Jawab
Kelemahan RUU Pertanahan
Iwan
Nurdin ; Sekretaris
Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria
|
KOMPAS,
20 Februari 2014
Daftar Inventaris Masalah RUU Pertanahan oleh pemerintah
telah diserahkan kepada DPR.
Proses akhir RUU Pertanahan telah
dimasuki. Tampaknya DPR dan pemerintah bersepakat RUU ini disahkan sebelum
pemerintah dan DPR periode ini tutup buku. Sebagai RUU yang sangat strategis
dan menerjemahkan kedaulatan bangsa atas wilayahnya, sudah tentu RUU ini
wajib dibahas dengan kecermatan tingkat tinggi. Apalagi, RUU ini dalam naskah
akademiknya dimaksudkan sebagai implementasi UU Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5
Tahun 1960 dan jawaban dalam menyelesaikan karut-marut pertanahan akibat tak
dijalankannya UU PA secara konsekuen selama Orde Baru hingga sekarang.
Berikut gambaran pokok masalah
pertanahan yang sedang dihadapi bangsa kita. Pertama, tanah adalah sumber
daya yang terbatas dan saat ini di negara kita barang yang terbatas ini
dikuasai segelintir orang dan badan usaha sehingga terjadi ketimpangan yang
tinggi. Kedua, dalam usaha mencapai tujuan dari cita-cita kemerdekaan
nasional diperlukan pengaturan tata guna tanah dan ruang, baik secara
nasional maupun wilayah. Pengaturan ini harus berdasarkan pengakuan,
penghormatan, dan penguatan hak-hak rakyat dan mengupayakan mereka terus
berkembang dan dapat manfaat utama dalam proses perkembangan dari zaman ke
zaman.
Ketiga, dalam mengatur
keseluruhan wilayah pertanahan, perlu sistem hukum dan administrasi
pertanahan menyeluruh dan berjalan dengan transparan tanpa sekat-sekat
sektoralisme pertanahan. Keempat, dibutuhkan sarana yang efektif dalam
menyelesaikan masalah-masalah pertanahan khususnya konflik pertanahan yang
terus meningkat. Dengan menjawab hal-hal ini, RUU Pertanahan dapat dibenarkan
urgensi kehadirannya.
Beberapa kelemahan
Jika kita menengok ke dalam RUU
Pertanahan, ada beberapa kelemahan yang seharusnya segera dijawab dan
diselesaikan. Pertama, RUU ini dimaksudkan untuk melaksanakan reforma agraria
sebagai solusi ketimpangan atas tanah. Bahkan, secara khusus dibahas dalam
bab tersendiri. Sayangnya, reforma agraria yang dimaksud bukan reforma
agraria yang genuine. Reforma
agraria dalam hal ini operasi cepat dan menyeluruh dalam mengatasi
ketimpangan agraria melalui redistribusi tanah (land reform) sekaligus katalisator bagi tumbuhnya badan
usaha milik desa, petani, nelayan, dan masyarakat marginal lain dalam
mengusahakan tanah secara modern. Oleh karena itu, perlu lembaga ad hoc yang dipimpin dan
bertanggung jawab kepada presiden dalam melaksanakan program ini, misalnya
Komite Nasional Pelaksana Reforma Agraria.
Reforma agraria adalah upaya
mengurangi ketimpangan dan ketidakterhubungan pembangunan desa-kota,
pertanian, dan industri yang selama ini terjadi. Seyogianya hak guna usaha
perkebunan, pertanian, perikanan darat, dan peternakan diprioritaskan kembali
untuk koperasi/petani sesuai amanat UU PA 1960 dan investasi skala besar pada
proses hilirisasi.
RUU Pertanahan belum
sungguh-sungguh menghentikan sektoralisme di bidang pertanahan dan membangun
kelembagaan pertanahan yang kuat dan dipercaya masyarakat. Lemahnya
kelembagaan pertanahan yang hendak dibangun RUU ini tecermin dari
dipertahankannya kelembagaan pertanahan seperti BPN. Dengan begitu,
kewenangan tata ruang sebagai cermin utama perencanaan dan tata guna tanah
masih akan berada di Kementerian PU; informasi geo spasial masih berada di
Badan Informasi Geospasial, dan administrasi hak atas tanah di luar kawasan hutan
masih berada di BPN, sementara yang berada di dalam kawasan hutan (70 persen
daratan) masih diadministrasi Kementerian Kehutanan. Seharusnya RUU ini
mengusulkan pembentukan kementerian pertanahan yang mengatur keseluruhan
perencanaan, administrasi, informasi spasial, pendaftaran dan hak atas
seluruh tanah dalam satu wadah secara nasional.
Jawaban penyelesaian konflik
pertanahan yang ditawarkan dalam RUU ini adalah membentuk pengadilan
pertanahan. Usulan ini akan efektif jika pemerintah mampu menyelesaikan
pekerjaan rumah dalam menyelesaikan masalah-masalah pertanahan dan problem
ketimpangan melalui reforma agraria dan menegakkan kelembagaan pertanahan
yang kredibel. Sebelum menuju pengadilan pertanahan perlu usaha penyelesaian
ribuan konflik/sengketa pertanahan seperti kasus Mesuji, Bima, dan lain-lain
yang tergolong extra ordinary oleh sebuah lembaga transisi
sekaligus menjawab keadilan masyarakat dalam proses transisional. Lembaga ini
misalnya Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria yang pernah
diusulkan Komnas HAM.
Lembaga ini bertugas mendaftar,
melakukan verifikasi, dan pemberkasan kasus yang diajukan masyarakat secara
kolektif; memfasilitasi penyelesaian secara win-win; dan menyampaikan rekomendasi penyelesaian yang akan
diputuskan oleh pengadilan (khusus) pertanahan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar