Sabtu, 13 Januari 2018

Perdagangan Daring di Era Kapitalisme Informasional

Perdagangan Daring di Era Kapitalisme Informasional
Rahma Sugihartati  ;  Dosen Ilmu Informasi dan Perpustakaan FISIP Unair
                                                      KOMPAS, 12 Januari 2018



                                                           
Perkembangan perdagangan daring (”e-commerce”) yang kian pesat pada 2018 adalah peluang sekaligus ancaman bagi perekonomian nasional.
Meski kehadiran perdagangan daring memudahkan konsumen untuk mendapatkan barang yang mereka inginkan, di saat yang sama perdagangan daring juga membuat pangsa pasar domestik rawan diserbu produk-produk global.

Di Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) beberapa waktu lalu, misalnya, dilaporkan jumlah konsumen yang berkunjung melonjak 10 kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Nilai transaksi pada 2017 diperkirakan tembus Rp 4,7 triliun. Cuma yang menjadi  masalah adalah berapa persen produk-produk yang dibeli konsumen melalui sistem daring (online) merupakan
produk nasional atau produk lokal?

Pemerintah sebetulnya telah menyadari kemajuan teknologi informasi dan perkembangan internet bukan hanya menyebabkan perubahan dalam relasi sosial masyarakat, juga pola konsumsi dan aktivitas belanja. Kemajuan teknologi digital di satu sisi menawarkan keuntungan bagi pihak-pihak yang mampu memanfaatkan kesempatan yang ada, di sisi lain bukan tak mungkin berakibat negatif ketika banyak pelaku bisnis nasional masih gagap memanfaatkan berbagai kelebihan teknologi digital.

Perkiraan dampak

Di tengah makin meningkatnya tren belanja daring, salah satu kelebihan yang dinikmati konsumen adalah efisiensi dan terputusnya mata rantai perjalanan produk yang selama ini membuat harga barang lebih mahal. Meski demikian, di balik kelebihan ini, perkembangan daring yang pesat ternyata juga berisiko menimbulkan dampak yang kontra-produktif.

Pertama, di balik makin meningkatnya ekonomi daring, ternyata diikuti makin lesunya sektor  ritel. Akibat pergeseran pola belanja konsumen ke sistem daring, sejumlah usaha ritel, seperti 7-Eleven,  Lotus, Debenhams, Hero, Ramayana, dan Matahari Department Store, dilaporkan sebagian mulai tutup dan melakukan efisiensi habis-habisan. Sejumlah pusat perbelanjaan modern yang biasanya ramai, seperti Glodok dan WTC Mangga Dua, juga mulai susut, kehilangan sebagian pembelinya. Entah karena penurunan daya beli masyarakat atau karena pergeseran pola belanja ke sistem daring.

Kedua, dampak peningkatan sistem belanja daring terhadap bidang ketenagakerjaan. Pertumbuhan perdagangan daring yang pesat, diakui atau tidak, telah mendorong perkembangan produk berbasis pada pengetahuan daripada manufaktur. Sebagian besar pekerja di Tanah Air yang berlatar belakang pendidikan rendah tentu tidak semua dapat terserap dalam sektor industri yang berbasis pengetahuan. Ekonomi kreatif yang membutuhkan sumber daya manusia berkualitas tentu memiliki prasyarat tenaga kerja yang berbeda daripada industri pabrikan yang lebih banyak menuntut kekuatan otot dan keterampilan teknis.

Ketiga, terjadinya pergeseran pola konsumsi masyarakat yang cenderung makin konsumtif dan tidak terkontrol. Ketika belanja daring berkembang dan menawarkan cara berbelanja yang berbeda, bukan tidak mungkin di kalangan konsumen muncul konstruksi yang berbeda tentang pola berbelanja. Ditengarai, belanja kini makin jadi bagian dari gaya hidup yang tumbuh pesat karena didukung penyebarluasan kepemilikan kartu kredit, kartu ATM, dan gawai (gadget). Hanya dengan bermodal gawai seharga Rp 1 juta, dan kepemilikan kartu kredit yang makin mudah, kini banyak warga makin mudah berbelanja. Di Indonesia, paling tidak 36 persen masyarakat sudah bankable. Tak sedikit konsumen yang memutuskan membeli sesuatu bukan karena kebutuhan, melainkan lebih didorong oleh keinginan sehingga yang muncul di masyarakat adalah masyarakat yang makin konsumtif.

Keempat, meski menjanjikan keterbukaan dan kebebasan, kehadiran sistem ekonomi digital harus diakui juga berpeluang melahirkan kesenjangan antar-pelaku usaha.

Karakter ekonomi digital yang non-diskriminatif dan membuka kesempatan bagi siapa pun untuk terlibat dan memanfaatkan kebebasan yang ditawarkan, di satu sisi memang membuka kesempatan kepada pelaku usaha menengah kecil dan mikro (UMKM) untuk dapat bersaing di ranah dunia maya. Akan tetapi, ketika sebagian besar masyarakat masih gagap memanfaatkan teknologi informasi dan di masyarakat masih diwarnai kesenjangan digital, bukan tidak mungkin pihak yang lebih berpeluang memanfaatkan perubahan adalah pelaku-pelaku ekonomi yang mapan dan berpendidikan.

Hasrat berbelanja

Castells (2000) jauh-jauh hari telah menganalisis bahwa perkembangan masyarakat post-industrial bukan saja mengakibatkan terjadinya perubahan yang dahsyat di bidang pengelolaan dan peran informasi, melainkan juga melahirkan restrukturisasi fundamental terhadap sistem kapitalis yang memunculkan apa yang disebut Castells sebagai ”kapitalisme informasional”. Munculnya kapitalisme informasional ini didasarkan pada ”informasionalisme”. Di sini, sumber utama produksi terletak pada kapasitas dalam penggunaan dan pengoptimalan faktor produksi lebih berdasarkan kemampuan mengelola informasi dan pengetahuan daripada berdasarkan pada kekuatan modal.

Bagi masyarakat yang tidak mampu mengembangkan sikap kritis dan kemudian terhegemoni oleh kekuatan kapitalisme informasional yang memainkan konstruksi dan logika konsumsi, cepat atau lambat mereka akan terperangkap dalam gaya hidup dan pola konsumsi yang berlebihan. Konstruksi bahwa berbelanja daring adalah cara berbelanja masyarakat post-modern adalah salah satu upaya yang kini tengah disebarluaskan oleh kekuatan kapital untuk merayu loyalitas konsumen. Artinya, kenapa ekonomi daring lebih berkembang di era sekarang, persoalannya bukan semata karena lebih mudah dan lebih murah, melainkan juga karena cara berbelanja gaya baru ini menjanjikan prestise daripada cara berbelanja yang konvensional.

Untuk mencegah atau minimal mengurangi hasrat berbelanja masyarakat melalui sistem daring, yang dibutuhkan bukan sekadar kesadaran untuk mengelola keuangan yang lebih baik dan memahami arti penting saving. Namun, yang tak kalah penting adalah bagaimana mengembangkan counter culture untuk melawan hedonisme dan hasrat berbelanja yang berlebihan melalui pengembangan sikap kritis. Berbelanja melalui sistem daring memang memudahkan dan bergaya. Meski demikian, masalahnya adalah bagaimana mengendalikan hasrat berbelanja secara rasional dan kritis agar tidak besar pasak daripada tiang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar