Anomali
Politik 4.0
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
10 Maret
2018
Pemilihan presiden digelar tahun depan. Tetapi, aromanya
sudah tercium begitu menyengat. Ibarat parfum sudah menusuk ruang penciuman.
Partai politik melakukan lobi-lobi dan bersimulasi membangun koalisi. Lima
partai telah lama bersikap. PDI-P, Golkar, Nasdem, PPP, dan Hanura memberikan
dukungan kepada Joko Widodo, sang petahana yang jabatannya berakhir pada
2019.
Berdasarkan sejumlah survei, saat ini elektabilitas Jokowi
paling tinggi walaupun belum berada di posisi aman. Karena posisi Jokowi
paling tinggi, melampaui tokoh-tokoh lain yang masuk bursa calon presiden,
sampai-sampai berembus wacana calon tunggal. Tentu, calon tunggal itu tidak
sehat buat demokrasi. Ada kabar angin, Jokowi akan menggaet Prabowo sebagai
calon wapres. Itulah yang membuat politikus Gerindra uring-uringan. Buat
mereka, Prabowo adalah capres, bukan cawapres.
Jika melihat gelagatnya, rivalitas Pilpres 2014 bakal
terulang. Ini artinya pentas politik akan gonjang-ganjing karena pertarungan
ulang (rematch) selalu diiringi dengan semangat pembalasan.
Gerindra dan PKS tampak selalu lengket. Walaupun berbeda
ideologi, punya kepentingan sama. Ada juga Partai Demokrat yang kerap
memosisikan diri sebagai ”penyeimbang”. Namun, pertemuan Komandan Satuan
Tugas Bersama Pemilu 2019 Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono dengan
Presiden Jokowi di Istana tampaknya memberikan komunikasi lain. Di politik,
semua kemungkinan bisa terjadi.
Sejak Partai Bulan Bintang (PBB) sah menjadi peserta
Pemilu 2019 (setelah memenangi gugatan di Bawaslu), tersiar kabar wacana
koalisi ”partai Islam”. Di jajaran platform ini sebetulnya ada PKB, PKS, PPP,
dan PAN. PKB sedang gencar mempromosikan ketua partainya, Muhaimin Iskandar,
sebagai cawapres. PKS dan PPP rasanya tidak mungkin karena sudah ”menentukan
hati” untuk menghidupkan koalisi lama yang akan mengusung Prabowo. PAN
terlihat lincah bergerak ke mana-mana. Namun, kalau koalisi ini terwujud,
tentu akan mengubah peta Pilpres 2019.
Itulah hari-hari yang ditonton rakyat sampai tahun depan.
Mereka tengah berdandan genit untuk memikat hati rakyat.
Sayangnya, banyak orang merasa tidak terhibur menonton
pentas politik. Kalaupun dianggap menghibur, sangat tidak lucu. Ada yang
bilang ceritanya tidak bagus. Sebab, terlalu sering politik itu mementaskan
kisah tragedi: lebih mempertontonkan perangai rakus kuasa, saling
menjatuhkan, sikut-sikutan, koruptif. Adegan-adegannya kurang bagus, tidak
mengundang decak kagum. Akting para pemerannya pun norak-norak dan
membosankan. Dialog-dialognya pun kurang inspiratif. Jadi, begitu layar
pentas ditutup, penonton membawa pulang rasa kecewa. Dada terasa sesak, napas
pun tersengal-sengal. Sampai ada penonton ogah menonton politik karena justru
membuat detak jantung terus berdebar-debar.
Mengapa demikian? Karena politik bukan sibuk untuk
membangun kebaikan bersama. Politik tidak menjadi ladang persemaian
benih-benih kebaikan untuk ditanam dan dipanen di kemudian hari. Politik
bukan untuk melayani rakyat, tetapi untuk kuda tunggangan. Politik bukan
menjadi panggung berdialog para politikus dalam membicarakan persoalan
rakyat. Politik justru menjadi arena gontok-gontokan merebut kekuasaan, tanpa
menoleh lagi ke rakyat. Politik bukan mengintegrasikan bangsa, melainkan
justru membelah bangsa.
Politikus mendapat mandat dari rakyat, tetapi sering
berpaling dari rakyat. Beberapa peristiwa, politikus di DPR, misalnya,
berseberangan dengan aspirasi rakyat. Alih-alih memahami rakyat, malah mereka
mempertanyakan, rakyat yang mana? Itu sudah kesalahan pikir yang amat
mendasar. Rakyat semakin berjarak dengan mereka. Mereka asyik sendiri, tak
mendengar lagi suara rakyat yang mulai serak. Malah, dengan Undang-Undang
MPR, DPR, DPD, DPRD, mereka yang kritis terhadap DPR dapat dipukul balik.
Begitulah politik pada zaman sekarang yang merupakan zaman
paling canggih. Sekarang ini sudah memasuki era revolusi industri gelombang
keempat (4.0) yang berbasis sistem cyber-physical. Tidak hanya disrupsi
teknologi, tetapi juga disrupsi perilaku karena memperlihatkan
kontradiksi-kontradiksi. Era teknologi pintar (smart technology), tetapi
tidak memperlihatkan perilaku kecerdasan (smart people).
Di politik, kecerdasan dan kewarasan seakan kehilangan
kapling. Narasi indah di politik rasanya cuma dalam text book saja. Tontonan
terbanyak adalah sikap-sikap reaktif, asbun (asal bunyi), suka menuding,
selalu merasa paling benar. Mengapa banyak perilaku politik yang terlihat
tidak cerdas?
Lisa Schonhaar dan Gisela Wolf (Independent.co.uk, 2017)
memberikan gambaran menarik tentang lima kebiasaan orang bodoh yang tidak
dimiliki orang cerdas: 1) orang bodoh selalu menyalahkan orang lain atas
kesalahan mereka sendiri, 2) orang bodoh selalu harus benar, 3) reaksi orang
bodoh kerap marah dan agresif, 4) tak peduli kebutuhan dan perasaan orang
lain, dan 5) mereka selalu merasa lebih baik dari orang lain. Apakah
kebiasaan-kebiasaan tersebut terlihat di arena politik di negeri ini? Sulit
menjawab bahwa perilaku politik yang selalu gaduh saat ini memperlihatkan
kebiasaan-kebiasaan cerdas.
Inilah disrupsi-disrupsi yang bisa jadi juga anomali di
panggung politik era industri generasi keempat (4.0). Fenomena yang marak di
arena politik yang mulai berisik ini menjadi peringatan bagi rakyat untuk
jeli memilih calon pemimpin pada Pemilu atau Pilpres 2019. Salah memilih
pemimpin, itu artinya menjerumuskan bangsa dan negara ini ke dasar jurang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar