Perdagangan
Daring di Era Kapitalisme Informasional
Rahma Sugihartati ; Dosen Ilmu Informasi
dan Perpustakaan FISIP Unair
|
KOMPAS,
12 Januari
2018
Perkembangan perdagangan
daring (”e-commerce”) yang kian pesat pada 2018 adalah peluang sekaligus
ancaman bagi perekonomian nasional.
Meski kehadiran
perdagangan daring memudahkan konsumen untuk mendapatkan barang yang mereka
inginkan, di saat yang sama perdagangan daring juga membuat pangsa pasar
domestik rawan diserbu produk-produk global.
Di Hari Belanja Online
Nasional (Harbolnas) beberapa waktu lalu, misalnya, dilaporkan jumlah
konsumen yang berkunjung melonjak 10 kali lipat dibandingkan tahun
sebelumnya. Nilai transaksi pada 2017 diperkirakan tembus Rp 4,7 triliun.
Cuma yang menjadi masalah adalah
berapa persen produk-produk yang dibeli konsumen melalui sistem daring
(online) merupakan
produk nasional atau
produk lokal?
Pemerintah sebetulnya
telah menyadari kemajuan teknologi informasi dan perkembangan internet bukan
hanya menyebabkan perubahan dalam relasi sosial masyarakat, juga pola
konsumsi dan aktivitas belanja. Kemajuan teknologi digital di satu sisi
menawarkan keuntungan bagi pihak-pihak yang mampu memanfaatkan kesempatan yang
ada, di sisi lain bukan tak mungkin berakibat negatif ketika banyak pelaku
bisnis nasional masih gagap memanfaatkan berbagai kelebihan teknologi
digital.
Perkiraan
dampak
Di tengah makin
meningkatnya tren belanja daring, salah satu kelebihan yang dinikmati
konsumen adalah efisiensi dan terputusnya mata rantai perjalanan produk yang
selama ini membuat harga barang lebih mahal. Meski demikian, di balik
kelebihan ini, perkembangan daring yang pesat ternyata juga berisiko
menimbulkan dampak yang kontra-produktif.
Pertama, di balik makin
meningkatnya ekonomi daring, ternyata diikuti makin lesunya sektor ritel. Akibat pergeseran pola belanja
konsumen ke sistem daring, sejumlah usaha ritel, seperti 7-Eleven, Lotus, Debenhams, Hero, Ramayana, dan
Matahari Department Store, dilaporkan sebagian mulai tutup dan melakukan
efisiensi habis-habisan. Sejumlah pusat perbelanjaan modern yang biasanya
ramai, seperti Glodok dan WTC Mangga Dua, juga mulai susut, kehilangan
sebagian pembelinya. Entah karena penurunan daya beli masyarakat atau karena
pergeseran pola belanja ke sistem daring.
Kedua, dampak peningkatan
sistem belanja daring terhadap bidang ketenagakerjaan. Pertumbuhan
perdagangan daring yang pesat, diakui atau tidak, telah mendorong
perkembangan produk berbasis pada pengetahuan daripada manufaktur. Sebagian
besar pekerja di Tanah Air yang berlatar belakang pendidikan rendah tentu
tidak semua dapat terserap dalam sektor industri yang berbasis pengetahuan.
Ekonomi kreatif yang membutuhkan sumber daya manusia berkualitas tentu
memiliki prasyarat tenaga kerja yang berbeda daripada industri pabrikan yang
lebih banyak menuntut kekuatan otot dan keterampilan teknis.
Ketiga, terjadinya
pergeseran pola konsumsi masyarakat yang cenderung makin konsumtif dan tidak terkontrol.
Ketika belanja daring berkembang dan menawarkan cara berbelanja yang berbeda,
bukan tidak mungkin di kalangan konsumen muncul konstruksi yang berbeda
tentang pola berbelanja. Ditengarai, belanja kini makin jadi bagian dari gaya
hidup yang tumbuh pesat karena didukung penyebarluasan kepemilikan kartu
kredit, kartu ATM, dan gawai (gadget). Hanya dengan bermodal gawai seharga Rp
1 juta, dan kepemilikan kartu kredit yang makin mudah, kini banyak warga
makin mudah berbelanja. Di Indonesia, paling tidak 36 persen masyarakat sudah
bankable. Tak sedikit konsumen yang memutuskan membeli sesuatu bukan karena
kebutuhan, melainkan lebih didorong oleh keinginan sehingga yang muncul di
masyarakat adalah masyarakat yang makin konsumtif.
Keempat, meski menjanjikan
keterbukaan dan kebebasan, kehadiran sistem ekonomi digital harus diakui juga
berpeluang melahirkan kesenjangan antar-pelaku usaha.
Karakter ekonomi digital
yang non-diskriminatif dan membuka kesempatan bagi siapa pun untuk terlibat
dan memanfaatkan kebebasan yang ditawarkan, di satu sisi memang membuka
kesempatan kepada pelaku usaha menengah kecil dan mikro (UMKM) untuk dapat
bersaing di ranah dunia maya. Akan tetapi, ketika sebagian besar masyarakat
masih gagap memanfaatkan teknologi informasi dan di masyarakat masih diwarnai
kesenjangan digital, bukan tidak mungkin pihak yang lebih berpeluang
memanfaatkan perubahan adalah pelaku-pelaku ekonomi yang mapan dan
berpendidikan.
Hasrat
berbelanja
Castells (2000) jauh-jauh
hari telah menganalisis bahwa perkembangan masyarakat post-industrial bukan
saja mengakibatkan terjadinya perubahan yang dahsyat di bidang pengelolaan
dan peran informasi, melainkan juga melahirkan restrukturisasi fundamental
terhadap sistem kapitalis yang memunculkan apa yang disebut Castells sebagai
”kapitalisme informasional”. Munculnya kapitalisme informasional ini
didasarkan pada ”informasionalisme”. Di sini, sumber utama produksi terletak
pada kapasitas dalam penggunaan dan pengoptimalan faktor produksi lebih
berdasarkan kemampuan mengelola informasi dan pengetahuan daripada
berdasarkan pada kekuatan modal.
Bagi masyarakat yang tidak
mampu mengembangkan sikap kritis dan kemudian terhegemoni oleh kekuatan
kapitalisme informasional yang memainkan konstruksi dan logika konsumsi,
cepat atau lambat mereka akan terperangkap dalam gaya hidup dan pola konsumsi
yang berlebihan. Konstruksi bahwa berbelanja daring adalah cara berbelanja
masyarakat post-modern adalah salah satu upaya yang kini tengah
disebarluaskan oleh kekuatan kapital untuk merayu loyalitas konsumen.
Artinya, kenapa ekonomi daring lebih berkembang di era sekarang, persoalannya
bukan semata karena lebih mudah dan lebih murah, melainkan juga karena cara
berbelanja gaya baru ini menjanjikan prestise daripada cara berbelanja yang konvensional.
Untuk mencegah atau
minimal mengurangi hasrat berbelanja masyarakat melalui sistem daring, yang
dibutuhkan bukan sekadar kesadaran untuk mengelola keuangan yang lebih baik
dan memahami arti penting saving. Namun, yang tak kalah penting adalah
bagaimana mengembangkan counter culture untuk melawan hedonisme dan hasrat
berbelanja yang berlebihan melalui pengembangan sikap kritis. Berbelanja
melalui sistem daring memang memudahkan dan bergaya. Meski demikian,
masalahnya adalah bagaimana mengendalikan hasrat berbelanja secara rasional
dan kritis agar tidak besar pasak daripada tiang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar