Pembelaan
bagi Populisme Ekonomi
Dani Rodrik ; Profesor Politik
Ekonomi Internasional John F Kennedy
School of Government, Harvard
University
|
KOMPAS,
13 Januari
2018
Kaum populis tidak
menyukai pengekangan yang dilakukan terhadap politisi lembaga eksekutif. Kaum
populis menganggap mereka mewakili mayoritas warga sehingga peraturan yang
diberlakukan kepada mereka dianggap sebagai bentuk pengekangan terhadap
kehendak publik. Pengekangan ini hanya akan menguntungkan ”musuh masyarakat”,
seperti kaum minoritas dan asing (dalam sudut pandang kaum populis sayap
kanan) atau kaum elite keuangan (dalam sudut pandang kaum populis sayap
kiri).
Ini adalah sebuah
pendekatan politik berbahaya karena memungkinkan mayoritas menindas hak
minoritas. Tanpa ada pembagian kekuasaan, sistem peradilan yang independen,
atau kebebasan pers—semua hal yang dibenci pemimpin autokrat populis mulai
dari Vladimir Putin, Recep Tayyip Erdogan, Viktor Orbán, hingga Donald
Trump—demokrasi beralih jadi tirani.
Pemilu berkala di bawah
pemerintahan populis hanya menjadi kedok. Tidak adanya penegakan hukum dan
kebebasan sipil memungkinkan rezim populis dapat melanggengkan kekuasaan
dengan memanipulasi media dan sistem peradilan sesuka hati.
Kebencian kaum populis
terhadap pembatasan kekuasaan juga terjadi dalam sektor ekonomi. Di sini,
mereka beranggapan, untuk menjalankan kekuasaan penuh ”demi kepentingan
rakyat”, tak selayaknya ada hambatan yang diberlakukan terhadap kewenangan
dan sepak terjang lembaga regulator otonom, bank-bank sentral yang independen
atau aturan perdagangan global.
Namun, berbeda dengan
populisme politik yang hampir selalu berdampak buruk, populisme ekonomi
kadang justru dibenarkan. Pertama, kita bahas mengapa pembatasan kebijakan
ekonomi mungkin diperlukan. Para ekonom cenderung menyukai pembatasan karena
pembuatan kebijakan yang sepenuhnya tunduk pada tuntutan politik dalam negeri
dapat menuntun pada kondisi yang sangat tidak efisien.
Terlebih lagi, kebijakan
ekonomi sering kali dihadapkan pada persoalan yang oleh ekonom disebut
sebagai inkonsistensi waktu: kepentingan jangka pendek sering kali tidak
sejalan dengan kepentingan jangka panjang.
Contoh nyata dari hal ini
adalah kebijakan moneter diskresioner. Politisi yang punya kewenangan
mencetak uang sesuka hati mereka dengan dalih untuk meningkatkan output
ekonomi dan mendongkrak lapangan kerja dalam jangka pendek (misalnya
menjelang pemilu) bisa memicu ”inflasi kejutan”.
Namun, kebijakan seperti
ini bisa jadi bumerang karena korporasi dan rumah tangga tidak tinggal diam.
Mereka akan me- nyesuaikan diri terhadap ekspektasi inflasi mereka. Pada
akhirnya kebijakan moneter diskresioner hanya akan menuntun pada naiknya
inflasi tanpa berdampak apa pun terhadap output perekonomian dan lapangan
kerja.
Bank
sentral
Solusi terhadap kondisi
seperti ini adalah pentingnya keberadaan bank sentral yang independen, yang
steril dari politik, dan bekerja semata untuk menjalankan mandatnya menjaga
stabilitas harga.
Dampak populisme
makroekonomi itu bisa kita lihat dengan mudah di Amerika Latin. Sebagaimana
argumen Jeffrey D Sachs, Sebastián Edwards, dan Rüdiger Dornbusch beberapa
tahun lalu, kebijakan moneter dan fiskal yang tidak berkelanjutan adalah
kecaman bagi wilayah tersebut sebelum akhirnya ortodoksi ekonomi mulai muncul
pada awal 1990-an. Kebijakan populis secara berkala menghasilkan krisis
ekonomi yang paling merugikan warga miskin. Untuk memutus siklus ini, Amerika
Latin mau tak mau harus kembali pada disiplin fiskal dan memercayakan urusan
itu kepada para menteri keuangan yang teknokratis.
Contoh lain kebijakan
terhadap investor asing. Ketika perusahaan asing berinvestasi, mereka harus
tunduk kepada kebijakan pemerintah setempat. Janji kepada investor asing
mudah dilupakan dan digantikan dengan kebijakan yang bertujuan memeras
perusahaan demi kepentingan anggaran nasional atau perusahaan dalam negeri.
Namun, investor tidak
bodoh, dan, karena mereka takut dengan kemungkinan ini, mereka melakukan investasi
di negara lain. Adanya kebutuhan pemerintah untuk menunjukkan kredibilitas
menyebabkan meningkatnya perjanjian perdagangan yang mencantumkan klausul
penyelesaian sengketa investor dengan negara tuan rumah (ISDS) sehingga
memungkinkan perusahaan menggugat di pengadilan internasional.
Beberapa contoh di atas
menunjukkan pengekangan dalam kebijakan ekonomi dalam bentuk delegasi
kekuasaan kepada badan otonom, teknokrat, atau otoritas eksternal. Ini
bertujuan mencegah pihak yang berkuasa mengambil kebijakan jangka pendek yang
merugikan diri sendiri.
Namun, ada contoh
pengekangan dalam kebijakan ekonomi tidak berdampak baik. Apalagi jika
hambatan itu dibuat kelompok kepentingan tertentu atau elite untuk
mengukuhkan kendali permanen mereka atas pengambilan kebijakan. Dalam kasus
itu, delegasi kekuasaan kepada badan otonom atau keikutsertaan dalam
peraturan global tidak akan memberikan manfaat bagi warga, tetapi
menguntungkan segelintir ”orang dalam”.
Populisme
politik
Bagian dari narasi kaum
populis saat ini bersumber dari anggapan—yang tak sepenuhnya salah—bahwa
sebagian besar pengambilan keputusan oleh pemerintah beberapa dekade terakhir
memang hanya menguntungkan kelompok elite. Perusahaan multinasional dan
investor semakin besar pengaruhnya dalam menentukan agenda negosiasi
perdagangan internasional sehingga rezim global secara tidak proporsional
menguntungkan pemodal dan merugikan pekerja.
Ketatnya aturan-aturan
mengenai hak paten dan keberadaan peradilan-peradilan internasional untuk
menyelesaikan masalah-masalah yang terkait dengan investor adalah contoh
nyata dalam hal ini. Contoh lain adalah pengambilalihan lembaga-lembaga
otonom oleh kalangan industri yang seharusnya diatur oleh lembaga-lembaga
tersebut.
Bank dan institusi
keuangan lainnya sukses besar dalam mendapatkan apa yang mereka inginkan dan
memasukkan regulasi yang memberikan mereka kebebasan bertindak. Kehadiran
bank sentral yang independen berperan penting dalam menurunkan inflasi pada
1980-an dan 1990-an. Namun, ketika inflasi rendah seperti saat ini, fokus
mereka pada stabilitas harga punya bias yang anti-inflasi terhadap kebijakan
ekonomi dan tak selalu sejalan dengan upaya penciptaan lapangan kerja dan
pertumbuhan ekonomi.
Teknokrasi liberal seperti
ini mungkin sedang berada pada puncaknya di Uni Eropa, di mana peraturan
ekonomi dirancang dengan tak banyak melibatkan musyawarah demokratis di
tingkat nasional. Dan hampir di setiap negara anggota, kesenjangan politik
ini—yang disebut sebagai defisit demokrasi di Uni Eropa— membuka peluang bagi
bangkitnya partai politik populis yang skeptis terhadap Uni Eropa.
Dalam kasus seperti itu,
memangkas hambatan ekonomi dan mengembalikan otonomi pengambilan kebijakan
pada pemerintah yang terpilih mungkin pilihan yang baik. Situasi yang
eksepsional ini menuntut keleluasaan melakukan eksperimen dalam kebijakan
ekonomi.
Populisme politik adalah
ancaman yang harus dihindari sesulit apa pun. Sebaliknya, populisme ekonomi
kadang dibutuhkan karena pada kasus tertentu populisme ekonomi adalah
satu-satunya cara menghambat munculnya populisme politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar