Haji
Benni Setiawan ;
Dosen di
Universitas Negeri Yogyakarta
|
KORAN
TEMPO, 09 September 2014
Haji
merupakan potret ketika manusia senantiasa merindukan Sang Khalik. Haji mengingatkan
dan menyadarkan kita semua bahwa terminal terakhir hidup ini bukanlah rumah
yang kita tempati setiap hari, bukan pula saat kita berhasil mendekati Ka'bah
di Mekah. Terminal terakhir itu adalah "rumah Allah".
Pemaknaan
ini melukiskan kisah, betapa proses perjalanan (ziarah) bernama haji pada
dasarnya mengajak manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah. Manusia
diperintahkan untuk senantiasa berbuat kebajikan. Karena balasan kebajikan
adalah kebajikan pula. Sebaliknya, balasan dari perbuatan buruk adalah
keburukan juga.
Memaknai
ritual haji dalam konteks kekinian yang belum mampu membawa perubahan
mendasar bagi bangsa Indonesia, seakan menimbulkan sebuah kesan betapa pesan
haji belum sampai pada pemahaman jemaah. Mereka seakan-akan masih terkungkung
pada hasil dari ibadah haji, yaitu mendapatkan gelar H (haji) dan Hj (hajah)
di depan namanya.
Penghormatan
dan prestise saat mendapatkan gelar itu seakan menjangkiti bangsa Indonesia.
Masyarakat Indonesia masih "menuhankan" gelar tersebut. Masyarakat
tidak akan lagi memanggil seseorang yang telah pergi berhaji dengan sebutan
bapak/ibu. Masyarakat akan memanggilnya dengan sebutan baru "pak
haji" atau "bu haji".
Inilah
yang kemudian disebut oleh William R. Roof sebagai aggregate (kebersamaan). Saat jemaah haji kembali ke tempat asal
mereka, biasanya tampak perbedaan penampilan lahiriah pada mereka. Mereka pun
sering kali berganti nama (sebagai budaya) dengan nama-nama Arab dan
menyandangkan gelar "haji" di depan namanya.
Menurut
Turner, di sini seorang haji mendapat posisi dan keadaan baru. Posisi baru
dalam strata sosial inilah yang sering kali melalaikan peran dan makna haji.
Banyak jemaah haji yang terlena oleh gelar, sehingga aksi-aksi sosial setelah
pelaksanaan ibadah haji sering kali tertinggal di Tanah Suci. Ketika mereka
kembali ke Tanah Air, kebiasaan-kebiasaan buruk kembali menjadi laku harian.
Penghormatan
masyarakat ini tidaklah dapat disalahkan. Namun demikian, sebagai seorang
yang memiliki posisi dan keadaan baru di masyarakat, "haji" selayaknya
mampu menunjukkan dan mendarmabaktikan ilmu dan tenaganya untuk masyarakat.
Pasalnya, kemabruran seorang haji adalah proses di mana ia kembali ke
masyarakat dan menjadi pemimpin bagi masyarakatnya. Mereka tidak hanya bangga
dengan sebutan haji yang disematkan oleh masyarakat. Namun juga mampu
mewarnai kehidupan masyarakat. Kehidupan penuh harmoni antara ibadah mahdah
(ibadah pribadi) dengan ibadah sosial.
Ketika
pekerjaan sosial ini belum menjadi agenda jemaah haji Indonesia, niatan suci
kembali ke kampung halaman yang fitri akan sulit terwujud. Bahkan pelaksanaan
ibadah haji yang seperti itu hanya semakin menambah kegetiran kaum miskin (mustadhafin). Kaum miskin melihat
secara jelas bahwa orang-orang kaya berebut gelar haji. Mereka masih dihadapkan
dengan persoalan berebut bahan kebutuhan pokok dan bantuan dari pemerintah.
Pada
akhirnya, pergi berhaji merupakan sarana membangun kesadaran bahwasanya
kehidupan merupakan sawah ladang akhirat. Berbuat baik kepada sesama dan
menjadikan diri sebagai pelita di tengah kegelapan akan menjadi bagian dari
darma baik yang dapat dipanen saat hari akhir kelak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar