Pemilu
Inklusif
Ramlan Surbakti ; Guru Besar Perbandingan
Politik pada FISIP
Universitas Airlangga,
Surabaya; Anggota Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS,
12 Januari
2018
Partisipasi pemilih
(”voting turn out”) dalam pemilu di Indonesia belum mencapai tingkat yang
diharapkan, bahkan belum mencapai tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu
2004 (yang mencapai 81 persen). Tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu 2014
mencapai 71 persen sehingga pemilih terdaftar yang tidak menggunakan hak
pilih (”nonvoters”) mencapai 29 persen (dari 193 juta pemilih terdaftar atau
lebih dari 55 juta pemilih).
Jumlah tersebut sungguh
sangat besar, apalagi kalau ditambah dengan jumlah pemilih tidak terdaftar,
jumlah suara yang tidak sah, dan jumlah suara sah yang diperoleh partai
politik peserta pemilu yang tidak mencapai ambang batas perwakilan. Salah
satu faktor yang menyebabkan tingkat partisipasi pemilih belum mencapai angka
80 persen adalah karena pemilu belum inklusif. Pemilih terdaftar yang
memiliki berbagai macam kebutuhan khusus belum difasilitasi.
Karena memilih adalah hak,
apakah menggunakan hak pilih atau tidak sepenuhnya tergantung pada pemilih.
Apabila pemilih terdaftar ”memilih untuk tidak memilih” (golput), tidak ada
yang dapat dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau pemerintah. Akan
tetapi, pembuat undang-undang dan KPU dapat membuat pengaturan yang memberi
kemudahan bagi para pemilih dalam pemberian suara.
Setidaknya terdapat dua
macam pengaturan yang dapat mendorong pemilih terdaftar datang ke tempat
pemungutan suara (TPS) untuk memberikan suara.
Pertama, pengaturan
pemungutan suara yang nyaman dan aman (adequate polling arrangement) bagi
pemilih. Jarak antara tempat tinggal pemilih dan TPS tidak terlalu jauh,
pemilih tidak menunggu giliran terlalu lama (antrean tidak panjang), dan
tempat menunggu giliran memberikan suara nyaman (tersedia tempat duduk yang
teduh). Di kota besar, masalah jarak dapat diatasi dengan alat transportasi,
tetapi di kawasan pedesaan persoalan jarak hanya dapat diatasi dengan
berjalan kaki.
Persoalan ini sudah lama
diatasi oleh pembuat undang-undang dengan menetapkan jumlah pemilih untuk
satu TPS paling banyak 300 orang. Dengan demikian, permukiman kecil yang
jumlah pemilihnya kurang dari 300 orang (di sebagian daerah di Indonesia satu
desa hanya memiliki 50 sampai 100 pemilih) dapat ditetapkan sebagai satu TPS.
Itulah sebabnya, jumlah TPS seluruh Indonesia mencapai lebih dari 550.000.
TPS seperti ini memang tidak efisien, tetapi nyaman bagi pemilih.
Karena jumlah pemilih di
suatu TPS maksimal 300 orang, daftar tunggu memilih juga tidak terlalu
panjang. Daftar tunggu yang tak terlalu panjang dan pemilih mendapat giliran
memberikan suara berdasarkan prinsip ”siapa datang lebih dahulu mendapatkan
giliran pertama” (first come, first served), niscaya memberikan rasa nyaman
dan aman bagi pemilih untuk memberikan suara.
Pemilih
berkebutuhan khusus
Kedua, pengaturan
pemungutan suara yang memungkinkan semua pemilih terdaftar yang memiliki
kebutuhan khusus dapat menggunakan hak pilihnya (equitable polling
arrangement). Pemilih terdaftar terdiri atas berbagai macam kategori
berdasarkan pelayanan yang diperlukan untuk dapat memberikan suara. Para
pemilih kategori difabel, seperti tunanetra dan tunarungu, jelas memerlukan
jenis dan bentuk pelayanan yang berbeda.
Yang sudah mulai dijamin
dalam pemilu, walaupun belum merata di seluruh Tanah Air, adalah TPS yang
ramah bagi pemilih difabel (seperti TPS yang dapat dimasuki kursi roda),
penyediaan huruf Braille bagi pemilih tunanetra, dan pemilih difabel dapat
memilih siapa yang akan membantunya untuk menandai pilihan di bilik suara.
Pemilih yang tengah dirawat di rumah sakit adalah pemilih kategori kedua yang
tak dapat meninggalkan rumah sakit untuk mendatangi TPS.
Mereka yang tengah dirawat
di rumah sakit jelas merupakan pemilih yang memiliki kebutuhan khusus, yaitu
pengaturan pemungutan suara yang memungkinkan mereka menggunakan hak pilih
tanpa harus meninggalkan rumah sakit. Pada Pemilu Legislatif 2014 sekitar 700
pasien di RS Dr Soetomo Surabaya tidak dapat menggunakan hak pilihnya
walaupun sudah menunggu sangat lama. Mereka yang dirawat di rumah dan pemilih
berusia lanjut yang sudah tidak kuat berjalan menuju TPS adalah contoh lain
pemilih kategori kedua.
Pemilih kategori ketiga
adalah mereka yang karena tugasnya tidak dapat meninggalkan tempat kerja
untuk mendatangi TPS, seperti tenaga paramedis dan dokter. Pemilih seperti
ini niscaya memiliki kebutuhan khusus yang perlu difasilitasi. Para wartawan
dan petugas survei hitung cepat yang meliput proses pemungutan dan
penghitungan suara di beberapa TPS merupakan contoh lain kategori ketiga ini.
Mereka tidak dapat menggunakan hak pilih di TPS tempat tinggalnya karena
melaksanakan tugas profesional di luar kota. Mekanisme pindah tempat memilih
sebagaimana dimungkinkan oleh undang-undang jarang dapat digunakan karena
tidak tahu akan memilih di TPS yang mana.
Pemilih kategori keempat
yang juga memiliki kebutuhan khusus adalah mahasiswa dan pekerja musiman di
kota besar yang berasal dari luar daerah. Mereka ini sudah terdaftar sebagai
pemilih di daerah asal, tetapi karena sesuatu hal (seperti tidak memiliki
biaya) tidak dapat pulang kampung pada hari pemungutan suara. KPU Kabupaten
Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada Pemilu Legislatif 2014 membuat
pengaturan khusus yang memungkinkan para mahasiswa yang berasal dari luar
daerah menggunakan hak pilihnya. Akan tetapi, KPU daerah lain tidak mengambil
kebijakan serupa karena tidak ada pengaturan yang bersifat nasional dari KPU.
Kategori pemilih kelima
yang juga memiliki kebutuhan khusus adalah mereka pemilih terdaftar yang
karena satu dan lain hal, seperti harus bepergian ke luar daerah atau luar
negeri dan/atau halangan lain, tidak dapat mendatangi TPS pada hari
pemungutan suara. Pemilih seperti ini juga memerlukan pengaturan pemungutan
suara yang memungkinkan mereka menggunakan hak pilih walaupun tidak bisa
hadir di TPS pada hari pemungutan suara.
Akhirnya, kategori pemilih
yang keenam adalah mereka yang tengah menjalani hukuman pidana di lembaga
pemasyarakatan. Mereka ini sudah barang tentu tidak dapat menggunakan hak
pilih di tempat asalnya masing-masing. Pemilih terdaftar dari keenam kategori
tersebut di atas diperkirakan mencapai jumlah yang signifikan.
Pengaturan
khusus
Pengaturan seperti apakah
yang hendaknya diadopsi oleh KPU untuk menjamin semua pemilih terdaftar dari
berbagai kategori tersebut dapat menggunakan hak pilihnya. Dengan kata lain,
mekanisme dan prosedur macam apakah yang perlu diatur oleh KPU untuk menjamin
pemilu inklusif?
Pengaturan yang sudah
dijamin undang-undang adalah pindah tempat memilih bagi mereka yang pada hari
pemungutan suara akan bepergian ke tempat lain. TPS khusus dimungkinkan di lembaga
pemasyarakatan. TPS yang bergerak (mobile polling station) bagi pemilih
terdaftar yang karena sakit atau usia lanjut tidak dapat datang ke TPS.
Setidaknya terdapat dua
bentuk pengaturan pemungutan suara yang belum diadopsi dalam UU Pemilu, yaitu
memberikan suara beberapa hari sebelum hari pemungutan suara (advance voting
atau early voting) dan memberikan suara melalui pos (mail voting). Kedua
mekanisme pemberian suara tersebut sudah diterapkan bagi pemilih Indonesia
yang tinggal di luar negeri. Akan tetapi, bagi pemilih dalam negeri belum
dimungkinkan. Berdasarkan misi melayani rakyat (pemilih terdaftar)
menggunakan hak pilihnya, KPU seyogianya membuat pengaturan yang dapat
menjamin semua pemilih terdaftar yang memiliki kebutuhan khusus menggunakan hak
pilihnya. Dengan demikian, semua pemilih terdaftar dari enam kategori
tersebut akan dapat berpartisipasi dalam pemilu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar