Minggu, 14 Januari 2018

Kesalehan Politik Kewargaan

Kesalehan Politik Kewargaan
Zuly Qodir  ;  Sosiolog Universitas Muhammadiyah Yogyakarta;
Tenaga Ahli UKP Pancasila
                                                      KOMPAS, 13 Januari 2018



                                                           
Tahun 2018 merupakan tahun politik. Pilkada serentak akan segera dimulai. Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur adalah kantong suara dari kekuatan partai politik untuk saling berebut memenangkan kandidatnya. Kemenangan di tiga provinsi ini dipercaya sebagai simbol kemenangan menuju Pilpres 2019. Mungkinkah antar-kekuatan partai politik mengutamakan kesalehan dalam berpolitik sehingga tak membuat gaduh jagat politik nasional dengan isu-isu yang memungkinkan perpecahan secara sosial di masyarakat?

Will Kimlicka (2007) pernah menulis politik multikultural dengan menelisik tradisi yang terjadi di Quebec, Kanada, dan tradisi millet yang ada di Turki. Dalam pandangan Kimlicka, politik multikulutral adalah sebuah semangat untuk saling belajar, menghargai, berbagi, dan mengakomodasi berbagai tradisi yang berkembang dalam sebuah negara. Kanada dan Turki dikatakan berhasil menerapkan politik multikultural ketika itu. Sayang, Turki kini sarat konflik.

Saya akan mendasarkan pada tulisan Kimlicka di atas untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan kesalehan multikultural dalam konteks Indonesia. Indonesia sebagai sebuah bangsa yang tumbuh dan berkembang dalam kerangka negara-bangsa kehadirannya tidak bisa ditolak. Kehadiran negara-bangsa adalah sebuah keniscayaan yang berjalan dengan perkembangan yang terus terjadi karena beragam pertemuan di ruang publik.

Kesalehan multikultural

Ruang publik harus dijaga dari pelbagai macam kebencian politik, sekaligus kebencian kultural, sebab jika tidak terjaga dengan baik, kekacauan besar sangat mungkin terjadi. Kita memang sering berdalih bahwa masyarakat Indonesia memiliki mekanisme sendiri dalam menyelesaikan masalah krusial. Namun, kurang bijaksana jika harus menunggu terjadi konflik yang memakan banyak korban baru kita harapkan munculnya kearifan lokal untuk proses social mechanism atas konflik sosial. Sangatlah melelahkan!

Kesalehan multikultural yang dimaksudkan dalam pikiran saya adalah adanya kesediaan setiap warga negara yang beragam kultur, adat istiadat, tradisi dan kebudayaan tetap bersedia mengakui adanya keragaman tersebut. Di antara satu dengan lainnya tak ada klaim yang paling unggul daripada lainnya, tetapi saling belajar, berbagi, dan melengkapi untuk menjadi bagian warga negara yang mengindonesia.

Tak ada satu pun warga negara yang merasa paling berhak menjadi Indonesia. Tidak pula ada satu warga negara yang merasa paling baik kebudayaannya sehingga merasa paling merasa Indonesia dan harus mendominasi kebudayaan Indonesia. Berbagi pengalaman dalam keragaman kebudayaan merupakan salah satu kunci untuk menjaga keutuhan bangsa Indonesia dari gempuran pelbagai kebudayaan ”asing” yang dikonsumsi secara masif di republik ini.

Kebudayaan Timur Tengah itu bukan berarti kebudayaan Islam sekalipun di Timur Tengah berpenduduk mayoritas Muslim. Demikian pula kebudayaan Amerika dan Eropa tidak berarti sama dengan kebudayaan Kristen-Katolik sebab di antara mereka juga banyak yang tidak Kristen ataupun Katolik. Karena itu, kita mesti membedakan apa yang disebut dengan kebudayaan Timur Tengah dengan ajaran Islam. Demikian juga membedakan kebudayaan Amerika dan Eropa dengan kebudayaan Kristen-Katolik.

Kesesatan-kesesatan dalam membedakan kebudayaan Timur Tengah sebagai kebudayaan dengan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin menyebabkan apa yang dikatakan Buya Syafii Maarif seperti orang limbung dalam tradisi Arabisme yang kehilangan arah sehingga apa pun yang datang dari Arab dan Timur Tengah selalu dianggap Islam. Anggapan yang sama terjadi ketika Samuel Huntington (1992) menganggap keseluruhan kebudayaan Amerika-Eropa sebagai kebudayaan Kristen-Katolik lewat apa yang dikemukakan sebagai clash of civilization: Islam versus Kristen. Padahal, Islam dan Timur Tengah adalah suatu hal yang jelas berbeda. Demikian pula Amerika-Eropa dengan Kristen-Katolik juga sangat berbeda.

Kesalahan Huntington yang paling mendasar adalah menyamakan Timur Tengah dengan Islam dan menjadikan Amerika- Eropa sebagai Kristen. Bahwa tradisi di Timur Tengah memengaruhi Islam atau sebaliknya merupakan hal yang agak sulit ditolak, tetapi menyamakan adalah kesalahan fatal yang berdampak pada terjadinya kebencian antar-umat beragama di dunia. Apa yang dilakukan Donald Trump pada 6 Desember 2017 dengan mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel adalah bentuk kekonyolan yang sama bahwa Israel adalah Jerusalem. Padahal, Jerusalem adalah kota suci tiga agama besar dunia: Yahudi, Kristen, dan Islam.

Apa yang dilakukan Trump tak bisa ditoleransi oleh Indonesia. Indonesia tak boleh melakukan kebodohan semacam Trump. Warganya harus segera diberikan pemahaman tentang kultur yang beragam yang harus saling dihargai. Oleh sebab itu, perilaku semacam Trump ini harus segera dirombak total agar kita tidak terombang-ambing dalam kultur memaksakan kehendak. Kita tak berada dalam kultur menghukum pihak lain tidak sesuai dengan agama tertentu, padahal semua itu karena adanya kesalahan memahami kultur yang dianggap sebagai agama yang tidak bisa dikritik oleh umatnya.

Oleh sebab itu, kesalehan politik multikultural harus dihadirkan di tengah warga negara yang majemuk secara kultural. Kesalehan multikultural dapat menjadi perekat adanya keragaman budaya, tradisi, ataupun keragaman warga yang akan dapat menjadikan perekat sosial sekaligus sebagai pengakuan adanya keragaman itu sendiri.

Kecerdasan warga memahami adanya keragaman budaya merupakan keharusan yang akan menjadikan bangsa ini semakin besar. Sebaliknya, jika kita tak memiliki kemampuan menghargai, menghormati dan mengakui keragaman kultur, yang akan terjadi adalah kekerdilan sebagai bangsa.

Tahun politik

Di tahun 2018 yang merupakan ”tahun politik” ini, jika tidak sejak dini kita kuatkan pandangan perlunya kesalehan politik multikultural akan menjadi pertaruhan adanya spirit kebencian, keangkuhan, dan penghukuman atas warga negara yang berbeda pilihan politiknya.

Kita tentu tak ingin pada 2018 ini dipenuhi dengan semangat kebencian antarwarga negara karena perbedaan pilihan politik dalam menentukan calon kepala daerah. Hal seperti ini harus segera disadarkan karena di media sosial semangat kebencian dengan pelbagai ujaran telah mulai bermunculan. Ujung dari semangat kebencian adalah adanya penghukuman atas mereka yang berbeda pilihan politik. Takfiri (pengafiran) atas siapa yang berbeda pilihan politik akan terjadi jika kita tidak segera memberikan penyadaran bahwa kesalehan multikultural merupakan sesuatu yang tidak bisa ditinggalkan.

Setiap warga negara memiliki hak untuk menentukan sikap dan pilihan politiknya. Tidak ada kesesatan dalam pilihan politik asalkan didasarkan pada pilihan sadar dan kritis pemilihnya. Bahkan akan bermasalah dalam pilihan politik ketika menentukan haknya didasarkan karena sentimen identitas aksesori yang sifatnya jangka pendek. Identitas aksesori yang saya maksud adalah identitas populisme yang sekarang menjadi kecenderungan di dunia maya dan jagat politik Indonesia.

Kita harus berani menghentikan pembuatan sekat-sekat identitas populisme sempit yang akan digunakan dalam kampanye politik pilkada tahun 2018. Kita bangsa Indonesia memang sejak awal terlahir dari rahim multikultural, yang merupakan anugerah Tuhan sebagai kekayaan bangsa ini. Jangan kita hukum keragaman dengan teks-teks kitab suci dan tafsir kebencian.

Semoga kita bisa menghadirkan kesalehan politik multikultural pada tahun 2018 sehingga tragedi politik saling membenci, menghukum, dan membunuh seperti di Timur Tengah dan Eropa-Amerika tidak menular ke Indonesia yang subur, mudah ditanami, serta menjadi tujuan banyak pihak, gemah ripah loh jinawi. Indonesia adalah rahmatan lil alamin.

Kita hargai perbedaan politik sebab inilah harkat dan martabat berdemokrasi yang memiliki keadaban, bukan demokrasi dengan kebencian dan caci maki. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar