Bahaya
Penyakit Kronis Tanpa Gejala
Djoko Santoso ; Guru Besar FK Universitas Airlangga;
Konsultan Ginjal dan Hipertensi
|
MEDIA
INDONESIA, 10 Maret 2018
SETIAP Maret selalu diperingati hari ginjal sedunia. Tahun
ini jatuh pada Kamis, 8 Maret. Umat manusia diharapkan berefleksi diri
terhadap penyakit ginjal yang menakutkan dampaknya. Tak hanya melibatkan
penderita gagal ginjal kronis (GGK), tetapi juga saudara, kerabat, masyarakatnya,
dan pemerintah. Terutama memberi perhatian kepada kaum perempuan, sesuai tema
Hari Ginjal Sedunia tahun ini, yakni Kidneys and women’s health (Ginjal dan
kesehatan perempuan). Kita menebar aura damai sejahtera dan penuh harap ceria
khususnya pada yang menderita agar diringankan bebannya dari kondisi
kehilangan pekerjaan, hak-hak hidup, dan sosialnya.
Problem GGK memang makin serius. Sebab utamanya tak lain
gaya hidup, yang berefek obesitas. Tahun lalu tema Hari Ginjal Sedunia sudah
mengangkat Obesity and kidney disease. Sebenarnya banyak negara sudah
melakukan terobosan berbagai program, seperti program percontohan dalam
meningkatkan kesadaran masyarakat, pengawasan epidemiologi dengan memperluas
upaya skrining. Namun, berdasarkan data prevalensi kasusnya bervariasi hingga
ada yang meroket tajam. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
terakhir pada 2013, prevalensi kelompok umur 15 tahun ke atas prevalensi GGK
hanya 0,2%. Angka itu jauh lebih rendah daripada negara lain. Menurut
American National Health and Nutrition Examination Survey 2007, prevalensi
GGK stage 1-4 10% (antara 1988-1994) dan meningkat menjadi 13% (1999-2004).
Adapun berdasar jumlah GGK di Amerika pada 2003 untuk GGK stadium 1, 2, 3,
masing-masing sebesar 5,9 juta, 5,3 juta, dan 7,6 juta pasien GGK. Mengapa begitu?
Tidak bergejala khusus
Pertama, penyakit ini sangat tidak bergejala secara
khusus. Sering penderitanya hanya merasa lelah. Kerap dipikir sebagai flu
atau kecapaian semata. Akibatnya, sering tak dianggap serius. Juga kerap tak
ada rasa sakit serius di pinggang, tempat ginjal. Sampai mereka kaget ketika
mengetahui bahwa tekanan darah tinggi yang terus-menerus telah menyebabkan
kerusakan ginjal parah. Tubuhnya tidak dapat lagi menyaring produk limbah
dari darahnya. Lebih kaget lagi bila harus memulai dialisis (cuci darah)
seumur hidup atau cangkok ginjal!
Para penderita penyakit ginjal kronis itu didominasi
hipertensi atau diabetes yang tidak terkontrol sebagai pemicunya. Lalu dari
peningkatan drastis secara signifikan ini, sebagian besar justru terkait
dengan peningkatan obesitas dan penuaan populasi dalam periode 10 tahun
terakhir ini. Kita tahu, obesitas juga meningkat di negeri kita, karena gaya
hidup yang kurang seimbang antara gerak dengan melahap makanan yang menggoda
selera. Data yang dilaporkan Wiguno dkk di jurnal In Ethnicity & Disease;
2009 menyebutkan penyebab gagal ginjal terminal pada pasien yang meninggal
menjalani cuci darah ialah penyakit glomerulonephritis (36,4%), ginjal
obstruktif (sumbatan misal karena batu) 24,4%, diabetes 19,9%, hipertensi
9,1%, lainnya 10,2%. Namun seiring dengan waktu, penyebab GGK saat ini
cenderung didominasi diabetes dan hipertensi juga seperti yang ada di negara
lain.
Untuk obesitas yang meningkatkan risiko dari faktor risiko
utama penyakit ginjal kronik (seperti hipertensi dan diabetes) angka
prevalensinya di Indonesia sebesar 5,7% (Riskesdas 2013). Disebutkan lagi
obesitas pada kelompok umur di bawah 18 tahun sebesar 14,8% dan berat badan
lebih ditemukan sebesar 11,5% serta obesitas sentral terjadi 26,6% penduduk.
Angka itu menunjukkan peningkatan jika dibandingkan dengan hasil Riskesdas
2007 dan 2010. Dalam perkembangan mutakhir, bisa diperkirakan efek obesitas
ini meningkat lagi.
Negara maju pun kewalahan dengan penyakit ginjal.
Prevalensi keseluruhan GGK di Amerika meningkat dari 12% menjadi 14% antara
tahun 1988 dan 1994 dan dari 1999 sampai 2004, namun tetap relatif stabil
sejak 2004. Kenaikan terbesar terjadi pada orang dengan GGK stadium 3, dari
4,5% menjadi 6,0%, sejak 1988.
Kondisi ini tentu meningkatkan beban tambahan dari sistem
perawatan kesehatan yang sudah sangat berat sebelumnya dan akan menjadi lebih
buruk sekalipun ini terjadi di negara maju seperti Amerika, Eropa, atau
Jepang. Bisa dibayangkan setiap satu juta penduduknya, negara tersebut
kemungkinan diperkirakan harus menyiapkan 300–500 mesin hemodialisis. Pada
2005 Amerika harus menyiapkan biaya pengobatan yang tinggi, yaitu sebesar
US$32 miliar (sekitar Rp430 triliun) untuk sekitar 485.000 orang hidup dengan
dialisis atau dengan transplantasi. Itu merupakan jumlah yang lebih dari
seperempat pengeluaran tahunan medicare-nya Amerika.
Kedua, ada problem besar dalam konteks persepsi.
Kebanyakan orang hanya tahu sedikit tentang penyakit ginjal kronis dan mereka
jarang bertanya kepada petugas kesehatan tentang fungsi ginjal. Ketidaktahuan
itu terlihat dari banyaknya jumlah mereka yang berstatus sehat palsu,
sedangkan mereka hanya mengalami gejala nonspesifik seperti kram otot, tidak
bertenaga, dan problem konsentrasi berpikir. Bahkan, ketika berpikir tentang
penyakit ginjal, yang ada dalam pikirannya mayoritas masyarakat cuma hanya
mengenal istilah cuci darah atau cangkok ginjal. Mereka tidak mengerti bahwa
hal itu mencakup spektrum yang luas dari sederetan proses gagal ginjal
kronis.
Mereka juga tidak merasa terancam dari akibat penyakit
ginjal kronis. Andaikan paham tentu tidak akan mau mengambil risiko. Penyakit
ginjal kronis dapat merusak sistem jantung-pembuluh darah dan menyebabkan
kondisi medis serius lainnya, seperti anemia, kekurangan vitamin D dan
kelainan tulang. Kesemua itu mungkin memberikan dampak pasien meninggal
duluan karena penyakit jantungnya daripada menderita gagal ginjalnya.
Ketiga, sekalipun tidak mengenal pengelompokan, ada
kecenderungan penyakit ini semakin besar pada kelompok orang yang tidak
beruntung secara ekonomi yang menderita hipertensi dan diabetes yang demikian
tidak proporsional dalam hal jumlah. Dan sebagian sisanya, disebabkan
kelainan genetik, penyakit autoimun seperti lupus eritematosis sistemik,
penggunaan obat-obatan tertentu yang berkepanjangan seperti obat
antiinflamasi, dan radang ginjal yang disebut glomerulonefritis. Jika
demikian, tidak mudah untuk menyelesaikan kejadian gagal ginjal kronis ini
mengingat kompleksitas yang melekat padanya.
Maka dari itu, penyelesaiannya tetap saja kembali pada
sederetan program, seperti program percontohan dalam meningkatkan kesadaran
masyarakat, pengawasan epidemiologi dan memperluas upayanya untuk
men-skrining orang-orang yang dianggap paling berisiko. Seperti orang-orang
dengan tekanan darah tinggi, diabetes, atau riwayat keluarga penyakit ginjal,
pengontrolan dengan baik dari pola hidup sehat seperti gerakan berhenti
merokok, menurunkan berat badan bila perlu, berolahraga teratur, membatasi
diet dan jika perlu, mengendalikan tekanan darah dan diabetes dengan
pengobatan. Hanya di sini perlunya pendalaman dan pengembangan dari
langkah-langkah tersebut sehingga bisa dengan mudah dicapai proses
internalisasi dalam pola budaya mereka seiring berjalannya waktu.
Selanjutnya perlu penganggaran program promosi dan
prevensi. Amerika melalui alokasi anggaran tahunan US$85 juta (sekitar Rp1,2
triliun) di maksudkan untuk program pendidikan-penyuluhan, aspek kebijakan
dan penelitian. Mereka melakukan skrining gratis untuk orang dewasa yang
berisiko terkena penyakit ginjal, mengembangkan penerbitan media komunikasi,
komunikasi melobi tentang masalah pengobatan dan kebijakan, melakukan
pendidikan publik dan penjangkauannya yang luas. Dalam hal aspek profesi,
bisa dikembangkan pedoman yang memberi panduan pada dokter mengenai berbagai
aspek penyakit ginjal kronis, pedoman praktik yang praktis, pedoman
pengobatan anemia terkait dengan penyakit ginjal kronis, pedoman dasar ginjal
seperti kriteria klinis untuk menentukan setiap tahap penyakit, dan
sebagainya.
Dari pihak berwenang perlunya mengetahui tentang
epidemiologi dan efisiensi biaya penyakit ginjal kronis dengan melalui pusat
kontrol yang dibentuk kelompok keahlian. Pemerintah bisa mengembangkan sistem
surveilans komprehensif, mengorganisasi proyek percontohan bagi orang-orang
yang berisiko tinggi di daerah-daerah, mempelajari implikasi keuangan dan
efektivitas biaya berbagai intervensi, menghasilkan prakarsa-prakarsa,
pengembangan pendidikan dan skrining yang semuanya terkait dengan penyakit
ginjal kronisi.
Dengan demikian, peringatan hari ginjal sedunia bisa
diharapkan besar kemungkinan dapat menggugah kembali semangat menjadikan
masyarakat senantiasa sadar terhadap hipertensi dan diabetes yang sangat erat
kaitannya dengan penyakit ginjal kronis. Sehingga tidak menjadikan mereka
terperangkap dalam kehidupannya sendiri untuk jatuh dalam risiko terkena
gagal ginjal kronis. Semoga ini mampu mengantarkan kesejahteraan organ ginjal
yang begitu menakjubkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar