Mengakarrumputkan
Perlindungan Anak ke RT/RW
Seto Mulyadi ; Ketua Umum Lembaga Perlindungan
Anak Indonesia (LPAI);
Dosen Fakultas
Psikologi Universitas Gunadarma
|
MEDIA
INDONESIA, 11 Januari 2018
UDARA serasa seketika
pengap menyusul kehebohan aksi monster pedofilia di Tangerang. Seorang oknum
guru honorer memangsa secara seksual 41 siswa. Hampir menyamai oknum guru
lainnya di Pulau Legundi, di tengah laut lepas Teluk Lampung, yang melecehkan
lima puluhan anak didiknya. Semakin sesak dalam napas, kedua peristiwa jahat
itu berdekatan dengan video mesum anak-anak yang dilakukan secara
terorganisasi di Bandung. Upaya mengarusutamakan perlindungan anak sebagai
agenda nasional telah terlihat sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
mengeluarkan Inpres Gerakan Nasional Antikekerasan Seksual terhadap Anak pada
tahun 2014 silam. Melalui inpres tersebut, seluruh kementerian dan lembaga
dikerahkan untuk bekerja dalam skala besar mengatasi kejahatan seksual para
pemangsa anak-anak di Indonesia.
Pekerjaan rumahnya, siapa
pemangku kepentingan dan bagaimana mengakarrumputkan perlindungan anak ke
segenap komponen masyarakat hingga unit terkecilnya, yakni keluarga? Apabila
Inpres Gerakan Nasional Revolusi Mental yang dikeluarkan Presiden Joko Widodo
dijadikan sebagai pedoman, otoritas penegakan hukum berada di garda terdepan
perlindungan anak. Itu merupakan konsekuensi karena berdasarkan Inpres
Gerakan Nasional Revolusi Mental, program menjadikan rumah dan sekolah
sebagai basis penciptaan lingkungan nirkekerasan dan ramah anak ditempatkan
di bawah koordinasi Kemenko Polhukam.
Meski begitu, perlu
dipahami bersama bahwa perlindungan anak pada kenyataannya tidak melulu
urusan menangkal predator seksual. Perlindungan anak bukan ihwal kejahatan
saja. Dengan kata lain, urusan ini tidak terkunci sebagai isu politik, hukum,
dan keamanan semata. Perlindungan anak meliputi masalah-masalah yang jauh
lebih luas lagi, seperti akta kelahiran, pemberian imunisasi, pencegahan
pernikahan dini, pertahanan menghadapi orientasi seksual menyimpang (LGBT),
dan pencegahan perekrutan anak oleh kelompok kekerasan.
Persoalan
multidimensional
Perlindungan anak ialah
pencurahan upaya menyeluruh, terintegrasi, dan berkesinambungan untuk
merealisasikan hak-hak anak. Menjadi jelas, dengan cakupan persoalan
multidimensional seperti ini, niscaya tidak realistis bila lembaga penegakan
hukum seperti kepolisian menjadi aktor tunggal.
Jumlah personel kepolisian
juga memberikan alasan bagi perlunya perlibatan pemangku kepentingan lain
guna menyukseskan program pengakarrumputan perlindungan anak. Gambarannya
seperti ini. Sampai sekarang, unit kerja perlindungan anak di institusi Polri
baru ada sampai di tingkat kabupaten/kotamadya, yaitu kepolisian resor
(polres). Data laman resmi Polri, jumlah polres se-Indonesia hampir lima
ratus satuan. Apabila aparat Polri di tingkat desa atau kelurahan juga dapat
diandalkan untuk melaksanakan kerja perlindungan anak, per tahun 2015 terdapat
62 ribu petugas Badan Pembinaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat
(Babinkamtibmas).
Pada tahun yang sama
terdapat 80-an ribu desa di seluruh Indonesia. Jadi, hampir 20 ribu desa dan
kelurahan di Indonesia seolah tak diamankan polisi yang seharusnya bertugas
mengunjungi mereka secara berkala. Dalam rentang waktu yang sama, Profil Anak
Indonesia pada 2015 menunjukkan anak Indonesia berumur 0-17 tahun mencapai
82,85 juta jiwa. Satu personel Polri harus memantau seribuan anak ialah kerja
mustahil. Sulit dibantah, terlalu berat kiranya memfungsikan personel
Babinkamtibmas sebagai personel terdepan dalam perlindungan anak. Apalagi,
sesuai sebutannya, keamanan dan ketertiban tidak hanya berkaitan dengan
persoalan anak belaka.
Dengan mempertimbangkan
angka-angka di atas, diperlukan gagasan besar agar agenda pengakarrumputan
perlindungan anak benar-benar dapat mengenai sasaran hingga unit keluarga.
Dibutuhkan kerja serius agar tidak ada lagi pintu-pintu yang tertutup rapat,
dan di dalamnya terdapat anak-anak yang teraniaya, dengan alasan anak ialah
milik orangtua dan masalah anak ialah masalah domestik. Semakin mendesak
kebutuhan akan unit kerja yang selalu siap sedia memantau kehidupan anak
sekaligus meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kewajiban mereka menjamin
pemenuhan hak-hak anak. Apalagi karena kini sudah ada kartu anak Indonesia,
perangkat tersebut bisa memaksimalkan sosialisasi pemanfaatan kartu itu bagi
penyejahteraan anak hingga ke wilayah paling pelosok di Tanah Air.
Untuk maksud tersebut,
sejak sekitar lima tahun silam saya dan Lembaga Perlindungan Anak Indonesia
(yang saat itu masih bernama Komnas Perlindungan Anak) gencar berupaya
meyakinkan masyarakat akan perlunya seksi-seksi/satgas perlindungan anak
hingga ke tingkat rukun tetangga (RT). Seksi/satgas perlindungan anak ini
merupakan perluasan setelah sebelumnya masyarakat mempunyai seksi keamanan,
seksi kebersihan, seksi kerohanian, seksi ketertiban, dan berbagai seksi
urusan warga RT lainnya.
Sangat
potensial
Mengacu Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 7/1983, rukun tetangga merupakan perkumpulan warga yang
diakui dan dibina oleh pemerintah untuk melestarikan nilai-nilai kehidupan
masyarakat Indonesia yang berdasarkan kegotongroyongan dan kekeluargaan,
serta untuk membantu meningkatkan kelancaran tugas pemerintahan, pembangunan,
dan kemasyarakatan di desa dan kelurahan.
Saat saya menyusun tulisan
ini, http://www.data.go.id sedang dalam perbaikan. Akibatnya, jumlah resmi
mutakhir RT se-Indonesia belum dapat diketahui. Terlepas dari itu, di wilayah
DKI Jakarta saja per tahun 2016 terdapat 30.727 unit RT. Jika itu dijadikan
asumsi, di 33 provinsi se-Indonesia terdapat tak kurang dari 1.013.991 juta
RT. Itu berarti terdapat seksi perlindungan anak dalam jumlah yang sama.
Sementara itu, tidak ada satu pun kementerian dan lembaga dengan penetrasi
sedemikian dalam ke pelosok dan berjumlah sebanyak itu!
Seksi perlindungan anak
dalam jumlah sedemikian besar tentu sangat potensial untuk diandalkan. Tidak
hanya dahsyat dari segi kuantitas, secara kualitas pun seksi perlindungan
anak di tingkat RT itu berisi orang-orang yang diasumsikan paling mengenal
masyarakat dan dinamika kemasyarakatan di wilayah mereka masing-masing.
Kedekatan antara pengurus seksi perlindungan anak dan setiap rumah juga akan
mempercepat pemberian respons-respons cepat tanggap terhadap situasi berisiko
bagi anak. Melalui seksi perlindungan anak di tingkat RT inilah, kiranya
slogan 'melindungi anak perlu orang sekampung' dapat menemukan kenyataannya.
Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar