Pilkada,
Pemimpin Korup, dan Parpol
Laode Ida ; Komisioner Ombudsman RI; Wakil Ketua DPD RI 2004-2014
|
MEDIA
INDONESIA, 10 Maret 2018
GEBRAKAN Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam
membersihkan negara ini dari anasir-anasir korup termasuk pencegahan untuk
hadirnya pemimpin korup, sangat pantas untuk diapreasiasi tinggi. Betapa
tidak. Pimpinan dan insan lembaga antiraswah itu seolah memiliki badan yang
'super-fit nan sehat', siang malam nyaris tidak tidur atau
tidak kenal dalam mengintai, menemukan dan langsung menersangkakan para
pejabat ataupun politikus korup beserta jejaringnya baik dari kalangan
pebisnis maupun birokrat. Sejumlah kepala daerah dan calon kepala daerah korup
pun, akhir-akhir ini, terjerat baik dengan cara operasi tangkap tangan (OTT)
maupun melalui proses penyelidikan dan penyidikan biasa hingga sampai pada
status penersangkaan.
Yang menarik, ternyata KPK memiliki daftar sejumlah calon
kepala daerah (yang sekarang ini sedang gencarnya berkampanye untuk pilkada
serentak pada Juni 2018 nanti) terindikasi korup. Itu ditandai dengan isyarat
yang disampaikan Ketua KPK Agus Rahardjo bahwa beberapa orang calon kepala
daerah peserta Pilkada 2018 ini berpeluang besar untuk tersangka korupsi
(Media Indonesia, 7/3/2018). Tentu saja KPK tidak asal
omong atau tidak omong kosong; sudah memiliki bukti-bukti awal yang terus
saja dikembangkan dan dipantau di lapangan.
Kecenderungan seperti itu memang sangat memprihatinkan.
Apalagi, yang terindikasi kuat ialah calon kepala daerah petahana, atau
barangkali calon kepala daerah yang sebelumnya berada pada jabatan wali
kota/bupati dan sekarang mencalonkan untuk posisi gubernur. Kasus Asrun,
salah satu calon Gubernur Sultra, yang kini terjerat OTT oleh KPK bersama
putra keduanya yang (dipaksakan) jadi Wali Kota Kendari, merupakan salah satu
contoh aktualnya.
Sudah jadi semacam tesis tak terbantahkan, memang, bahwa
petahanan atau mantan pejabat kepala daerah (apalagi dua periode) di era
reformasi ini niscaya memiliki harta berlimpah yang diperoleh dengan
cara-cara korup. Mereka juga sangat tidak kesulitan memperoleh uang untuk
biaya politik, karena kecuali sudah ada dalam pundi-pundi mereka yang
diamankan baik melalui rekening pribadi, keluarga, dan kerabat kepercayaan
(trusted friends), juga sudah memiliki jaringan pebisnis
yang selama ini bekerja sama dan sudah terbiasa memberi kickback
fee dari proyek-proyek yang ditangani dan atau good
will yang dikeluarkan untuk suatu investasi bisnis tertentu di
daerah.
Pertanyaan kritis yang kerap dilontarkan pihak-pihak yang
‘kesal pada KPK’, mengapa OTT atau penersangkaan terhadap petahana atau
mantan kepala daerah tidak dilakukan sejak sebelumnya (atau bukan di dalam
proses pilkada ini)? Pertanyaan ini barangkali hanya pihak KPK yang bisa
menjelaskannya. Namun bagi saya, itu lebih soal teknis saja. Karena kita
semua tahu bahwa KPK tak akan kerja semborono tanpa ada bukti permulaan yang
bisa dipertanggung jawabkan. Lebih dari itu, melakukan langkah pencegahan
melalui penjegalan agar tidak terus tergerusnya uang negara (yang merupakan
bagian dari hak rakyat) oleh pemimpin korup, tak perlu diatur kapan waktunya
dilakukan. Sekali lagi, justru mencegah mereka sebelum terpilih jadi kepala
daerah merupakan langkah strategis KPK yang harus diacungi jempol.
Praktik maladministrasi
Pejabat kepala daerah yang korup dan rakus harta niscaya
sudah membuktikan diri sebagai pelaku praktik maladministrasi. Dampaknya
sangat buruk baik bagi rakyat dan negara. Mengapa? Pertama, niscaya tak akan
pernah memberikan pelayanan prima pada rakyat. Anggaran dari berbagai proyek
pembangunan akan mengalir ke saku atau kas pribadi oknum kepala daerah (dan
atau barisan keluarganya). Akibatnya, kualitas pekerjaan niscaya menurun tak
sesuai harapan, hak rakyat dirampas. Maka tidak mengherankan, misalnya, jika
infrastruktur jalan dan jembatan terus saja mengalami kerusakan sehingga
anggaran negara terus saja tersedot sementara masyarakat yang memanfaatkannya
akan sangat tidak puas. Aktivitas ekonomi rakyat lokal akan selalu terganggu.
Selain itu, karakter transkasional pejabat korup akan
menjadikan investasi biaya tinggi dan bahkan tak berkepastian. Sejumlah kasus
pengaduan di Ombudsman RI ditemukan indikasi kuat maladministrasi yang
dilakukan sejumlah kepala daerah (berikut jajarannya) yang berakibat
timbulnya kerugian bagi sejumlah pebisnis (investor). Di bidang pertambangan
(minerba), misalnya, saat ini terjadi pemblokiran izin usaha pertambangan (IUP)
karena tidak berstatus clear and clean (CnC), padahal mereka sudah
mengeluarkan biaya puluhan bahkan ratusan miliar rupiah.
Namun setelah diperiksa, ternyata ketiadaan CnC bukan
semata kelalaian dari para pebisnis itu, melainkan lebih banyak disebabkan
lambannya pelayanan atau bahkan ketidakbecusan perilaku pejabat di daerah
dalam memberikan pelayanan unhtuk suatu investasi yang kondusif. Mulai dari
persoalan tumpang tindih, hingga sampai benturan kepentingan politik
antarpejabat kepala daerah sebelumnya dengan yang sedang menjabat. Tepatnya
pergantian kepala daerah kerap berimplikasi pada pebedaan pilihan pebisnis
yang memanfaatkan good will kepala daerah itu.
Kedua, birokrasi yang buruk atau unprofessional
bureaucracy. Kepala daerah yang korup niscaya memanfaatkan para pejabat
birokrasi semaunya, termasuk di dalamnya mentransaksikan jabatan-jabatan yang
ada. Para pejabat di daerah dijadikan sebagai pengumpul uang untuk disetorkan
ke pihak kepala daerah. Akibatnya, pejabat birokrasi berikut bawahannya
cenderung kerja melayani pihak kepala daerah (baca: kepala daerah sendiri
berikut keluarga dan orang-orang yang memanfaatkannya) sebagai bos. Jika ada
pejabat birokrasi yang tidak patuh pada keinginan Sang Bos, posisi pada
jabatannya akan sulit langgeng.
Konsekuensi lebih jauh dari itu ialah munculnya kesadaran
pejabat birokrasi untuk juga menirup perilaku bosnya memanfaatkan kesempatan
untuk memperoleh harta. Apalagi, mereka yang memiliki posisi sebagai ‘kuasa
pemenang anggaran’ di daerah. Para pejabat birokrasi seperti ini pun sudah
pasti akan tetap survive dari suatu periode ke periode lainnya. Maklum,
kendati figur kepala daerah berganti, namun karakternya sama, yakni
‘memanfaatkan pejabat birokrasi yang dianggap bisa cari uang untuk disetorkan
kepadanya’.
Ketiga, hilangnya kesakralan negara. Pejabat negara,
termasuk di dalamnya kepala daerah, sebenarnya merupakan simbol dari negara
di mata rakyat. Figur pejabat merupakan ekspresi nyata dari ‘ruh negara’. Dan
perlu dicatat, tidak ada negara di dunia pun yang dibangun di atas fondasi
nilai-nilai jahat.
Apalagi Indonesia ini dibangun melalui perjuangan fisik
dengan pengorbanan nyawa yang sudah terhingga. Para pejuangnya pun, terutama
Soekarno dan Hatta, sudah terlebih dulu malang melintang dengan penderitaan
dari satu penjara ke penjara yang lain, hanya karena kegigihan dan daya
juangnya untuk bangun negara yang berdaulat. Para pejuang dan pendiri negara
itu kini sudah berada di alam baka dengan kesucian diri dari praktik korup
yang seharusnya jadi warisan nilai luhur untuk juga dipraktikkan para pejabat
sekarang dan masa datang.
Maka seharusnya para pejabat perampok uang negara tak
pantas berada di posisi jabatan negara yang miliki derajat kesakralan yang
(seharusnya) tinggi nan mulia. Namun kini sepertinya sudah sulit mencari
nilai sakral dalam negara dan daerah. Ya.., karena sebagian (besar)
pejabatnya sudah bercampur kotoran dan atau sebagai pelaku kejahatan luar
biasa (extraordinary crime).
Lalu siapa yang bertanggung jawab? KPK sudah menunjukkan
bukti dan keinginan kuatnya untuk terus memerangi para penjahat itu. Namun,
sebenarnya yang lebih bertanggung jawab ialah partai politik (parpol). Karena
parpol sebagai sumber rekrutmen kader pemimpin bangsa, sumber utama dan
terbesar dari para kepala daerah sekarang ini; dan sangat-sangat powerful di
negara ini. Tepatnya, seharusnya parpol tak boleh mengajukan calon kepala
daerah yang korup.
Namun sayangnya, jika jujur diakui, umumnya para elite
parpol yang mengajukan para calon kepala daerah yang korup itu, termasuk
mempertahankannya. Dan, jika tidak ada perubahan pada karakter dan orientasi
para elite parpol, niscaya Indonesia akan tetap jadi bagian dari negara
dengan indeks korupsinya tinggi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar