tahunan yang lokasi
pelaksanaannya berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain di provinsi ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar