Eksploitasi
Hukum dan Anomi
Tb Ronny Rachman Nitibaskara ; Kriminolog/Antropolog
UI
|
KOMPAS,
13 Januari
2018
Dunia hukum selalu
dikelilingi oleh permasalahan dan penyimpangan yang ada. Hampir dapat
dipastikan setiap negara mengalami hal tersebut. Entah itu akibat perilaku
yang berasal dari para oknum profesi hukum maupun masyarakatnya sendiri.
Kasus yang pernah mencuat
seperti penyuapan yang melibatkan hakim, tertangkap tangannya jaksa ketika
menerima uang suap, korupsi yang pernah melibatkan oknum petinggi Polri,
pengacara yang menyuap hakim demi kepentingan kliennya, ataupun seseorang
yang melakukan pendekatan kepada penegak hukum agar kasus yang menimpanya
dilancarkan, adalah peristiwa yang selalu terjadi dari masa ke masa.
Sebagai ilustrasi, banyak
warga dan media masih mengawal kasus korupsi KTP elektronik yang melibatkan
beberapa anggota Dewan. Pada tempo yang tidak terlalu jauh dimunculkan wacana
hak angket, yang diduga untuk mengurangi kewenangan KPK. Dalam waktu dan
tempat berbeda timbul gagasan membentuk Densus Tipikor yang didukung oleh
anggota Dewan yang kebetulan nama-namanya ada dalam incaran KPK. Kenyataan
yang seakan disengaja dan berdekatan itu mau tidak mau menimbulkan anggapan
banyak pihak bahwa memang ada sesuatu yang terjadi dalam ranah penegakan
hukum kita.
Perbedaan
paradigma
Fenomena ini kembali
dikuatkan dengan alasan mundurnya dua pengacara terkenal salah satu tersangka
kasus KTP-el. Pengacara pertama beralasan karena tidak ada kesepakatan dengan
tersangka mengenai cara penanganan perkara serta dalam menangani perkara ia
berpendapat harus menegakkan hukum dengan hukum yang baik. Pengacara lainnya
mundur dengan argumen memiliki cara kerja berbeda dengan salah satu advokat
tersangka yang lebih mengutamakan kompromi.
Sikap pengunduran diri itu
menunjukkan banyak cara yang dapat dilakukan ketika bersentuhan dengan hukum
dewasa ini.
Dalam kemuliaannya, hukum
merupakan senjata ampuh menciptakan ketertiban dan kepastian, untuk mengubah
masyarakat menuju yang dicita-citakan dan mencapai keadilan yang diinginkan
bersama. Tak dapat disangkal, untuk mewujudkan keadilan memang diperlukan
kepastian hukum.
Ketentuan hukum positif
yang acap kali berubah-ubah pasti membuat keadilan semakin jauh dari
jangkauan. Bahkan bisa menimbulkan perlakuan bahwa manusia untuk hukum, bukan
hukum untuk manusia. Hal ini dapat membuat kepastian hukum hanya sebagai
dalih meraih keuntungan sepihak.
Di samping itu, banyak
peranti hukum memiliki kelemahan karena terlalu monodisipliner dan kurang
menggunakan bantuan ilmu lain. Tak sedikit produk hukum tercipta tanpa
memanfaatkan pendekatan sosiologis, psikologis, ataupun kriminologis. Kendati
demikian, setiap pihak wajib memperlakukan hukum dengan semestinya sesuai
aturan dan koridor yang ada. Apabila aturan hukum sudah mengatur sedemikian
rupa tentang sesuatu, tidak ada pilihan lain kecuali harus tunduk walaupun
rakyat dan negara harus dirugikan.
Melalui buku Tegakkan
Hukum Gunakan Hukum (2006), pernah saya kemukakan bahwa dalam penegakan hukum
terdapat kehendak agar hukum tegak sehingga nilai-nilai yang diperjuangkan
melalui instrumen hukum yang bersangkutan dapat diwujudkan. Namun, dalam
menggunakan hukum belum tentu ada upaya serius untuk meraih cita-cita yang
terkandung dalam aturan hukum karena sebagian dari hukum itu digunakan untuk
membenarkan tindakan yang dilakukan.
Menegakkan hukum tanpa
menggunakan hukum dapat melahirkan tindakan sewenang-wenang. Sebaliknya,
menggunakan hukum tanpa berniat menegakkan hukum dapat menimbulkan
ketidakadilan kepastian hukum dan dengan cepat membawa keadaan seperti tanpa
hukum. Pemahaman penuh terhadap tegakkan hukum dan gunakan hukum tersebut
mutlak dimiliki setiap abdi hukum.
Umumnya, penegak hukum
berpandangan terlalu sempit dan yuridis dogmatis semata. Sangat berlainan
dengan kriminolog yang menganut pandangan multidisipliner.
Tiap profesi hukum
memiliki sikap dan paradigma berbeda dalam memandang hukum. Pertama, ada yang
berpegang pada aturan dan tata cara penanganan sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Kedua, ada yang memilih meninggalkan cara di
atas—sebagian ataupun seluruhnya—dengan melakukan kompromi dan
langkah-langkah lain. Mereka yang konsisten pada pilihan pertama tentu wajib
diacungi jempol dan didukung sepenuhnya. Permasalahan justru berada pada
insan yang tetap teguh dengan sikap kedua.
Ketika memilih untuk tidak
terlalu berpegang pada ketentuan yang ada, kesempatan melakukan penyimpangan
akan muncul seketika. Aturan dan pasal hanya dianggap sebagai sarana atau
alat untuk dieksploitasi demi kepentingan pribadi.
Rekayasa
dan eksploitasi
Sifat teknikalitas yang
tinggi dalam hukum modern mengakibatkan proses hukum di dalam maupun di luar
pengadilan menjadi teramat eksklusif milik mereka yang berkecimpung dalam
profesi hukum. Proses hukum akhirnya menjadi ajang beradu teknik dan
keterampilan. Siapa yang lebih pintar menggunakan dan memanfaatkan hukum,
besar kemungkinan ia akan muncul sebagai pemenang perkara. Bahkan, konsultan
hukum yang memiliki jam terbang teramat tinggi dapat menciptakan suatu
konstruksi hukum yang dituangkan dalam kontrak sedemikian canggihnya sehingga
kliennya dapat dipastikan telah meraih kemenangan tanpa melalui pengadilan.
Karakter teknikalitas tersebut lantas menggiring hukum pada posisi yang siap
direkayasa dan dieksploitasi. Peluang melakukan hal itu dapat beragam sesuai
tingkatan oknum penegak hukum itu sendiri.
Ketika perkara baru sampai
di tingkat kepolisian, celah tersebut terletak dalam kewenangan diskresi yang
dimiliki polisi. Saat naik ke kejaksaan, hal tersebut bisa terdapat dalam
kekuasaan jaksa, misalnya melakukan deponir. Pada tingkat puncak, yakni di
tangan hakim yang memiliki kewenangan diskresi terbesar, yang bersangkutan
dapat menilai bersalah-tidaknya seseorang dengan mudah, ibaratnya dapat
seketika menghitam-putihkan segala persoalan hukum.
Tidak boleh dilupakan juga
profesi advokat atau pengacara. Sebagai salah satu penegak hukum, seorang
pengacara memiliki keterampilan mumpuni dalam melakukan pembelaan terhadap
kliennya dengan menyusun bahkan mungkin menciptakan berbagai alibi yang ada.
Lebih parah lagi, meskipun
keseluruhan aparat hukum di atas merupakan individu yang amanah, tak jarang
masyarakat yang justru mendekati mereka, menciptakan terjadinya peluang
melakukan penyimpangan, agar kasus yang menimpanya dipermudah dan
diperlancar. Sudah rahasia umum, siapa pun tak ingin berlama-lama berurusan
dengan hukum. Maka, penyimpangan dari prosedur hukum merupakan pilihan utama
supaya persoalan dapat diselesaikan di luar
hukum.
Eksploitasi hukum itu
ujung-ujungnya akan menggunakan hukum sebagai alat kejahatan. Dengan
pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya, oknum tersebut akan menegakkan
hukum dengan cara yang tidak sesuai peraturan, dan menggunakan hukum untuk
tujuan tidak semestinya. Akhirnya, keadilan, kepastian, dan manfaat hukum
semakin jauh dari yang dicita-citakan. Kondisi demikian makin marak terjadi
di saat dunia peradilan dan penegakan hukum berada dalam situasi anomi, suatu
keadaan tanpa peraturan dan norma, sebagai salah satu bentuk pengabaian norma
yang terjadi akibat adanya kesenjangan antara cita-cita atau tujuan dengan
sarana yang ada.
Kenyataan ini dapat
menjadikan seseorang diberi tiga pilihan ketika bersentuhan dengan hukum.
Pertama, menegakkan dan menggunakan hukum mengikuti cara yang termaktub dalam
peraturan perundang-undangan yang ada. Kedua, melakukannya, tetapi dengan
jalan menyimpang di luar undang-undang. Ketiga, tidak melakukan keduanya,
dalam arti cuma memanfaatkan celah hukum semata dengan segala upaya untuk
kepentingan pribadi. Pilihan kedua dan ketiga ini ditengarai akan menjamur
dalam situasi anomi.
Perbuatan-perbuatan yang
dilakukan oknum-oknum tersebut lambat laun dapat menjelma menjadi kejahatan yang
teramat sempurna tanpa celah serta terlindung oleh hukum yang mereka
ciptakan. Jika semua ini didiamkan dan anomi dibiarkan terjadi, penyimpangan
dalam dunia peradilan akan menjadi budaya yang tidak akan dipermasalahkan
lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar