Beragama
di Negara Bineka
A Helmy Faishal Zaini ; Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama
|
KOMPAS,
19 Februari
2018
Jika ada yang raib dari
kosakata kita yang dulu sering kita dengar, barangkali jawabannya adalah tepa
salira dan tenggang rasa. Dua kosakata
itu senyatanya belakangan ini semakin sulit mewujud dalam perilaku
sehari-hari. Padahal, dua kosakata tersebut sangat populer setidaknya bagi
anak-anak sekolah pada dua atau tiga dekade lalu. Kini, kita harus mencecap
fakta bahwa sebagian anak muda—generasi milenial— jangankan untuk
mengimplementasikannya, mendengar dan mengerti arti tepa salira dan tenggang
rasa pun rasa-rasanya mereka masih kesulitan.
Apa yang kemudian terjadi?
Tentu saja rasa tepa salira, menghormati perbedaan, dan aktif menghargai
perbedaan dengan cara tenggang rasa juga mulai luntur di tiap-tiap kita.
Lihatlah kasus pemukulan
Kiai Umar Basri di Cicalengka, Bandung Barat, oleh seseorang yang menurut
keterangan penghuni pesantren tempat Kiai Umar Basri mengajar disebut sebagai
orang asing karena keberadaannya yang tidak begitu familier. Juga penyerangan
terhadap Gereja Santa Lidwina Bedog, Gamping, Sleman, Yogyakarta, yang
mengakibatkan aparat, jemaah, dan juga seorang pastor terluka adalah bukti
sahih bahwa ada yang hilang dari apa yang disebut sebagai tenggang rasa di
antara kita.
Menjaga
Indonesia
Dalam sebuah wawancara
soal kontroversinya memerintahkan Banser—Barisan Ansor Serbaguna—untuk menjaga
gereja, Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) pernah mengatakan lebih kurang seperti
ini, ”Kamu niatkan jaga Indonesia bila kamu enggak mau jaga gereja. Sebab,
gereja itu ada di Indonesia, Tanah Air kita. Tidak boleh ada yang mengganggu
tempat ibadah agama apa pun di bumi Indonesia.”
Pernyataan Gus Dur ini
seolah menghunjam nurani kita sebagai bangsa. Bahwa yang paling penting harus
dirawat adalah akal sehat untuk selalu menghargai perbedaan serta mencintai
tanah dan bangsa tempat kita dilahirkan. Ini mutlak dan tidak bisa
ditawar-tawar lagi.
Dalam konteks menjaga dan
menghormati aktivitas orang yang beribadah sekaligus rumah ibadah itu
sendiri, ada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad bahwa Ibnu Abbas
mengatakan adalah Rasulullah SAW setiap kali mengutus bala tentaranya, maka
beliau selalu berpesan: ”Berangkatlah dengan nama Allah, perangilah
orang-orang kufur kepada Allah. Dan, janganlah kalian curang, jangan mencuri
harta rampasan, dan jangan membunuh orang-orang yang berada di dalam gereja.”
Hadis ini sangat penting dalam konteks saat ini bahwa rumah ibadah agama
serta keyakinan apa pun haram hukumnya diserang dan diluluhlantakkan atas
alasan dan kepentingan apa pun.
Artinya, jika menyerang
bangunannya saja kita dilarang, lebih-lebih jika kita menyerang orang-orang
yang sedang beribadah di dalamnya. Mendudukkan orang yang berada di luar
pemahaman dan keyakinan kita sebagai sesama makhluk Tuhan adalah pekerjaan
rumah paling besar bagi kita semua.
Alasan menghargai
kemanusiaan adalah argumentasi paling paripurna untuk menumbuhkembangkan
sikap saling menghargai terhadap mereka yang berbeda dengan pemahaman kita.
Sahabat Ali karromallahu
wajhah suatu ketika pernah
mengatakan, ”Mereka yang bukan saudaramu dalam seiman, adalah saudaramu dalam
kemanusiaan.”
Kalimat ini memiliki arti
yang sangat jelas bahwa persaudaraan antarsesama manusia atau ukhuwwah
insaniyyah adalah cita-cita luhur yang harus kita wujudkan bersama dalam
kehidupan ini. Menghargai kemanusiaan adalah menghargai yang Maha
Menciptakan. Maka, jika memang tujuan kita hidup adalah memayu hayuning
bawana—memperindah keindahan dunia—maka kita harus menjaga harmoni dengan,
antara lain, yang paling penting tepa salira terhadap sesama dan menjaga
kelestarian alam semesta.
Krisis
keteladanan dan nilai-nilai tradisi
Patut dan menarik untuk
direnungkan adalah pertanyaan mengapa dulu, saat zaman pendidikan belum
begitu maju, belum banyak orang mengenyam bangku sekolah, bahkan belum
mengenal kehidupan kuliah, rasa tenggang rasa dan toleransi bisa mengejawantah?
Sebaliknya, secara diametral hari ini banyak anak sekolahan, banyak anak
lulusan ”kuliahan”, tetapi kenyataan justru rasa toleransi dan tenggang rasa
kian memudar. Saya mencatat ada dua hal mendasar yang menjadi pemicu.
Pertama, krisis keteladanan.
Harus kita akui, meski ini adalah kenyataan pahit, bangsa kita mengalami
defisit atau krisis keteladanan. Para pemuka agama belakangan asyik masyuk ke
dalam industri sehingga yang terjadi bukanlah fenomena ceramah yang bertujuan
memberikan teladan bagi umat, justru yang dilakukan adalah aktivitas yang
hampir seluruh muaranya didasarkan asas ketundukan kepada pemilik modal.
Kenyataan ini akhirnya
melahirkan ustaz-ustaz karbitan atau meminjam istilah Kiai Said Aqil Siroj
(2017)—ustaz kombatan—yang tidak begitu matang, bahkan belum matang sama
sekali penguasaan ilmu agamanya, meski begitu tergesa-gesa—demi kepentingan
industri—berani tampil di layar kaca. Pada gilirannya, materi dan ceramah
yang disampaikan pun kerap kali anti- klimaks serta jauh berbeda dengan
ajaran agama yang diajarkan dan diteladankan oleh Rasulullah SAW.
Bagaimana mungkin kita
bisa mendapatkan keteladanan yang luhur dari mereka yang isi dakwahnya setiap
saat selalu memandang yang berbeda darinya sebagai pihak yang sesat, halal
darahnya, kafir, kufur, dan harus diberangus? Mustahil kita berharap kepada
mereka. Harapan terbesar justru datang dari mereka, para pemuka agama, yang
jauh dari keramaian dan ”industrialisasi agama”, yang saban hari tidak lelah
menempa, memberikan teladan, dan mengajarkan akan nilai-nilai agama yang
santun, ramah, dan toleran.
Kedua, lunturnya
nilai-nilai tradisi. Persoalan ini bisa kita amati, misalnya, dari mulai
lunturnya tradisi mendongeng dalam sebuah keluarga. Bagaimanapun, dongeng
adalah wahana paling adiluhung untuk mentransformasikan pengetahuan dan
nilai-nilai luhur kepada generasi bangsa.
Dari dongeng, seorang anak
bisa belajar tentang keluhuran, persaudaraan, kesetiakawanan, juga
pengkhianatan, kemunafikan dan sederet perangai lainnya. Tradisi-tradisi
seperti mendongeng adalah salah satu upaya memberikan makna kehidupan sebagai
bekal untuk bertindak.
Tradisi semacam ini juga
merupakan upaya membakukan simbolisme tradisional, tempat di mana nilai-nilai
disimbolkan dalam sebuah cerita. Ini sangat penting keberadaannya bagi kita.
Sebab, terkikisnya nilai-nilai keluhuran bisa jadi salah satu penyebabnya
adalah keringnya pembelajaran nilai-nilai luhur yang ditanamkan kepada
generasi bangsa ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar