Rabu, 10 September 2014

Haji

Haji  

Benni Setiawan  ;   Dosen di Universitas Negeri Yogyakarta
KORAN TEMPO, 09 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Haji merupakan potret ketika manusia senantiasa merindukan Sang Khalik. Haji mengingatkan dan menyadarkan kita semua bahwa terminal terakhir hidup ini bukanlah rumah yang kita tempati setiap hari, bukan pula saat kita berhasil mendekati Ka'bah di Mekah. Terminal terakhir itu adalah "rumah Allah".

Pemaknaan ini melukiskan kisah, betapa proses perjalanan (ziarah) bernama haji pada dasarnya mengajak manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah. Manusia diperintahkan untuk senantiasa berbuat kebajikan. Karena balasan kebajikan adalah kebajikan pula. Sebaliknya, balasan dari perbuatan buruk adalah keburukan juga.

Memaknai ritual haji dalam konteks kekinian yang belum mampu membawa perubahan mendasar bagi bangsa Indonesia, seakan menimbulkan sebuah kesan betapa pesan haji belum sampai pada pemahaman jemaah. Mereka seakan-akan masih terkungkung pada hasil dari ibadah haji, yaitu mendapatkan gelar H (haji) dan Hj (hajah) di depan namanya.

Penghormatan dan prestise saat mendapatkan gelar itu seakan menjangkiti bangsa Indonesia. Masyarakat Indonesia masih "menuhankan" gelar tersebut. Masyarakat tidak akan lagi memanggil seseorang yang telah pergi berhaji dengan sebutan bapak/ibu. Masyarakat akan memanggilnya dengan sebutan baru "pak haji" atau "bu haji".

Inilah yang kemudian disebut oleh William R. Roof sebagai aggregate (kebersamaan). Saat jemaah haji kembali ke tempat asal mereka, biasanya tampak perbedaan penampilan lahiriah pada mereka. Mereka pun sering kali berganti nama (sebagai budaya) dengan nama-nama Arab dan menyandangkan gelar "haji" di depan namanya.

Menurut Turner, di sini seorang haji mendapat posisi dan keadaan baru. Posisi baru dalam strata sosial inilah yang sering kali melalaikan peran dan makna haji. Banyak jemaah haji yang terlena oleh gelar, sehingga aksi-aksi sosial setelah pelaksanaan ibadah haji sering kali tertinggal di Tanah Suci. Ketika mereka kembali ke Tanah Air, kebiasaan-kebiasaan buruk kembali menjadi laku harian.

Penghormatan masyarakat ini tidaklah dapat disalahkan. Namun demikian, sebagai seorang yang memiliki posisi dan keadaan baru di masyarakat, "haji" selayaknya mampu menunjukkan dan mendarmabaktikan ilmu dan tenaganya untuk masyarakat. Pasalnya, kemabruran seorang haji adalah proses di mana ia kembali ke masyarakat dan menjadi pemimpin bagi masyarakatnya. Mereka tidak hanya bangga dengan sebutan haji yang disematkan oleh masyarakat. Namun juga mampu mewarnai kehidupan masyarakat. Kehidupan penuh harmoni antara ibadah mahdah (ibadah pribadi) dengan ibadah sosial.

Ketika pekerjaan sosial ini belum menjadi agenda jemaah haji Indonesia, niatan suci kembali ke kampung halaman yang fitri akan sulit terwujud. Bahkan pelaksanaan ibadah haji yang seperti itu hanya semakin menambah kegetiran kaum miskin (mustadhafin). Kaum miskin melihat secara jelas bahwa orang-orang kaya berebut gelar haji. Mereka masih dihadapkan dengan persoalan berebut bahan kebutuhan pokok dan bantuan dari pemerintah.

Pada akhirnya, pergi berhaji merupakan sarana membangun kesadaran bahwasanya kehidupan merupakan sawah ladang akhirat. Berbuat baik kepada sesama dan menjadikan diri sebagai pelita di tengah kegelapan akan menjadi bagian dari darma baik yang dapat dipanen saat hari akhir kelak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar