Senin, 01 Mei 2017

Akrobat Tuntutan JPU

Akrobat Tuntutan JPU
dan Rasa Keadilan Masyarakat
Ikhsan Abdullah  ;  Penasehat Hukum
                                                   KORAN SINDO, 25 April 2017



                                                           
Hari-hari ini masyarakat disuguhkan akrobat hukum yang sangat tidak elok. Akrobat itu tidak pantas dipertontonkan oleh jaksa sebagai penuntut umum di pengadilan karena di samping dapat merusak kewibawaan pengadilan, juga dapat membuat masyarakat tidak lagi mempercayai penegak hukum dan pengadilan (public distrust).

Akrobat hukum tersebut telah dimainkan oleh tim jaksa penuntut umum (JPU) yang diketuai oleh Ali Mukartono dalam persidangan kasus penistaan agama dengan terdakwa Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok. Prosesnya saat ini memasuki sidang ke-22 dan pada hari ini dengan acara pembacaan pleidoi (nota pembelaan) dari terdakwa dan tim pembelanya. Pada persidangan Kamis, 20 April 2017, satu hari setelah pilkada, sidang digelar dengan agenda pembacaan tuntutan jaksa (requisitoir).

Agenda tuntutan JPU ini ditunda setelah pada sidang ke-20 pada 11 April lalu karena JPU tidak siap dengan tuntutannya karena belum siap dalam pengetikan. Alasan ini mengingatkan dan hampir mirip dengan alasan mahasiswa kepada dosennya ketika diminta untuk menyerahkan tugasnya. Mungkin ini pula yang mengilhami tim JPU tersebut. Kontan saja alasan jaksa tersebut menimbulkan kekecewaan yang sangat mendalam bagi publik yang menyaksikan proses persidangan secara langsung maupun yang dapat menyaksikan lewat media televisi dan radio.

Pada sidang tuntutan ini ketua majelis telah mengizinkan awak media untuk dapat menyaksikan dan menyiarkannya secara langsung. Publik dibuat terperangah melihat aksi tim JPU. Publik dibiarkan bersyakwasangka dan menduga-duga sehingga menjadi pembicaraan luas di masyarakat juga di jagat media sosial. Pertanyaannya, kenapa jaksa menunda tuntutan (requisitoir) dilontarkan oleh berbagai khalayak ramai.

Jawaban jaksa sangat jelas karena mempertimbangkan surat Kapolda Metro Jaya kepada majelis hakim yang ditembuskan ke Kajati DKI Jakarta. Semestinya itu menjadi wewenang majelis hakim untuk mempertimbangkan melalukan penundaan atau tidak.

Akrobat hukum selanjutnya dipertontonkan kembali dengan tim akrobatik yang dikepalai oleh Jaksa Agung Prasetyo adalah ketika JPU menyatakan tidaklah tepat menuntut terdakwa Ahok dengan Pasal 156 a sekalipun dakwaan dan konstruksinya juga saksi, alat bukti dan saksi ahlinya dibangun untuk membuktikan dakwaannya dalam tuntutan berdasar Pasal 156 a KUHP.

Padahal, kejaksaan melimpahkan berkas kasus Ahok sebagai penista agama karena dinilai telah memenuhi buktibukti dan unsur yang cukup alat buktinya. Sebab, andai saja saat itu kejaksaan menilai berkas Ahok tidak cukup unsur dan alat buktinya, dapat dipastikan berkas tersebut akan dikembalikan kepada Mabes Polri sebagai P-19 lagi.

Dakwaan jaksa bahkan telah disampaikan dalam persidangan di hadapan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara yang saat itu persidangan digelar di PN Jakarta Pusat. Ini membuktikan bahwa dakwaan JPU telah memenuhi syarat dan sah secara hukum berdasar KUHAP yakni UU No 8 Tahun 1981 sehingga persidangan terus dilanjutkan memasuki pokok perkara. JPU telah mengajukan alternatif dakwaan kepada terdakwa Ahok aktif yakni Pasal 156 a KUHP dan Pasal 156 KUHP dengan ancaman maksimal lima tahun dan empat tahun penjara.

Dalam persidangan JPU telah menghadirkan semua pelapor, saksi-saksi pelapor, sampai kepada saksi KH M’aruf Amin sebagai ketua umum MUI dan ketua Rais Aam PB NU diminta hadir. Hingar-bingar pun tak terhindarkan karena proses pemeriksaan dinilai masyarakat sebagai mengadili saksi KH Maruf Amin yang harus menjalani pemeriksaan tujuh jam dan diperlakukan layaknya memeriksa pesakitan. Saksi-saksi ditekan dan diintimidasi dengan cara mental break down.

Gegap gempita pemeriksaan dan pemeriksaan saksi-saksi dan pemberian keterangan oleh para saksi ahli juga diwarnai demonstrasi massa yang kontra dan pro-Ahok di setiap persidangan.

Tentu saja tuntutan JPU ini menuai kritikan dan kecaman pedas masyarakat. Jaksa dinilai tidak profesional diintervensi oleh kekuasaan ekstrayudisial dan telah mengusik rasa keadilan masyarakat.

Sampai tudingan kepada Jaksa Agung Prasetyo yang dianggap bermain politik di ruang pengadilan dengan mengintervensi JPU. Terlepas perdebatan dan tudingan masyarakat di ruang persidangan sampai di ruang publik, tentu kasus ini wajib kita bedah dengan menggunakan teori hukum pidana agar tidak menjadi liar dan kebablasan.

Minimal sebagai edukasi untuk masyarakat agar semakin melek hukum. Dalam teori pertanggungjawaban pidana sangat terkait erat dengan unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan (dolus/opzet). Dalam Pasal 156 a KUHP ditulis sangat jelas kata-kata “dengan sengaja”. Sebaliknya, pada Pasal 156 KUHP tidak disebutkan unsur kesengajaan secara eksplisit. Tetapi, semua ahli hukum berpendapat, jika tidak disebutkan, dianggap ada kesengajaan dan dianggap terbukti bila semua unsur yang disebutkan terpenuhi.

Teori kesengajaan di dalam Pasal 156 KUHP mengandung tiga teori kesengajaan. Tiga teori kesengajaan tersebut; sengaja dengan maksud (opzet als oogmerk), sengaja dengan kepastian (dolus directus), dan sengaja dengan kemungkinan (dolus eventualis). Pasal 156 a huruf a juga membuka masuknya salah satu teori kesengajaan tersebut. Adapun pada Pasal 156 a huruf b hanya kesengajaan dengan maksud, secara a contrario, tertutup masuknya kesengajaan dengan kepastian maupun kesengajaan dengan kemungkinan.

Dapat dipahami pada Pasal 156 a terkandung dua bentuk kejahatan. Huruf a bersifat formil, sedangkan huruf b bersifat materiil. Menjadi pertanyaan mengapa JPU tidak merumuskan sikap batin (mens rea) terdakwa berupa unsur kesalahan (schuld) dalam wujud kesengajaan itu? Kesengajaan sangat penting bagi pertanggungjawaban pidana kepada terdakwa.

Karena, jika tidak terbukti, majelis hakim akan memutuskan “lepas dari segala tuntutan hukum” (Abdul Chair Ramadhan). Padahal, kalau kita cermati kasus BTP alias Ahok pada Pasal 156 itu, ada kesengajaan kemungkinan. Di sini terdakwa harus dianggap memenuhi unsur penghinaan terhadap salah satu golongan penduduk yang berdasarkan agama.

Kata-kata “...jadi jangan percaya sama orang...” dan “...dibodohin gitu...”, walaupun tidak dimaksudkan untuk menghina ulama dan/atau umat Islam, hanya dimaksudkan kepada lawan-lawan politiknya, namun timbulnya akibat yang tidak dikehendaki— penghinaan terhadap ulama dan/atau umat Islam— merupakan suatu bentuk dari kesengajaan dengan kemungkinan (dolus eventualis). Terdakwa harus bertanggung jawab pada kejadian ini.

Kemudian, perlu dicatat bahwa karena dakwaan JPU disusun dalam bentuk alternatif, haruslah ada korelasi yang sistemik antara Pasal 156 a huruf a dengan Pasal 156 KUHP. Pasal 156 apabila dihubungkan ke Pasal 156 a huruf a ada kesengajaan kepastian (dolus directus). Di sini terlihat terdakwa telah memenuhi unsur Pasal 156 KUHP, namun juga timbul akibat yang tidak dikehendaki, yakni penodaan terhadap Surah Al-Maidah : 51, sebagaimana dikategorikan sebagai perbuatan yang dilarang dalam Pasal 156 a huruf a KUHP.

Contoh kasus “Thomas van Bremerhaven” sangat relevan untuk digunakan sebagai acuan pada perkara ini. Timbulnya akibat yang tidak dikehendaki dan sekaligus tidak dapat dihindari dipandang sebagai wujud kesengajaan kepastian atau keniscayaan.

Dengan kata-kata “...jadi jangan percaya sama orang...” dan “...perasaan enggak bisa pilih niihhh, karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu...” adalah jelas memosisikan ulama dan/ atau umat Islam yang menyampaikan makna kandungan Surah Al-Maidah ayat 51 sebagai pembohong dengan menggunakan Al-Maidah ayat 51 secara tidak benar alias salah. Al-Maidah ayat 51 adalah benar, sepanjang dimaknai atau ditafsirkan sesuai dengan pendapatnya. Dengan lain perkataan, “sepanjang diartikan lain, maka itu adalah suatu kebohongan.” Pada buku terdakwa “Merubah Indonesia” halaman 40, paragraf keempat, ungkapan perasaan tersebut telah disampaikan.  

Dengan akrobat yang dipertontonkan oleh JPU, semakin membuktikan bahwa hukum di Indonesia tidak berdaya apa-apa ketika berhadapan dengan terdakwa yang memiliki kekuasaan.

Lalu, bagaimana hukum dan aparatusnya bekerja sangat agresif dan gagah perkasa ketika menghadapi seseorang yang tidak memiliki kekuasaan seperti Buni Yani? Buni Yani yang dituduh mengunggah video Ahok di media sosial diancam hukuman penjara enam tahun, sementara terhadap terdakwa Ahok yang ucapannya dijadikan sumber yang diunggah oleh Buni Yani hanya dituntut satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun.

Tontonan yang disuguhkan JPU di persidangan yang mulia itu dapat menciptakan public distrust kepada penegakan hukum yang amat mahal harganya. Langit belumlah runtuh. Harapan masyarakat akan putusan yang berkeadilan dan berkepastian masih digantungkan pada putusan hakim. Tentu saja dengan mempertimbangkan semua nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat, selain bukti dan fakta di persidangan serta perasaan keadilan masyarakat. Semoga hakim dapat merasakan gairah masyarakat yang mendambakan keadilan dan kepastian hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar