Kegalauan
Negara Pertanian
Mahfudh Fauzi ; Aktivis HMI IAIN
Walisongo Semarang,
Ketua Gerakan Pemuda
Islam (GPI) Kabupaten Kudus
|
SUARA
KARYA, 20 Februari 2014
Penobatan sebagai negara pertanian
kini mulai dipertanyakan, karena total lahan pertanian di Indonesia hanya
tersisa 8,1 juta hektar. Itupun masih dibayang-bayangi ancaman alih fungsi
sebesar 4,1 juta hektar, baik untuk penataan tata letak kota atau
industrialisasi. Sudah dapat dipastikan, pemerintah harus ambil kuda-kuda
untuk menghadapi krisis di masa mendatang. Sebab, di samping ketahanan pangan
terancam, kedaulatan petani juga mulai terganggu.
Namun, paling urgen adalah kedaulatan
petani, sebagaimana Prabowo Subianto mengartikannya sebagai pra kondisi
menuju kesejahteraan petani. Lebih jelasnya, mengacu pengertian dalam UU No
18/2012 tentang pangan, kedaulatan petani adalah hak dan aspirasi petani
secara utuh untuk menentukan kehendak sesuai dengan kondisi guna tercapainya
kemaslahatan. Lebih jelasnya, jika bangsa Indonesia ingin berbicara banyak di
masa mendatang, mau tidak mau kedaulatan tersebut harus diperjuangkan.
Sayangnya, kedaulatan petani sulit
untuk diraih semenjak bayang-bayang globalisasi mengancam. Alih-alih mendapat
kedaulatan, bahkan lahan pertanian pun "diteror" oleh investor yang
terus memperluas lahan bisnisnya. Kini petani sedang dirundung pilu, alih
fungsi lahan pertanian kian membabi-buta. Di sisi lain, bibit dengan label
unggul, pupuk dengan klaim kualitas tak terbatas, menjadi permainan monopoli
yang menjadi "kuda troya" bagi petani.
Artinya, sekilas iming-iming bibit
unggul menjadi harapan petani guna mendulang hasil panen yang melimpah.
Sedangkan pupuk kualitas tinggi menjadi alasan tersendiri untuk panen kilat
dan bebas dari hama. Sekejab memberi harapan besar terhadap para petani,
setidaknya usaha petani seakan menjadi jalan menuju kesejahteraan. Kedaulatan
yang sesungguhnya akan segera diraih, angan mereka.
Padahal, penggunaan bahan kimia tidak
seutuhnya baik. Terutama jika bahan kimia digunakan dengan skala besar dan
secara terus menerus tanpa jeda, secara futuristik kualitas tanah akan
menurun, bahkan tidak menutup kemungkinan tanah akan mengeras dan tidak dapat
digunakan. Petani tertipu "tongkat ajaib" untuk menyulap tanah
pertaniannya menjadi emas. Akhirnya petani terlena dengan praktek-praktek
praktis yang hakikatnya akan menjadi bumerang bagi dirinya sendiri, bahkan
terhadap ekosistem alam.
Kini ketahanan pangan negara kian
memperihatinkan. Impor menjadi alternatif utama guna menutup ketersediaan
pangan nasional. Dampaknya, produk lokal terombang-ambing kalah pasar dengan
pangan hasil impor. Sungguh sangat memperihatinkan, harapan mendapat emas
justru tertimpa nasib malang.
Petani bangsa Indonesia memang harus
benar-benar waspada. Sebab, ancaman dari berbagai sudut siap
"memborbardir" pertanian bangsa. Realitanya, kini industrialisasi
merayap cepat sampai ke pedesaan. Alhasil, lahan pertanian yang menjadi
korban, dan dengan berbagai cara (membeli lahan pertanian) yang seketika
menjadi hipnotis bagi petani. Saking ironisnya, justru ujung-ujungnya petani
digiring untuk menjadi pekerja di pabrik yang dibangun di atas lahan
pertaniannya sendiri.
Pemerintah juga tidak berbuat banyak,
karena tergiur dengan keuntungan praktis yang diterima. Karena itu, jangan
heran jika dampaknya akan datang dan salah satunya sudah mulai dirasakan
berupa bencana alam di tengah bangsa ini.
Penyempitan lahan pertanian dan
lahan penyerapan air menjadi alasan utama terjadinya banjir dan longsor
sebagaimana ramai diberitakan di media massa, bukan di Kudus, di Pati, di
Demak, di Semarang, di Manado, bahkan Jakarta pun merasakan dampaknya.
Akibatnya, tidak sedikit korban jiwa yang lenyap sia-sia oleh keganasan
bencana alam akibat marginalisasi lahan pertanian.
Konsep yang ditawarkan oleh serikat
petani Indonesia memang tepat. Yaitu membumikan corak bertani klasik, yang
menggunakan cara pengolahan kuno dengan pupuk organik. Disamping murah dan
mudah, langkah tersebut juga aman untuk lingkungan alam. Setidaknya, seorang
petani tidak harus manjadi budak oleh permaian monopoli bahan kimia
pertanian. Petani harus berdaulat.
Sesungguhnya ada banyak alternatif
untuk mengukuhkan kedaulatan petani. Hanya saja tidak ada sinergi berarti
dari berbagai elemen bangsa. Petani justru cenderung didekte oleh
perkembangan zaman yang sangat pesat. Langkah petani kian tak menentu, lahan
menyempit, pupuk mahal, sedangkan penjualan tidak sesuai dengan modal. Oleh
sebab itu, akhirnya yang semula petani identik dengan limpahan harta,
sekarang justru petani adalah pekerja kotor di pelosok desa.
Dengan demikian, petani harus kreatif
dengan langkah progresif. Masa depan petani masih panjang, karena posisi
petani menjadi sentral pangan bangsa. Walaupun lahan kian menyempit, petani
harus berikrar untuk memperjuangkan kedaulatan petani yang sesungguhnya.
Memanfatkan keadaan dan apa yang ada, justru dapat menjadi senjata ampuh
untuk mengangkat harkat dan martabat petani.
Langkah paling mudah adalah dengan memaksimalkan
hasil panen. Konsep agroindustri oleh Soeharjo A (memanfaatkan bahan baku
pertanian kemudian diolah dengan bentuk lain agar bernilai ekonomis tinggi)
dapat menjadi alternatif. Memang proses ini cukup panjang, karena memang
hasil panen di Indonesia belum begitu maksimal. Setidaknya, dengan
memanfaatkan hasil yang ada, akan memunculkan inisiatif baru kemudian akan
membuka jalan lain untuk berbisnis dari hasil panennya sendiri.
Meski demikian, kendala utama stagnasi
sektor pertanian di Indonesia adalah ketidakmampuan petani untuk mengolah
sesuai dengan perkembangan zaman yang ramah lingkungan. Setidaknya, sebelum
melangkah jauh untuk menerapkan konsep agroindustri pemerintah harus berkerja
ekstra dan bersinergi dengan petani, agar sektor pertanian Indonesia
"melek" modernisasi untuk kemudian mampu melangkah jauh menguatkan
perekonomian negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar