Simalakama
Politik Media Sosial
Agus Sudibyo ; Direktur Indonesia New Media Watch
|
KOMPAS,
10 Maret
2018
Pada Mei 2016, sekelompok orang melakukan demonstrasi
anti-Muslim di Houston, Amerika Serikat. Dengan slogan “Stop Islamisasi di
Texas”, mereka menentang pendirian The Library of Islamic Knowledge di
jantung kota Houston.
Tak lama berselang, muncul demonstrasi lain yang
meneriakkan hak mempromosikan nilai-nilai Islam. Hampir terjadi perkelahian
jalanan di antara keduanya. Di kemudian hari terungkap, dua demonstrasi itu
bermula dari perang kata-kata di media sosial Facebook. Halaman Facebook
bertajuk Heart of Texas terus-menerus meneriakkan prasangka negatif terhadap
Muslim.
Skandal infiltrasi Rusia
Sebaliknya, halaman Facebook bertajuk United Muslims of
America terus meneriakkan hak kesetaraan untuk Muslim Amerika. Belakangan
baru diketahui, kedua halaman Facebook itu palsu! Lebih mengejutkan lagi,
keduanya dikendalikan nun jauh dari St Petersburg oleh organisasi propaganda
Rusia, Internet Research Agency.
Politik pecah-belah ini terkait pilpres AS, akhir 2016.
September 2017, Facebook mengakui telah menemukan 3.000 iklan politik dari
470 akun yang berhubungan dengan Internet Research Agency. Secara akumulatif,
akun-akun itu telah menyebarkan 80.000 pesan politik yang menjangkau 126 juta
orang, sebagian besar di AS. Twitter juga menemukan 2.752 akun yang
berhubungan dengan Internet Research Agency. Google mengidentifikasi 18 kanal
Youtube yang berhubungan dengan organisasi itu. (Issie Lapowsky,
https://www.wired.com/story/ six-revealing-moments-from-
the-second-day-of-russia-hearings/)
Hal-hal di atas terungkap dalam persidangan Komite
Intelijen Senat AS untuk mengungkap skandal campur-tangan Rusia dalam Pilpres
2016. Campur-tangan ini terjadi melalui medsos sehingga perusahaan seperti
Facebook, Twitter, Google turut menjadi “tersangka”. Muncul keraguan mereka
tak tahu apa yang telah terjadi karena itu telah berlangsung sejak 2015. Mereka dianggap mendiamkan operasi politik
Rusia yang memecah belah rakyat AS. Mereka dianggap tak kooperatif terhadap
upaya Senat mengungkap campur-tangan Rusia. Mereka menghadapi sasaran kritik
pedas, baik dari kelompok kiri maupun kanan.
Titik kulminasinya adalah 16 Februari 2018, ketika Pejabat
Khusus Investigasi Campur Tangan Rusia Dalam Pilpres AS 2016, Robert Mueller,
mempublikasikan dakwaan resmi. Dalam dokumen sepanjang 37 halaman, Mueller
menegaskan ada 13 pihak Rusia yang telah mengintervensi pemilu AS 2016.
Dijelaskan dengan gamblang bagaimana mereka menggunakan media sosial untuk
menyebarkan meme yang melecehkan Hillary Clinton, membuat ratusan akun palsu,
menciptakan kelompok diskusi yang ekstrem, serta menyebarkan pesan kebencian.
Kelompok ekstrem itu misalnya pada facebook page bertajuk “Secured Borders”,
“Blacktivist”, “United Muslims of America”, “Army of Jesus”. Facebook page
ini terus menyajikan pernyataan yang apriori dan penuh prasangka terhadap
kelompok lain. Tahun 2016, facebook page tersebut secara kolektif meraih
ratusan ribu pengikut di AS. (Nicholas Thompson,
Https://Www.Wired.Com/Story/Facebook-Executive-Rob-Goldman-Apologizes-To-Company-And-Robert-Mueller)
Tahun 2017, CEO Facebook, Mark Zuckerberg pernah mengklaim
Facebook telah berhasil mendorong 100 juta orang untuk membentuk kelompok
berbagi pengalaman dan pengetahuan (very meaningfull group). Dokumen Mueller
menunjukkan kebalikannya, Facebook juga menciptakan kelompok-kelompok yang
terpolarisasi secara politik, ekstrem dalam pandangan ideologis dan apriori
terhadap kelompok lain.
Lebih jauh lagi, kelompok-kelompok itu dikendalikan oleh
pihak ketiga. Rusia telah membelanjakan ribuan dollar AS per bulan untuk
mempromosikan kelompok-kelompok itu di Facebook dan medsos yang lain. Rusia
terus mengintensifkan persebaran pesan-pesan politik yang provokatif pada
masing-masing kelompok. Rusia juga berusaha agar pesan-pesan itu benar-benar
berkemasan Amerika sehingga tidak ada kecurigaan bahwa pesan tersebut dibuat
dan dikendalikan dari negara lain.
Untuk Indonesia yang sedang memasuki tahun-tahun politik,
apa yang terjadi di negeri Paman Sam itu tentu sangat mencemaskan. Medsos
memperlihatkan negativitasnya dan negativitas itu juga telah menggejala di
Indonesia. Polarisasi politik lewat dunia maya adalah realitas Indonesia hari
ini dan diperkirakan intensitasnya meninggi di 2019.
Lokus pertarungan politik mengalami pergeseran. Propaganda politik tak lagi
terfokus pada media konvensional tetapi telah beralih ke medsos.
Persoalannya, berbicara medsos adalah berbicara tentang ketakterdugaan (unpredictability).
Siapa yang menduga medsos yang membebaskan masyarakat juga
memecah-belah masyarakat, bahkan turut merongrong kedaulatan negara sebesar
AS? Siapa yang mengira AS yang selama ini begitu membanggakan Facebook,
Youtube dan Twitter sebagai simbol kedigdayaan negeri Paman Sam dalam
mendominasi jagat digital, pada akhirnya—dalam waktu begitu cepat—justru jadi
korban paling ekstrem dari penyalahgunaan platform medsos? Lebih absurd lagi,
penyalahgunaan didalangi negara rival utama yang selama ini kurang
diperhitungkan sebagai kiblat teknologi digital: Rusia.
Andaikan benar Facebook awalnya tidak menyadari platform
medsosnya digunakan pihak asing untuk memecah-belah bangsa Amerika, berarti
persoalannya adalah Facebook tak menduga apa yang diciptakannya berdampak
sedemikian merusak. Perusahaan medsos tak mengetahui—atau berlagak tak
mengetahui—secara persis bagaimana mengendalikan “mesin” yang telah mereka
gunakan untuk meraih keuntungan ekonomi yang besar sekali dan telah membuat
perubahan serius dalam hidup masyarakat. Persoalannya sama gawatnya antara
Facebook mengetahui atau tak mengetahui skandal tersebut.
Pelajaran penting
Medsos menjadi sangat rawan terhadap rekayasa dan
kejahatan. Rekayasa dan kejahatan ini juga tak otomatis dapat dipidanakan
karena rumitnya transmisi informasi yang tercipta dan ketakmampuan hukum
menjangkaunya. Ketika sisi gelap medsos telah nyata memecah-belah masyarakat,
belum ada pranata hukum internasional maupun nasional yang secara memadai
dapat menanganinya.
AS selama ini selalu menolak tata kelola internet global
ditangani secara unilateral oleh International Telecommunications Union.
Dengan melihat realitas difusi informasi transnasional dan transbenua dalam
kasus Rusia itu, mungkin ada penyesalan atas sikap tersebut.
Medsos menghadirkan dilema antara kebebasan dan pembatasan
kebebasan, antara transparansi penyelenggaraan kekuasaan dan kerentanan
kedaulatan nasional. Dilema itu tercermin dalam sikap Presiden Trump. Tidak
mempersoalkan campur tangan Russia dalam pilpres AS berarti membiarkan negara
lain merongrong kedaulatan nasional AS. Mempersoalkan campur tangan itu juga
dapat mendelegitimasi kemenangan Trump dalam Pilpres 2016.
Dokumen Mueller menyatakan, operasi medsos Rusia bukan
hanya untuk memecah-belah rakyat AS, tetapi juga untuk menyudutkan kandidat
presiden Hillary Clinton. Memecah-belah rakyat AS di sini berada dalam satu
tarikan napas yang sama dengan memastikan kemenangan Trump. Tak heran,
kicauan Trump di Twitter tentang dokumen Mueller terlihat ambigu. Sama
ambigunya adalah sikap Facebook yang terus berayun antara mengakui dan tidak
mengakui bahwa Facebook telah digunakan Rusia untuk menyebarkan hoaks tentang
Hillary dan memecah-belah rakyat Amerika pada Pilpres 2016.
Pelajaran penting yang dapat dipetik adalah isu agama dan
ras memang menjadi obyek utama untuk mempermainkan sentimen pengguna medsos.
Bukan rasionalitas yang digarap di sini, melainkan sentimen primodial. Medsos
tak mengenal batas-batas intelektualitas. Begitu tersentuh sentimen
primodialnya, pengguna medsos—apapun pun latar pendidikan, profesi dan kelas
sosialnya—dapat menjadi bengis terhadap sesamanya.
Mereka begitu mudah kehilangan kemampuan untuk berpikir
sebelum bertindak dan mempersempit lingkup pergaulan sebatas dengan
orang-orang yang sealiran. Peluang yang diberikan medsos kepada pengguna
untuk menyamarkan diri menambah rumit persoalan. Seperti dikatakan sosiolog
Georg Simell, di mana ada anonimitas di situ berkembang iresponsibility.
Rusia memahami betul perkara ini dan memanfaatkannya dengan paripurna dalam
kasus di atas.
Solusi Hobbesian sepertinya tak terhindarkan di sini. Agar
kebebasan berinternet tak dimaknai sebagai keleluasaan untuk berbuat apa pun
kepada orang lain, agar para homo digitalis tak menjadi serigala bagi
sesamanya, serta agar para kapitalis digital tak sebebas-bebasnya
mengeksploitasi masyarakat tanpa tanggung jawab yang setimpal, menyerahkan
pengaturan kebebasan kepada otoritas resmi tampaknya tak bisa dihindari.
Dengan catatan, otoritas resmi itu memiliki perspektif HAM yang memadai.
Pelembagaan atas aspek politik, ekonomi dan komunikasi lanskap digital pada
level internasional maupun nasional menjadi kebutuhan mendesak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar