Sejarah
Kolonial dan Kita
Ignas Kleden ; Chairman Komunitas Indonesia untuk Demokrasi
|
KOMPAS,
10 Maret
2018
Kolonialisme adalah susunan masyarakat yang dikutuk oleh
semua bangsa merdeka dan beradab. Penjajahan memungkinkan dan
mengesahkan eksploitasi suatu bangsa oleh bangsa lain, dengan keuntungan,
kemakmuran dan kejayaan bagi penjajah, tetapi penderi- taan, kemiskinan
dan kehinaan bagi yang dijajah. Namun, praktik-praktik dalam seja -rah
kolonial sesungguhnya dapat jadi bahan pelajaran amat berguna untuk membangun
suatu bangsa merdeka atas cara yang memuliakan manusia dan memberi
kesejahteraan serta keadilan pada rakyat.
Pola kolonisasi
Dalam sejarahnya, penjajahan terjadi dan dimungkinkan oleh
beberapa syarat. Pertama, bangsa asing tak akan tertarik menguasai sebuah
negeri yang miskin sumber daya alam. Kalau tak ada cengkeh dan pala di
kepulauan Maluku, Portugis, Inggris dan Belanda tak akan tertarik ke sana dan
berperang di antara mereka untuk dapat hak monopoli, meski pun jauh
sebelumnya rempah-rempah Maluku, telah terkenal di pasaran dunia melalui
pedagang-pedagang India, China, Birma dan Arab yang berdagang bebas dengan
penduduk setempat. Demikian pun kalau tidak ada timbunan emas dan perak di
Amerika Selatan, niscaya Spanyol tak akan mengirim berbagai ekspedisinya ke
sana dan memburu kekayaan yang terkumpul pada pusat kerajaan Aztek di Meksiko
yang sekarang dan kerajaan Inka di Pegunungan Andes di Peru yang sekarang.
Kedua, penjajah juga tak akan tertarik datang ke suatu
wilayah dengan sedikit penduduk atau tersebar di kawasan yang luas.
Jumlah penduduk yang cukup besar dan terkonsentrasi di suatu wilayah,
memungkinkan mereka dijadikan sumber pendapatan untuk penjajah, yang
mengenakan pajak dan mengharuskan upeti, dan dapat pula menjadikan mereka
tenaga kerja paksa di perkebunan atau pertambangan. Australia,
misalnya, tak dijajah, dan hanya dibangun oleh orang-orang hukuman atau para
konvik yang dibuang dari Inggris, setelah Inggris (England) bersatu dengan
Wales dan Scotland, menjadi Britania Raya sejak 1707.
Dicari kebijakan untuk melepaskan Inggris dari kesulitan
yang timbul oleh para kriminal, dengan membuat mereka “jauh di mata, jauh di
hati” (out of sight, out of mind) dan mengirim mereka ke penal colonies,
koloni-koloni yang dijadikan tempat bagi orang hukuman. Ketika Kapten James
Cook pertama mendarat di Botany Bay pada 29 April 1770 dan mengklaim pantai
timur Australia sebagai milik Inggris, penduduk asli Australia (Aboriginals)
diperkirakan tak lebih dari satu juta orang, terpencar di kawasan yang
demikian luas di benua itu, dan tak bisa dikerahkan untuk bekerja bagi
pendatang dari Inggris.
Ketiga, penjajah akan mencari wilayah yang sudah punya
tata negara, dengan pusat kekuasaan, dan penguasa yang diakui penduduk,
karena strategi penjajah adalah berhubungan baik dengan penguasa
setempat untuk kemudian menguasainya bersama rakyat serta daerahnya, atau
menaklukkan daerah kekuasaan itu dengan kekuatan militer. Ketika perdagangan
internasional rempah-rempah sudah ramai awal abad 16 dan 17 dengan pusatnya
di Malaka, di Maluku sudah terdapat tiga kawasan dengan penguasa yang jelas.
Maluku Utara menjadi tempat tiga kerajaan: Tidore, Ternate dan Bacan. Maluku
Tengah adalah daerah kekuasaan kerajaan Ambon. Di Maluku Selatan terdapat
kepulauan Banda yang belum jadi kesatuan politik.
Para pedagang dari negara Barat, kemudian melihat bahwa
daripada bersaing secara bebas dengan para pedagang rempah-rempah dari China,
India, Birma dan Timur Tengah, yang sudah bolak-balik ke Maluku jauh
sebelumnya, lebih praktis merebut monopoli melalui perjanjian dengan
raja-raja di Maluku. Tahun 1600 para pedagang Belanda mulai membujuk raja
Ambon menandatangani suatu perjanjian eksklusif yang memberi mereka hak
monopoli atas perdagangan cengkeh di wilayah kerajaan Ambon. Tekanan pada
raja-raja lokal ini kian menguat setelah terbentuk VOC pada 1602, yang
diperlengkapi dengan kekuatan militer, meniru organisasi dagang Inggris di
Timur jauh English East India Company yang sudah terbentuk dua tahun
sebelumnya pada 1600.
Setelah memperoleh monopoli cengkeh di Ambon, Belanda
bergerak ke Maluku Utara pada 1605, sambil menyingkirkan Portugis dan
pedagang-pedagang lain, dan memaksa raja-raja Tidore, Ternate dan Bacan
menyetujui larangan menanam pohon cengkeh di daerah kekuasaan mereka, dan tak
boleh diperdagangkan di sana. Dalam perjanjian dengan kerajaan Ternate,
bahkan dinyatakan Belanda dapat masuk ke wilayah kerajaan itu dan
menghancurkan pohon cengkeh di sana, apabila ada yang masih menanamnya.
Monopoli seperti ini sulit diusahakan di kepulauan Banda karena
di sana tak ada pemerintahan dengan pusat kekuasaan yang diakui oleh para
pemimpin lokal yang dinamakan orang kaya. Tiap daerah atau bahkan tiap desa
punya orang kaya sendiri yang otonom dan independen. Tahun 1606 datang di
Banda Laksamana Verhoeven dengan armadanya, dan mencoba membangun benteng di
Neira. Para orang kaya mengajaknya berunding, dalam perundingan itu Verhoeven
dibunuh dan kepalanya dipertontonkan kepada rakyat setempat.
Pengalaman pahit itu disaksikan juga seorang klerek yang
belajar akuntansi sebelumnya, bernama Jan Pieterzoon Coen, dan membakar
ingatannya dengan dendam. Dia mendirikan kota Batavia pada 1618 sebagai ibu
kota VOC dan tentu saja pusat pertahanan Belanda.
Selanjutnya pada 1621 Coen
dengan armadanya berlayar ke Banda, dan membunuh hampir semua penduduk
kepulauan Banda sebanyak 15.000 orang. Banda sebagai pusat perdagangan pala
tak bisa dikuasai melalui monopoli, karena tak ada kekuasaan pusat di
kepulauan itu. Meski pun ada penduduk setempat yang sempat melarikan diri ke
pulau-pulau lain, tetapi beberapa orang Banda sengaja tak dibunuh, agar
mereka dapat mengajar orang Belanda untuk menanam pala di perkebunan pala yang
seluruhnya dikuasai oleh pihak Belanda.
Selain itu tak adanya konsentrasi penduduk lokal di suatu
tempat, tak memungkinkan adanya tenaga yang dapat direkrut untuk kerja paksa.
Untuk mengerjakan perkebunan pala yang dibangun Belanda, pihak perkebunan
terpaksa membeli tenaga budak-belian yang disuplai VOC. Riwayat perdagangan
internasional rempah-rempah yang sudah jaya di Maluku sejak abad 14, berakhir
dengan kedatangan Belanda pada awal abad 17.
Kolonisasi Spanyol di Amerika Selatan berlangsung satu
abad mendahului penjajahan Belanda di Indonesia atau Inggris di India.
Setelah Christopher Columbus (Cristoforo Colombo nama Spanyolnya)
mencapai kepulauan Bahama pada 12 Oktober 1492, terbukalah jalan laut dari
Spanyol ke Amerika, dan para pelaut Spanyol datang dalam berbagai ekspedisi
yang dikirim dari tanah air mereka. Secara resmi kolonisasi Spanyol
dianggap dimulai dengan penaklukan Meksiko oleh Herman Cortez pada 1519. Dia
menerapkan pola kolonisasi yang kemudian diikuti oleh penguasa Spanyol selama
berabad-abad.
Menurut Cortez cara efektif menghentikan perlawanan
penduduk setempat adalah menangkap pemimpin mereka, karena dengan itu
baik harta benda maupun penduduk setempat dapat diakuisisi sebagai milik
penguasa Spanyol. Cortez tiba di ibu kota Kerajaan Aztek, Tenochtitlan, 8
November 1519, dan atas perintah raja Aztek penduduk menyambut kedatangannya
dengan baik. Namun, Raja Aztek, Moctezuma. kemudian ditangkap dan dipaksa
menyerahkan seluruh kekayaan kerajaan berupa emas, perak, perhiasan dan
benda-benda dari emas untuk upacara keagamaan dan berbagai logam mulia
lainnya kepada Cortez, yang memperlakukan sang raja dengan kejam dan tetap
menghukumnya.
Pola kedua yang diterapkan Cortez adalah apa yang
dinamakan encomienda berupa penyerahan suatu wilayah kepada seorang penguasa
Spanyol, yang punya hak mutlak atas tanah dan penduduk dalam wilayah itu.
Segala kekayaan alam dalam wilayah itu menjadi miliknya, dan penduduk dipaksa
mengerjakan tanahnya untuk pertanian guna memberi makan pihak Spanyol.
Penduduk juga diharuskan membayar pajak dan upeti kepada penguasa
encomienda yang dinamakan encomendero.
Peru sebagai wilayah kerajaan Inka direbut Fransisco
Pizzaro pada November 1532. Tahun 1533 Pizzaro berhasil merebut ibu
kota kerajaan Inka, Cusco, dan merampas segala kekayaannya, termasuk emas di
Kuil Dewa Matahari yang diambil paksa dan kemudian dilebur jadi emas
batangan. Tahun 1545 seorang pengembara Spanyol ingin melihat tempat suci
orang Inka di pegunungan Andes . Dia demikian terkejut melihat sebuah
bukit penuh biji-biji perak. Bukit itu dinamakan El Cerro Rico
yang berarti Bukit Kekayaan. Di ketinggian Pegunungan Andes dekat Bukit
Kekayaan itu terletak kota Potosi yang dibangun orang Inka dan menjadi
petunjuk tentang kemakmuran dan taraf peradaban Inka. Pada 1650
penduduk kota Potosi 160.000 orang, lebih besar dari Lisabon di Portugal atau
Venetia di Italia waktu itu.
Sebuah studi yang luas dan mendalam tentang
asal-muasal kekuasaan, kemakmuran dan kemiskinan, ditulis oleh dua ahli
ekonomi dari MIT dan dari Universitas Harvard. Keduanya melakukan penelitian
selama 15 tahun tentang masalah ini dengan mendalami sejarah jatuh bangunnya
bangsa-bangsa di lima benua selama 500 tahun terakhir. Buku yang ditulis
bersama oleh Daron Acemoglu (dari MIT) dan James A Robinson dari Universitas
Harvard terbit pada 2012, berjudul Why Nations Fail, dan direkomendasikan
oleh lima pemenang hadiah Nobel untuk ilmu ekonomi. Kedua penulis
buku ini akhirnya menemukan suatu tese sendiri tentang mengapa suatu negara
maju atau mundur, yang harus dibicarakan pada kesempatan lain.
Kolonisasi Hindia Belanda
Dalam refleksi tentang Hindia Belanda tampak bahwa Belanda
juga menerapkan beberapa pola kolonisasi yang dipertahankannya selama tiga
abad. Pertama, sebagai negara kecil dia tak punya kemampuan militer cukup
untuk menaklukkan semua wilayah di Nusantara yang diincarnya. Jalan yang
ditempuh adalah mencoba mengadu-domba satu kerajaan dengan kerajaan lain,
atau pihak-pihak yang bersaing dalam satu kerajaan yang sama. Perang dilakukan
secara terpaksa kalau ada perlawanan besar dari pihak penduduk pribumi
seperti Perang Diponegoro dan Perang Aceh.
Kedua, Belanda tak memerintah secara langsung , tetapi
menerapkan indirect rule dengan memanfaatkan legitimasi para bangsawan dan
elite lokal agar memerintah rakyat mereka sendiri untuk kepentingan Belanda.
Di Amerika Selatan orang Spanyol diangkat sebagai encomendero untuk
memerintah orang Indian, tetapi Belanda memakai bangsawan dan aristokrasi
pribumi sendiri untuk memerintah rakyatnya, berdasarkan legitimasi
tradisional yang diakui rakyatnya. Dengan cara itu Belanda menghemat ongkos
untuk membangun legitimasi penjajahannya dengan biayanya sendiri.
Ketiga, seperti halnya Spanyol di Amerika Selatan, Belanda
juga mengusahakan berbagai monopoli dalam ekonomi Hindia Belanda. Dengan
berbagai muslihat dia mendapat monopoli untuk tembakau di Sumatera dan gula
di Jawa, dengan mempekerjakan secara paksa tenaga pribumi,
berdasarkan pengalaman yang diperolehnya dari monopoli cengkeh di Maluku
Tengah dan Utara, dan monopoli pala di Maluku Selatan pada abad 17.
Keempat, memberlakukan diskriminasi kulit putih dan kulit
berwarna untuk membangun kompleks inferioritas pribumi sehingga tidak bangkit
kesadaran untuk menuntut hak-hak mereka. Ada diskriminasi dalam penggunaan
bahasa (Belanda atau Melayu), ada diskriminasi dalam pendidikan (sekolah
Belanda atau sekolah pribumi) ada diskriminasi dalam administrasi
pemerintahan (tingkat jabatan yang bisa diserahkan kepada pribumi dan tingkat
yang dikhususkan bagi orang kulit putih), dan ada diskriminasi dalam ekonomi
(seperti memberlakukan dual economy antara ekonomi sawah yang subsisten untuk
petani Jawa dan ekonomi perkebunan yang komersial dan modern untuk ekspor
oleh pihak Belanda). Ekonomi dualistis itu sudah dilembagakan dalam
Tanam Paksa yang terkenal kejam selama 40 tahun (1830-1870).
Sebagai bangsa dan negara merdeka kita selayaknya
memeriksa kembali, apakah pola-pola kolonisasi sudah berhasil diatasi
atau masih diteruskan secara sadar-tak-sadar setelah merdeka. Apakah masih
hidup kecenderungan adu-domba dalam bangsa sendiri dan oleh bangsa sendiri?
Adakah alasan yang dibuat-buat untuk mengadu-domba mayoritas dan
minoritas, agama yang satu dan agama lain, hanya karena perbedaan cara
menyembah Tuhan yang transenden di atas semua perbedaan yang dapat dipikirkan
oleh akal manusia? Apakah monopoli masih dipertahankan melalui
oligopoli yang dimungkinan oleh dominasi oligarki?
Apakah pendidikan nasional memberi kesempatan belajar
yang sama bagi tiap orang dengan bakat masing-masing, atau malahan
menciptakan dualisme, di antara orang bermodal dan keluarga yang
kebetulan kurang berada tetapi melahirkan bakat-bakat terbaik? Apakah kita
bersaing dengan negara dan bangsa lain merebut kemajuan dan
kesejahteraan melalui ilmu dan teknologi, atau saling bertentangan di antara
kita karena paranoia yang diciptakan sendiri, dan membuat energi bangsa
terbuang dan mubazir? Apakah ada national interest (kepentingan
bangsa/nasional) yang kuat, yang menjadi pegangan dan orientasi semua
golongan dan tidak dirusak oleh vested interest (kepentingan sempit) kelompok
atau perorangan?
Pada akhirnya perjuangan politik bukan sekadar memenangkan
satu partai politik di atas partai politik lain, tetapi memaklumkan perang
kepada kemiskinan, ketidakadilan, dan kebodohan. Hanya dengan cara itu
pembangunan diwujudkan sebagai kemerdekaan, dan nasionalisme menjadi
usaha memuliakan rakyat sendiri melalui kemajuan, kesejahteraan dan
kecerdasan nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar