Jumat, 21 Februari 2014

Kegalauan Negara Pertanian

Kegalauan Negara Pertanian

Mahfudh Fauzi  ;    Aktivis HMI IAIN Walisongo Semarang,
Ketua Gerakan Pemuda Islam (GPI) Kabupaten Kudus
SUARA KARYA,  20 Februari 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                                                                                       
Penobatan sebagai negara pertanian kini mulai dipertanyakan, karena total lahan pertanian di Indonesia hanya tersisa 8,1 juta hektar. Itupun masih dibayang-bayangi ancaman alih fungsi sebesar 4,1 juta hektar, baik untuk penataan tata letak kota atau industrialisasi. Sudah dapat dipastikan, pemerintah harus ambil kuda-kuda untuk menghadapi krisis di masa mendatang. Sebab, di samping ketahanan pangan terancam, kedaulatan petani juga mulai terganggu.

Namun, paling urgen adalah kedaulatan petani, sebagaimana Prabowo Subianto mengartikannya sebagai pra kondisi menuju kesejahteraan petani. Lebih jelasnya, mengacu pengertian dalam UU No 18/2012 tentang pangan, kedaulatan petani adalah hak dan aspirasi petani secara utuh untuk menentukan kehendak sesuai dengan kondisi guna tercapainya kemaslahatan. Lebih jelasnya, jika bangsa Indonesia ingin berbicara banyak di masa mendatang, mau tidak mau kedaulatan tersebut harus diperjuangkan.

Sayangnya, kedaulatan petani sulit untuk diraih semenjak bayang-bayang globalisasi mengancam. Alih-alih mendapat kedaulatan, bahkan lahan pertanian pun "diteror" oleh investor yang terus memperluas lahan bisnisnya. Kini petani sedang dirundung pilu, alih fungsi lahan pertanian kian membabi-buta. Di sisi lain, bibit dengan label unggul, pupuk dengan klaim kualitas tak terbatas, menjadi permainan monopoli yang menjadi "kuda troya" bagi petani.

Artinya, sekilas iming-iming bibit unggul menjadi harapan petani guna mendulang hasil panen yang melimpah. Sedangkan pupuk kualitas tinggi menjadi alasan tersendiri untuk panen kilat dan bebas dari hama. Sekejab memberi harapan besar terhadap para petani, setidaknya usaha petani seakan menjadi jalan menuju kesejahteraan. Kedaulatan yang sesungguhnya akan segera diraih, angan mereka.

Padahal, penggunaan bahan kimia tidak seutuhnya baik. Terutama jika bahan kimia digunakan dengan skala besar dan secara terus menerus tanpa jeda, secara futuristik kualitas tanah akan menurun, bahkan tidak menutup kemungkinan tanah akan mengeras dan tidak dapat digunakan. Petani tertipu "tongkat ajaib" untuk menyulap tanah pertaniannya menjadi emas. Akhirnya petani terlena dengan praktek-praktek praktis yang hakikatnya akan menjadi bumerang bagi dirinya sendiri, bahkan terhadap ekosistem alam.

Kini ketahanan pangan negara kian memperihatinkan. Impor menjadi alternatif utama guna menutup ketersediaan pangan nasional. Dampaknya, produk lokal terombang-ambing kalah pasar dengan pangan hasil impor. Sungguh sangat memperihatinkan, harapan mendapat emas justru tertimpa nasib malang.

Petani bangsa Indonesia memang harus benar-benar waspada. Sebab, ancaman dari berbagai sudut siap "memborbardir" pertanian bangsa. Realitanya, kini industrialisasi merayap cepat sampai ke pedesaan. Alhasil, lahan pertanian yang menjadi korban, dan dengan berbagai cara (membeli lahan pertanian) yang seketika menjadi hipnotis bagi petani. Saking ironisnya, justru ujung-ujungnya petani digiring untuk menjadi pekerja di pabrik yang dibangun di atas lahan pertaniannya sendiri.

Pemerintah juga tidak berbuat banyak, karena tergiur dengan keuntungan praktis yang diterima. Karena itu, jangan heran jika dampaknya akan datang dan salah satunya sudah mulai dirasakan berupa bencana alam di tengah bangsa ini. 

Penyempitan lahan pertanian dan lahan penyerapan air menjadi alasan utama terjadinya banjir dan longsor sebagaimana ramai diberitakan di media massa, bukan di Kudus, di Pati, di Demak, di Semarang, di Manado, bahkan Jakarta pun merasakan dampaknya. Akibatnya, tidak sedikit korban jiwa yang lenyap sia-sia oleh keganasan bencana alam akibat marginalisasi lahan pertanian.

Konsep yang ditawarkan oleh serikat petani Indonesia memang tepat. Yaitu membumikan corak bertani klasik, yang menggunakan cara pengolahan kuno dengan pupuk organik. Disamping murah dan mudah, langkah tersebut juga aman untuk lingkungan alam. Setidaknya, seorang petani tidak harus manjadi budak oleh permaian monopoli bahan kimia pertanian. Petani harus berdaulat.

Sesungguhnya ada banyak alternatif untuk mengukuhkan kedaulatan petani. Hanya saja tidak ada sinergi berarti dari berbagai elemen bangsa. Petani justru cenderung didekte oleh perkembangan zaman yang sangat pesat. Langkah petani kian tak menentu, lahan menyempit, pupuk mahal, sedangkan penjualan tidak sesuai dengan modal. Oleh sebab itu, akhirnya yang semula petani identik dengan limpahan harta, sekarang justru petani adalah pekerja kotor di pelosok desa.

Dengan demikian, petani harus kreatif dengan langkah progresif. Masa depan petani masih panjang, karena posisi petani menjadi sentral pangan bangsa. Walaupun lahan kian menyempit, petani harus berikrar untuk memperjuangkan kedaulatan petani yang sesungguhnya. Memanfatkan keadaan dan apa yang ada, justru dapat menjadi senjata ampuh untuk mengangkat harkat dan martabat petani.

Langkah paling mudah adalah dengan memaksimalkan hasil panen. Konsep agroindustri oleh Soeharjo A (memanfaatkan bahan baku pertanian kemudian diolah dengan bentuk lain agar bernilai ekonomis tinggi) dapat menjadi alternatif. Memang proses ini cukup panjang, karena memang hasil panen di Indonesia belum begitu maksimal. Setidaknya, dengan memanfaatkan hasil yang ada, akan memunculkan inisiatif baru kemudian akan membuka jalan lain untuk berbisnis dari hasil panennya sendiri.

Meski demikian, kendala utama stagnasi sektor pertanian di Indonesia adalah ketidakmampuan petani untuk mengolah sesuai dengan perkembangan zaman yang ramah lingkungan. Setidaknya, sebelum melangkah jauh untuk menerapkan konsep agroindustri pemerintah harus berkerja ekstra dan bersinergi dengan petani, agar sektor pertanian Indonesia "melek" modernisasi untuk kemudian mampu melangkah jauh menguatkan perekonomian negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar