Politik
Omong Kosong
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
13 Januari
2018
Politik uang—maaf—mirip kentut. Sulit
membuktikan wujudnya, tetapi baunya menyebar ke mana-mana. Hebohnya luar
biasa. Orang bisa saling tuding, saling melotot, saling tunjuk, tetapi tiada
yang mau mengaku. Bahkan, mereka yang mempraktikkan politik uang pun akan
tutup mulut. Jangankan minta kuitansi tanda terima, pengakuan saja ditolak
ramai-ramai. Pengakuan adalah tindakan bunuh diri. Dan pembantahan sebetulnya
adalah sikap tak tahu diri. Politik tanpa uang ibarat sayur tanpa garam.
Hambar, tidak punya rasa.
”Uang adalah ASI (air susu ibu) dari
politik,” kata? ?Jesse Unruh, Ketua Majelis Negara Bagian California era
1960-an. ”Ada dua hal penting dalam dunia politik. Pertama adalah uang, dan
kedua saya tidak ingat,” kata Mark Hanna, penanggung jawab dana kampanye
presiden ke-25 Amerika Serikat William McKinley (1897-1901). Hanna berhasil
mengumpulkan dana besar sekitar 3 miliar dollar AS, yang belum pernah terjadi
dalam sejarah politik di AS.
Di negeri ini, berdasarkan data Litbang
Kementerian Dalam Negeri pada pilkada serentak tahun 2015, untuk menjadi
bupati atau wali kota, pasangan calon merogoh kocek hingga Rp 30 miliar,
sedangkan pasangan calon untuk menjadi gubernur berkisar Rp 20 miliar-Rp 200
miliar (Kompas,
27/9/2016). Biaya politik itulah yang menjadi biang kerok mahalnya politik.
Ada yang namanya mahar politik. Istilah mahar mengalami peyorasi. Istilah
mahar awalnya sakral nan suci dalam ikatan perkawinan, tetapi menjadi profan,
bahkan maknanya rendah, ketika diadopsi di politik. Mahar adalah modal untuk
mendapatkan kendaraan partai politik.
Kasak-kusuk politik yang beredar, visi-misi
dan program kerja pasangan calon rupanya hanya untuk konsumsi publik. Di
depan partai politik, soal visi-misi dan program kerja mungkin dinomorduakan.
Ada calon yang bilang begini, ”Omong kosong ditanya visi-misi, yang ditanya
’Anda punya uang berapa?’.” Maka, ketika La Nyalla Mattalitti mengungkap soal
permintaan mahar dari Partai Gerindra, gosip politik makin gaduh. La Nyalla
Mattalitti yang gagal maju pada Pilgub Jawa Timur mengaku dimintai setoran
uang Rp 40 miliar oleh Prabowo Subianto sebelum 20 Desember 2017. Gerindra
pun mencak-mencak. Keterangan bertubi-tubi dilayangkan untuk membantah La
Nyalla. Namun, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono menilai,
kalaupun benar permintaan uang Rp 40 miliar, itu bisa dianggap wajar karena
untuk membayar saksi di tempat pemungutan suara.
Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai
Golkar Jawa Barat Dedi Mulyadi juga pernah mengungkap soal mahar dari
partainya sendiri sebagai syarat bisa maju di Pilgub Jawa Barat 2018. Pada
Desember 2017, Dedi pernah mengungkap dimintai mahar Rp 10 miliar saat DPP
Partai Golkar dipimpin Setya Novanto. Dedi baru mendapat rekomendasi (menjadi
calon wakil gubernur mendampingi Deddy Mizwar) setelah Setya Novanto
tergusur.
Mahar, biaya politik, politik uang, atau
gizi politik adalah istilah yang terlalu sering terdengar di panggung
politik. Tanpa uang, mereka yang hebat dan genius sekalipun belum tentu
mendapatkan peluang untuk menjadi pemimpin di negeri ini. Kalaupun ada,
barangkali modusnya yang beda. Bukan mahar di awal, tetapi sistem ijon. Setelah
menang, modusnya adalah para pemodal atau donatur itu akan menagih pasangan
calon. Bisa lewat proyek atau jabatan. Politik balas jasa atau balas budi.
Hal itulah yang mengakibatkan negeri ini
terus dilanda bencana korupsi. Korupsi menjadi ladang subur untuk
mengembalikan modal yang telah digelontorkan demi sebuah kursi jabatan untuk
lima tahun. Laporan The National Democratic Institute (Reflect, Reform, Reengage: A
Blueprint for 21st Century
Parties, 2017) memperlihatkan bahwa pada abad ke-21, biaya politik
meningkat untuk membayar demokrasi sehingga terbangun kepercayaan publik
bahwa partai politik itu korup, dibuktikan dengan skandal tanpa akhir yang
melibatkan uang dan politik.
Korupsilah yang merusak demokrasi yang
diperjuangkan mahasiswa, rakyat, masyarakat si- pil, saat reformasi 1998.
Demokrasi benar-benar cacat oleh praktik korup yang dilakukan politi- kus,
pejabat, atau partai politik. Ketahanan demokrasi Indonesia sangat rapuh.
Berdasarkan la- poran Institute for Democracy and Electoral Assistance selama
40 tahun (1975-2015), tampak korupsi paling merusak ketahanan demokrasi di
Indonesia (The Global
State of Democracy: Exploring Democracy’s Resilience, 2017).
Tahun 2015, subdimensi paling rendah adalah
ketiadaan korupsi (absence
of corruption) dengan skala 0,38 (skala indeksnya 0-1, dari buruk
menuju baik). Kira-kira seposisi dengan Republik Kongo yang berskala 0,36.
Kasus-kasus korupsi besar yang membuat gaduh semuanya melibatkan aktor-aktor
politik, semisal wisma atlet Palembang, proyek Hambalang, proyek
infrastruktur daerah, kuota impor daging sapi, hingga KTP elektronik. Jadi,
benarkah para aktor politik berkomitmen membangun demokrasi yang baik,
bersih, dan kuat? Sepanjang korupsi terus beranak pinak, politik itu cuma
omong kosong. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar