Rabu, 10 September 2014

Dari JFC hingga Jatim Specta

Dari JFC hingga Jatim Specta  

Henri Nurcahyo  ;   Praktisi Budaya Jawa Timur
JAWA POS, 09 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

SEJAK Kabupaten Jember sukses menggelar Jember Fashion Carnaval (JFC), banyak kota yang mencoba menirunya. Pawai budaya menjadi wabah. Bupati Banyuwangi malah langsung menyewa arsitek JFC untuk membuat acara serupa yang kemudian sukses dengan nama Banyuwangi Ethno Carnival (BEC). Sementara kota-kota lain gagal bersaing dengan JFC. Mungkin hanya Surakarta yang lumayan berkibar dengan Solo Batik Carnival (SBC).

Model acara seperti pawai budaya itu sebetulnya bukan barang baru. Pawai semacam ini sudah jamak dilakukan di mana-mana dalam acara 17-an. Begitu juga halnya di mancanegara dengan Karnaval Bunga Pasadena yang legendaris itu. Kota Surabaya, Jakarta, dan kota-kota lain juga sudah menggelar pawai atau karnaval bunga. Jadi, apa istimewanya? Mengapa ketika Jember sukses dengan JFC, lantas menjadi heboh?

Keistimewaan JFC yang menonjol adalah kostumnya. Bahwa Jember yang hanya kota kecil, bukan kota busana seperti Bandung, justru mampu menciptakan tren tersendiri dalam hal busana pawai yang spektakuler. Pernah ada yang ”meniru” dengan membuat pawai busana (bertipe) daun, tapi tidak berlanjut. Diperlukan gagasan luar biasa yang sanggup menandingi kehebatan JFC sehingga menjadi tontonan alternatif dan bukan saling mengalahkan. Seperti apakah itu?

Satu hal yang sering dilupakan dalam penyelenggaraan pawai budaya selama ini adalah cenderung memaksakan semua jenis seni pertunjukan menjadi seni jalanan. Padahal, setiap seni pertunjukan itu memiliki karakter sendiri. Ada yang cocok di panggung prosenium, di arena terbuka, ada juga yang memang hanya cocok disajikan sambil berjalan (moving). Menghadirkan seni tayub sebagai peserta pawai budaya, misalnya, jelas sebuah pemaksaan. Apalagi kalau memaksakan ludruk. Ini pemerkosaan namanya. Demikian pula sebaliknya, reog Ponorogo yang merupakan seni pertunjukan jalanan malah dipaksa tampil di panggung dalam festival reog yang menjadi acara rutin tahunan di Ponorogo sendiri. Tidak heran, yang kemudian menang adalah peserta dari kalangan terpelajar dan bukan seniman rakyat yang biasa tampil di jalanan.

Dalam konteks Jawa Timur, sejumlah contoh seni pertunjukan jalanan adalah reog Ponorogo, reog Kendhang (Tulungagung), reog Cemandi (Sidoarjo), berbagai jenis seni jaranan atau kuda lumping (Tulungagung, Trenggalek, dan banyak daerah lain), singo ulung (Bondowoso), bantengan (Mojokerto dan Batu), seni patrol (ada di banyak daerah), dungkrek (Madiun), kebo-keboan (Banyuwangi), jaran monelan (Malang), serta kesenian dari Tiongkok yang sudah membumi di Indonesia, yaitu barongsai dan liangliong. Masih ada lagi yang justru diperankan kuda, yaitu jaran kencak (Lumajang). Bayangkan, betapa kayanya seni pertunjukan jalanan di Jawa Timur.

Kalau toh misalnya tetap menghadirkan kesenian non jalanan sebagai peserta pawai, tentu tidak dapat dihadirkan begitu saja, namun mesti dikolaborasikan dengan seni jalanan yang sudah ada. Apalagi, karakter sebagai seni pertunjukan panggung itu masih dapat disiasati dengan menyajikannya di atas panggung berupa mobil. Memang selama ini belum pernah diterapkan prinsip kuratorial untuk menjadi peserta pawai. Yang penting asal ikut saja. Patut disayangkan kalau memang ingin menjadi acara pawai yang bagus.

Lantas, bagaimana membuat pawai budaya yang berbeda dengan JFC, namun tidak kalah spektakuler? Pilihannya adalah menyelenggarakan pawai budaya (pada) malam hari. Hal itu sudah dilakukan di Sumenep dalam Festival Musik Dhuk-Dhuk, yaitu semacam musik patrol dengan instrumen dari kayu. Pawai di Sumenep inilah (juga pernah diselenggarakan di Pamekasan dan Sampang) yang membuat tampil beda dengan banyak pawai lainnya. Di Pacitan juga ada festival patrol (namanya rontek), juga digelar malam hari. Kalau hanya festival perkusi saja sudah sedemikian meriahnya, bagaimana kalau konsep pawai budaya yang menampilkan semua jenis kesenian jalanan? Bagaimanapun, aspek pencahayaan akan sangat menentukan dalam kemeriahan ini.

Pawai malam hari juga pernah diselenggarakan di Gresik dengan menampilkan aneka lampion berupa damar kurung yang sudah menjadi ikon Gresik. Bahkan, menjelang upacara kasada juga menjadi tradisi, ada pawai obor. Nah, pawai obor ini juga menjadi hal yang tidak asing di kampung-kampung atau pedesaan saat bulan Ramadan. Singkatnya, pelaksanaan pawai pada malam hari memang memiliki pesona tersendiri. Sayangnya, pawai theng-thengan ciluk di Surabaya yang juga diselenggarakan malam saat peringatan Maulid Nabi sudah lama punah.

Parade seni budaya dengan konsep penyelenggaraan malam hari itulah yang bakal digelar di Ngawi Sabtu nanti (13/9) dengan tema ”Jatim Specta Night Carnival”. Memang hal ini mengingatkan pada Singapore Night Festival,namun tentu saja seluruh materinya berbeda. Kali ini disajikan seni arak-arakan, fashion street, dan kendaraan hias yang semuanya menekankan pada garapan artistik, atraktif bersifat kolosal dengan latar belakang sejarah, legenda, cerita rakyat atau babad, serta kesenian rakyat di daerah masing-masing yang dianggap spektakuler ditampilkan malam hari.

Menurut panitia, setidaknya akan ada dua kelompok besar dalam pawai ini, yaitu kelompok upacara adat dan seni budaya serta kelompok Majapahitan. Sejumlah peserta bakal menyajikan pertunjukan jalanan bertema sejenis, yaitu cerita Panji dari Kota dan Kabupaten Kediri, Pacitan, serta Kabupaten Malang. Dari Lumajang ditampilkan cerita Adipati Nambi, Magetan dengan legenda Dewi Sri, Kota Blitar mengetengahkan cerita Gunung Kampud (Kelud), lantas kebo-keboan dihadirkan Banyuwangi. Bojonegoro mengambil inspirasi dari wayang thengul, sedangkan pawai obor disajikan peserta dari Tuban dengan tema Oncor Malem Suro. Dan masih banyak lagi.

Pawai ”Jatim Specta Night Carnival” kali pertama ini diharapkan bisa menjadi tontonan hiburan masyarakat sekaligus atraksi wisata yang mampu mengundang turis domestik maupun mancanegara ke Kota Ngawi. Dalam rancangannya, gawe Dinas Pariwisata Jawa Timur itu akan menjadi kalender tahunan yang lokasi pelaksanaannya berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain di provinsi ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar