Kesalehan
Politik Kewargaan
Zuly Qodir ; Sosiolog Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta;
Tenaga Ahli UKP
Pancasila
|
KOMPAS,
13 Januari
2018
Tahun 2018 merupakan tahun
politik. Pilkada serentak akan segera dimulai. Jawa Barat, Jawa Tengah, dan
Jawa Timur adalah kantong suara dari kekuatan partai politik untuk saling
berebut memenangkan kandidatnya. Kemenangan di tiga provinsi ini dipercaya
sebagai simbol kemenangan menuju Pilpres 2019. Mungkinkah antar-kekuatan
partai politik mengutamakan kesalehan dalam berpolitik sehingga tak membuat
gaduh jagat politik nasional dengan isu-isu yang memungkinkan perpecahan
secara sosial di masyarakat?
Will Kimlicka (2007)
pernah menulis politik multikultural dengan menelisik tradisi yang terjadi di
Quebec, Kanada, dan tradisi millet yang ada di Turki. Dalam pandangan
Kimlicka, politik multikulutral adalah sebuah semangat untuk saling belajar,
menghargai, berbagi, dan mengakomodasi berbagai tradisi yang berkembang dalam
sebuah negara. Kanada dan Turki dikatakan berhasil menerapkan politik
multikultural ketika itu. Sayang, Turki kini sarat konflik.
Saya akan mendasarkan pada
tulisan Kimlicka di atas untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan kesalehan
multikultural dalam konteks Indonesia. Indonesia sebagai sebuah bangsa yang
tumbuh dan berkembang dalam kerangka negara-bangsa kehadirannya tidak bisa
ditolak. Kehadiran negara-bangsa adalah sebuah keniscayaan yang berjalan
dengan perkembangan yang terus terjadi karena beragam pertemuan di ruang
publik.
Kesalehan
multikultural
Ruang publik harus dijaga
dari pelbagai macam kebencian politik, sekaligus kebencian kultural, sebab
jika tidak terjaga dengan baik, kekacauan besar sangat mungkin terjadi. Kita
memang sering berdalih bahwa masyarakat Indonesia memiliki mekanisme sendiri
dalam menyelesaikan masalah krusial. Namun, kurang bijaksana jika harus
menunggu terjadi konflik yang memakan banyak korban baru kita harapkan
munculnya kearifan lokal untuk proses social mechanism atas konflik sosial.
Sangatlah melelahkan!
Kesalehan multikultural
yang dimaksudkan dalam pikiran saya adalah adanya kesediaan setiap warga
negara yang beragam kultur, adat istiadat, tradisi dan kebudayaan tetap
bersedia mengakui adanya keragaman tersebut. Di antara satu dengan lainnya
tak ada klaim yang paling unggul daripada lainnya, tetapi saling belajar,
berbagi, dan melengkapi untuk menjadi bagian warga negara yang mengindonesia.
Tak ada satu pun warga
negara yang merasa paling berhak menjadi Indonesia. Tidak pula ada satu warga
negara yang merasa paling baik kebudayaannya sehingga merasa paling merasa
Indonesia dan harus mendominasi kebudayaan Indonesia. Berbagi pengalaman
dalam keragaman kebudayaan merupakan salah satu kunci untuk menjaga keutuhan
bangsa Indonesia dari gempuran pelbagai kebudayaan ”asing” yang dikonsumsi
secara masif di republik ini.
Kebudayaan Timur Tengah
itu bukan berarti kebudayaan Islam sekalipun di Timur Tengah berpenduduk
mayoritas Muslim. Demikian pula kebudayaan Amerika dan Eropa tidak berarti
sama dengan kebudayaan Kristen-Katolik sebab di antara mereka juga banyak
yang tidak Kristen ataupun Katolik. Karena itu, kita mesti membedakan apa
yang disebut dengan kebudayaan Timur Tengah dengan ajaran Islam. Demikian
juga membedakan kebudayaan Amerika dan Eropa dengan kebudayaan
Kristen-Katolik.
Kesesatan-kesesatan dalam
membedakan kebudayaan Timur Tengah sebagai kebudayaan dengan Islam sebagai
agama rahmatan lil alamin menyebabkan apa yang dikatakan Buya Syafii Maarif
seperti orang limbung dalam tradisi Arabisme yang kehilangan arah sehingga
apa pun yang datang dari Arab dan Timur Tengah selalu dianggap Islam.
Anggapan yang sama terjadi ketika Samuel Huntington (1992) menganggap
keseluruhan kebudayaan Amerika-Eropa sebagai kebudayaan Kristen-Katolik lewat
apa yang dikemukakan sebagai clash of civilization: Islam versus Kristen.
Padahal, Islam dan Timur Tengah adalah suatu hal yang jelas berbeda. Demikian
pula Amerika-Eropa dengan Kristen-Katolik juga sangat berbeda.
Kesalahan Huntington yang
paling mendasar adalah menyamakan Timur Tengah dengan Islam dan menjadikan
Amerika- Eropa sebagai Kristen. Bahwa tradisi di Timur Tengah memengaruhi
Islam atau sebaliknya merupakan hal yang agak sulit ditolak, tetapi menyamakan
adalah kesalahan fatal yang berdampak pada terjadinya kebencian antar-umat
beragama di dunia. Apa yang dilakukan Donald Trump pada 6 Desember 2017
dengan mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel adalah bentuk kekonyolan
yang sama bahwa Israel adalah Jerusalem. Padahal, Jerusalem adalah kota suci
tiga agama besar dunia: Yahudi, Kristen, dan Islam.
Apa yang dilakukan Trump
tak bisa ditoleransi oleh Indonesia. Indonesia tak boleh melakukan kebodohan
semacam Trump. Warganya harus segera diberikan pemahaman tentang kultur yang
beragam yang harus saling dihargai. Oleh sebab itu, perilaku semacam Trump
ini harus segera dirombak total agar kita tidak terombang-ambing dalam kultur
memaksakan kehendak. Kita tak berada dalam kultur menghukum pihak lain tidak
sesuai dengan agama tertentu, padahal semua itu karena adanya kesalahan
memahami kultur yang dianggap sebagai agama yang tidak bisa dikritik oleh
umatnya.
Oleh sebab itu, kesalehan
politik multikultural harus dihadirkan di tengah warga negara yang majemuk
secara kultural. Kesalehan multikultural dapat menjadi perekat adanya
keragaman budaya, tradisi, ataupun keragaman warga yang akan dapat menjadikan
perekat sosial sekaligus sebagai pengakuan adanya keragaman itu sendiri.
Kecerdasan warga memahami
adanya keragaman budaya merupakan keharusan yang akan menjadikan bangsa ini
semakin besar. Sebaliknya, jika kita tak memiliki kemampuan menghargai,
menghormati dan mengakui keragaman kultur, yang akan terjadi adalah
kekerdilan sebagai bangsa.
Tahun
politik
Di tahun 2018 yang
merupakan ”tahun politik” ini, jika tidak sejak dini kita kuatkan pandangan
perlunya kesalehan politik multikultural akan menjadi pertaruhan adanya
spirit kebencian, keangkuhan, dan penghukuman atas warga negara yang berbeda
pilihan politiknya.
Kita tentu tak ingin pada
2018 ini dipenuhi dengan semangat kebencian antarwarga negara karena
perbedaan pilihan politik dalam menentukan calon kepala daerah. Hal seperti
ini harus segera disadarkan karena di media sosial semangat kebencian dengan
pelbagai ujaran telah mulai bermunculan. Ujung dari semangat kebencian adalah
adanya penghukuman atas mereka yang berbeda pilihan politik. Takfiri
(pengafiran) atas siapa yang berbeda pilihan politik akan terjadi jika kita
tidak segera memberikan penyadaran bahwa kesalehan multikultural merupakan
sesuatu yang tidak bisa ditinggalkan.
Setiap warga negara
memiliki hak untuk menentukan sikap dan pilihan politiknya. Tidak ada
kesesatan dalam pilihan politik asalkan didasarkan pada pilihan sadar dan
kritis pemilihnya. Bahkan akan bermasalah dalam pilihan politik ketika
menentukan haknya didasarkan karena sentimen identitas aksesori yang sifatnya
jangka pendek. Identitas aksesori yang saya maksud adalah identitas populisme
yang sekarang menjadi kecenderungan di dunia maya dan jagat politik
Indonesia.
Kita harus berani
menghentikan pembuatan sekat-sekat identitas populisme sempit yang akan
digunakan dalam kampanye politik pilkada tahun 2018. Kita bangsa Indonesia
memang sejak awal terlahir dari rahim multikultural, yang merupakan anugerah
Tuhan sebagai kekayaan bangsa ini. Jangan kita hukum keragaman dengan
teks-teks kitab suci dan tafsir kebencian.
Semoga kita bisa
menghadirkan kesalehan politik multikultural pada tahun 2018 sehingga tragedi
politik saling membenci, menghukum, dan membunuh seperti di Timur Tengah dan
Eropa-Amerika tidak menular ke Indonesia yang subur, mudah ditanami, serta
menjadi tujuan banyak pihak, gemah ripah loh jinawi. Indonesia adalah
rahmatan lil alamin.
Kita hargai perbedaan
politik sebab inilah harkat dan martabat berdemokrasi yang memiliki keadaban,
bukan demokrasi dengan kebencian dan caci maki. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar