Saru
Adi Andojo Soetjipto ; Mantan Ketua Muda Mahkamah Agung
|
KOMPAS,
06 Februari 2014
ANDA tahu arti saru? Kata saru
berasal dari bahasa Jawa untuk mengekspresikan sesuatu yang tabu/tidak pantas
dibicarakan, dilihat atau didengar, karena dapat menimbulkan rasa malu.
Misalnya, kehidupan intim
seseorang atau tentang aib seseorang. Termasuk juga hal yang saru jika hal
yang diputuskan dalam musyawarah tertutup, yang sifatnya rahasia, diumumkan
secara terbuka. Misalnya, musyawarah pada waktu majelis hakim mengambil
putusan sebuah perkara.
Istilah saru itu sekarang tidak
berlaku lagi apabila hal itu menyangkut musyawarah hakim yang diumumkan
secara terbuka. Orang tidak menganggap hal itu saru lagi, bahkan apabila yang
mengumumkan itu adalah hakimnya sendiri. Sekarang hal yang dulu dianggap saru
atau tabu itu tidaklah saru lagi dan diberi istilah dissenting opinion. Hal itu diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 2004
Pasal 19 Ayat 157.
Sebelum ada undang-undang itu,
musyawarah hakim yang mengambil putusan bersifat rahasia. Apabila dalam
musyawarah itu ada hakim yang berbeda pendapat, pendapatnya itu dituliskan
dalam klachtboek, buku aduan, yang bersifat rahasia pula, tidak ada
orang luar yang mengetahuinya, apalagi pihak-pihak yang beperkara.
Popularitas diri
Alasannya apa yang dimaksud dengan
”keterbukaan” sehingga pihak luar, khususnya pihak yang beperkara, dapat
mengetahui lebih lanjut alasan putusan yang diambil oleh hakim sehingga
ketahuan tentang ada-tidaknya ketidakadilan.
Namun, bukan itu yang dimaksud
bahwa musyawarah hakim itu tidak boleh diumumkan kepada pihak luar. Hal itu
lebih dimaksudkan untuk menjaga agar perbedaan yang timbul dalam musyawarah
tidak dieksploitasi lebih lanjut oleh pihak yang beperkara yang diuntungkan.
Sekarang, dari hasil pengamatan
saya, bukan pihak yang beperkara yang mengeksploitasi pendapat hakim yang
berbeda itu, melainkan sebaliknya hakim yang punya pendapat yang berbeda itu
yang menggunakannya untuk mengangkat popularitas dirinya.
Oleh karena itu, di negara-negara
lain tidak ada yang menganut pendapat seperti yang diberlakukan di Indonesia.
Hanya di Indonesia hal itu terjadi. Mungkin peraturan itu timbul karena
tingkah laku hakim kita sendiri yang sudah tidak dapat dipercaya oleh
masyarakat, yang putusannya banyak dipengaruhi oleh faktor nonteknis,
sehingga dirasa tidak adil.
Di negara-negara lain juga tidak
ada seorang hakim di depan media menjelaskan alasan dari putusannya. Itu
hanya terjadi di Indonesia.
Namun, kalau hal ini sudah
telanjur terjadi, siapakah yang rugi? Yang dulu dianggap saru lalu jadi tidak
saru lagi, kan, ibaratnya ”ditelanjangi
bulat-bulat” saja? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar