Gamang
Hadapi Liberalisasi Pertanian
Adig Suwandi ; Pemerhati Sosial-Ekonomi,
Alumnus
Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
|
SUARA
KARYA, 20 Februari 2014
Liberalisasi perdagangan dan investasi
selalu mengepakkan dua sayap. Sayap kanan memberi peluang bagi produsen
berkualitas prima dan harga rendah masuk pasar di luar segmennya sekarang,
sayap kiri mengobarkan petaka bagi mereka yang tidak siap. Per definisi
Indonesia memiliki basis keunggulan kompetitif (competitive advantage) produk pertanian tropika yang tidak mudah
ditiru negara lain, tetapi fakta objektif berbicara ketidaksiapan dan
kegamangan bila liberalisasi menjadi kenisacayaan.
Hingga saat ini, Indonesia masih lebih
banyak mengimpor produk pertanian primer. Ekspor memang dilakukan, khususnya
untuk sejumlah komoditas perkebunan. Indonesia menjadi pengekspor crude palm
oil (CPO) dan karet tergolong terkemuka, tapi sekaligus pengimpor gula
terbesar. Secara struktural, Indonesia memiliki petani gurem berlahan sempit
bejibun, tata ruang tidak dapat dilaksanakan secara taat asas, dan rendahnya
adaptabilitas dalam menghadapi perubahan iklim (climate change).
Kebijakan tidak terintegrasi akibat
lemahnya koordinasi antar-kementerian sehingga membingungkan investor yang
ingin masuk ke agribisnis. Lemahnya koordinasi tidak hanya memunculkan
sulitnya investor mendapatkan lahan bebas permasalahan dan okupasi, melainkan
juga minimnya infrastruktur fisik penunjang. Semua pihak menyadari bila
kondisi tersebut dibiarkan berlarut-larut, Indonesia bakal ditinggalkan
investor. Mereka lebih senang memilih Vietnam, Myanmar, dan Filipina di mana
lahan dapat dijamin negara ditunjang upah buruh lebih kompetitif.
Untuk melindungi petani dan produsen
agribisnis dari praktik liberalisasi perdagangan, negara masih memberlakukan
pembatasan, baik yang bersifat tarif maupun non-tarif, meskipun dalam
pelaksanaannya seringkali rancu akibat fasilitasi tertentu kepada kalangan
terbatas yang berdampak kurang menguntungkan bagi pelaku ekonomi lain.
Sebut saja, dalam rangka perlindungan
petani tebu dan pabrik gula lokal dari cengkeraman murahnya harga gula dunia,
negara memberlakukan bea masuk, pembatasan impor secara ketat, impor tidak
masuk saat panen raya atau masa giling, dan lisensi hanya diberikan kepada
produsen.
Bila semuanya berjalan sesuai disain,
tentu sangat baik bagi peningkatan daya saing agribisnis gula nasional. Pada
saat bersamaan, negara juga menggulirkan kebijakan promosi berupa bantuan benih,
subsidi (pupuk dan bunga atas kredit prigram), dan penetapan harga patokan
sedikit di atas biaya produksi petani.
Volume Rembesan
Permamasalahan muncul saat negara
memberikan izin impor gula kistal mentah (raw
sugar) kepada industri makanan/minuman dalam jumlah yang dinilai publik
berlebih. Inilah yang kemudian sebagian merembes ke pasar eceran dan menjadi
kompetitor gula lokal. Parahnya, selama fase pengembangan dan memotivasi
industri berorientasi ekspor, negara juga memberikan fasilitas keringanan bea
masuk 0-5 persen atas raw sugar yang diimpor.
Perlakuan serupa tidak diberikan bila
pabrik gula (PG) berbasis tebu mengimpor raw sugar untuk optimalisasi
kapasitas. Artinya, pabrik gula tetap membayar bea masuk sesuai ketentuan
sebesar Rp 550 per kg. Lapangan bermain (playing field) menjadi tidak sepadan
dan berakhir dengan kekalahan pabrik gula dan petani tebu.
Soal rembesan tadi, hasil audit tim
independen terhadap 51 disributor, 60 industri makanan/minuman dan 2.273
pengecer selama 2013 menunjukkan terdapatnya 5 perusahaan terbukti
mendistribusikan gula rafinasi ke pasar konsumsi. Terdapat 110.799 ton gula
rafinasi merembes ke pasar umum.
Kementerian Perdagangan mencatat
jumlah tersebut memang menurun drastis dibanding rembesan 2011 yang mencapai
394.044 ton. Namun demikian, kalangan petani mensinyalir volume rembesan
dimaksud hanyalah yang terdeteksi. Artinya, volume rembesan jauh lebih besar
lagi dari hasil audit.
Karena itu pola pendistribusian gula
rafinasi di masa mendatang harus langsung dari pabrikan ke pengguna. Alasan
industri gula rafinasi bahwa kegiatan pengolahan pangan berbasis usaha kecil
dan kelas rumah tangga tidak memiliki akses langsung ke pabrikan tidak dapat
dibenarkan lagi. Sejauh ini, tindakan negara terhadap pelanggaran tersebut hanya
mengurangi volume impor raw sugar untuk tahap berikutnya, bukan memberikan
efek jera agar tidak mengulanginya.
Gula hanyalah ilustrasi soal
ketidakberdayaan menghadapi liberalisasi perdagangan, apalagi dengan rencana
pembentukan Komunitas Ekonomi ASEAN 2015. Thailand yang dewasa ini
mengantongi produksi 10 juta ton gula dengan hanya 2,5 juta untuk konsumsi
domestik, sudah lama mendesak agar pasar gula Indonesia dibuka lebar tanpa
proteksi.
Tentu semua bentuk perlindungan dalam
bingkai menjaga kepentingan nasional mestilah ditempuh kalau Indonesia tidak
ingin menjadi tempat pembuangan sampah bagi produk agribisnis negara-negara
tertentu yang mengalami kejenuhan pasar domestik. Kebijakan pro-produsen
dalam semangat kemandirian ekonomi bangsa mesti direformulasikan diikuti
kemauan politik (political will)
kuat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar