Jumat, 21 Februari 2014

Gamang Hadapi Liberalisasi Pertanian

Gamang Hadapi Liberalisasi Pertanian

Adig Suwandi  ;    Pemerhati Sosial-Ekonomi,
Alumnus Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
SUARA KARYA,  20 Februari 2014

                                                                                         
                                                                                                                       
Liberalisasi perdagangan dan investasi selalu mengepakkan dua sayap. Sayap kanan memberi peluang bagi produsen berkualitas prima dan harga rendah masuk pasar di luar segmennya sekarang, sayap kiri mengobarkan petaka bagi mereka yang tidak siap. Per definisi Indonesia memiliki basis keunggulan kompetitif (competitive advantage) produk pertanian tropika yang tidak mudah ditiru negara lain, tetapi fakta objektif berbicara ketidaksiapan dan kegamangan bila liberalisasi menjadi kenisacayaan.

Hingga saat ini, Indonesia masih lebih banyak mengimpor produk pertanian primer. Ekspor memang dilakukan, khususnya untuk sejumlah komoditas perkebunan. Indonesia menjadi pengekspor crude palm oil (CPO) dan karet tergolong terkemuka, tapi sekaligus pengimpor gula terbesar. Secara struktural, Indonesia memiliki petani gurem berlahan sempit bejibun, tata ruang tidak dapat dilaksanakan secara taat asas, dan rendahnya adaptabilitas dalam menghadapi perubahan iklim (climate change).

Kebijakan tidak terintegrasi akibat lemahnya koordinasi antar-kementerian sehingga membingungkan investor yang ingin masuk ke agribisnis. Lemahnya koordinasi tidak hanya memunculkan sulitnya investor mendapatkan lahan bebas permasalahan dan okupasi, melainkan juga minimnya infrastruktur fisik penunjang. Semua pihak menyadari bila kondisi tersebut dibiarkan berlarut-larut, Indonesia bakal ditinggalkan investor. Mereka lebih senang memilih Vietnam, Myanmar, dan Filipina di mana lahan dapat dijamin negara ditunjang upah buruh lebih kompetitif.

Untuk melindungi petani dan produsen agribisnis dari praktik liberalisasi perdagangan, negara masih memberlakukan pembatasan, baik yang bersifat tarif maupun non-tarif, meskipun dalam pelaksanaannya seringkali rancu akibat fasilitasi tertentu kepada kalangan terbatas yang berdampak kurang menguntungkan bagi pelaku ekonomi lain.

Sebut saja, dalam rangka perlindungan petani tebu dan pabrik gula lokal dari cengkeraman murahnya harga gula dunia, negara memberlakukan bea masuk, pembatasan impor secara ketat, impor tidak masuk saat panen raya atau masa giling, dan lisensi hanya diberikan kepada produsen.

Bila semuanya berjalan sesuai disain, tentu sangat baik bagi peningkatan daya saing agribisnis gula nasional. Pada saat bersamaan, negara juga menggulirkan kebijakan promosi berupa bantuan benih, subsidi (pupuk dan bunga atas kredit prigram), dan penetapan harga patokan sedikit di atas biaya produksi petani.

Volume Rembesan

Permamasalahan muncul saat negara memberikan izin impor gula kistal mentah (raw sugar) kepada industri makanan/minuman dalam jumlah yang dinilai publik berlebih. Inilah yang kemudian sebagian merembes ke pasar eceran dan menjadi kompetitor gula lokal. Parahnya, selama fase pengembangan dan memotivasi industri berorientasi ekspor, negara juga memberikan fasilitas keringanan bea masuk 0-5 persen atas raw sugar yang diimpor.

Perlakuan serupa tidak diberikan bila pabrik gula (PG) berbasis tebu mengimpor raw sugar untuk optimalisasi kapasitas. Artinya, pabrik gula tetap membayar bea masuk sesuai ketentuan sebesar Rp 550 per kg. Lapangan bermain (playing field) menjadi tidak sepadan dan berakhir dengan kekalahan pabrik gula dan petani tebu.

Soal rembesan tadi, hasil audit tim independen terhadap 51 disributor, 60 industri makanan/minuman dan 2.273 pengecer selama 2013 menunjukkan terdapatnya 5 perusahaan terbukti mendistribusikan gula rafinasi ke pasar konsumsi. Terdapat 110.799 ton gula rafinasi merembes ke pasar umum.

Kementerian Perdagangan mencatat jumlah tersebut memang menurun drastis dibanding rembesan 2011 yang mencapai 394.044 ton. Namun demikian, kalangan petani mensinyalir volume rembesan dimaksud hanyalah yang terdeteksi. Artinya, volume rembesan jauh lebih besar lagi dari hasil audit.

Karena itu pola pendistribusian gula rafinasi di masa mendatang harus langsung dari pabrikan ke pengguna. Alasan industri gula rafinasi bahwa kegiatan pengolahan pangan berbasis usaha kecil dan kelas rumah tangga tidak memiliki akses langsung ke pabrikan tidak dapat dibenarkan lagi. Sejauh ini, tindakan negara terhadap pelanggaran tersebut hanya mengurangi volume impor raw sugar untuk tahap berikutnya, bukan memberikan efek jera agar tidak mengulanginya.

Gula hanyalah ilustrasi soal ketidakberdayaan menghadapi liberalisasi perdagangan, apalagi dengan rencana pembentukan Komunitas Ekonomi ASEAN 2015. Thailand yang dewasa ini mengantongi produksi 10 juta ton gula dengan hanya 2,5 juta untuk konsumsi domestik, sudah lama mendesak agar pasar gula Indonesia dibuka lebar tanpa proteksi.

Tentu semua bentuk perlindungan dalam bingkai menjaga kepentingan nasional mestilah ditempuh kalau Indonesia tidak ingin menjadi tempat pembuangan sampah bagi produk agribisnis negara-negara tertentu yang mengalami kejenuhan pasar domestik. Kebijakan pro-produsen dalam semangat kemandirian ekonomi bangsa mesti direformulasikan diikuti kemauan politik (political will) kuat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar