Senin, 12 Maret 2018

Ibu Kota, Kota Ibu

Ibu Kota, Kota Ibu
Emanuel Dapa  ;   Loka Pengamat Sosial;
Alumnus Filsafat, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
                                                        KOMPAS, 10 Maret 2018



                                                           
Judul di atas saya ”culik” dari salah satu puisi seniman serba bisa, Remy Sylado, berjudul ”Ibu Kota, Kota Ibu”.  Namanya juga seniman, ia berimajinasi menjadi seorang ”penguasa” agar bisa melakukan apa saja yang ia maui, termasuk bisa mencelup Kota Jakarta sehingga menjadi putih.

Pada larik-larik puisinya tampak dengan jelas alasan sang penyair hendak mencelup Kota Jakarta. Dia ingin dosa-dosa kota metropolitan ini—tentu saja yang dimaksud adalah dosa-dosa penghuninya—tertutupi atau tersamarkan. Sang penyair menyadari keterbatasannya: dia tak kuasa menghapus dosa, hanya bisa menyamarkan.

Jakarta juru kunci

Sebagai ibu kota negara dan daerah khusus ibu kota, Jakarta adalah wajah Indonesia. Mestinya, dalam banyak hal—bila perlu dalam semua hal—Jakarta jadi kiblat. Sayangnya, dalam banyak hal pula, Jakarta sama sekali tidak layak jadi contoh.

Ya, Jakarta tak perlu dan tak selayaknya mengalami kemunduran. Mengapa? Sebab, ”konon”, kota semacam Jakarta disesaki oleh banyak kaum cerdik cendekia. Sayangnya, kecendekiaan itu terasa berjalan sendiri di satu sisi, sedangkan di sisi lain kepedulian untuk merawat nilai perekat kebersamaan, keguyuban yang berkualitas, juga melangkah sendiri ke arah yang berlainan: entah ke mana.

Aneka kelakuan orang-orang pandai pada sekitar perhelatan Pilkada DKI Jakarta tahun lalu adalah contoh sangat meyakinkan. Demi kekuasaan, apa pun dilakukan walau itu berakibat menjerembabkan orang lain ke dasar kebangkrutan daya kritis—bahkan juga moral.

Yang dicekokkan kepada masyarakat calon pemilih bukan lagi program kerja yang dengannya Jakarta bisa maju dan cemerlang, melainkan alasan memilih karena faktor lain. Caranya pun dengan menakut-nakuti. Cara berpikir dan berprinsip semacam ini tentu bukan cara berprinsip dan berpikir cendekia yang juga fajar budinya.

Dalam memperingati Hari Toleransi  Internasional yang jatuh pada 16 November, Setara Institute  melakukan kajian dan pengindeksan terhadap 94 kota di Indonesia. Kajian dan pengindeksan dilakukan untuk mengukur tingkat toleransi dan mempromosikan  kota-kota yang dianggap berhasil membangun dan mengembangkan toleransi sehingga jadi pemicu bagi kota lain untuk membangun dan mengembangkan sikap toleransi di wilayahnya.

Hasilnya? Kota Manado di urutan pertama. Jakarta dan Bekasi mendapatkan stabilo tersendiri. Jakarta mengalami kemunduran luar biasa. Tahun ini Jakarta menempati urutan paling buncit dari 94 kota yang diteliti, padahal, ketika Setara Institute melakukan penelitian serupa dua tahun lalu, Jakarta berada di urutan ke-65. Sementara Kota Bekasi mengalami kemajuan cukup signifikan. Dua tahun lalu, kota ini menempati peringkat ke-93 dari 94 kota yang diteliti. Tahun ini kota yang dijuluki ”Kota Patriot” ini melejit ke urutan 53, juga dari 94 kota yang diteliti.

Hasil penelitian menjelaskan, terjun bebasnya peringkat Kota Jakarta karena ”didukung” oleh penguatan intoleransi dan politisasi identitas keagamaan di DKI menjelang, saat, dan setelah Pilkada 2017. Perubahan sangat signifikan DKI adalah pada indikator peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB), pernyataan pemerintah, dan tindakan nyata pemerintah. Telah terjadi 24 peristiwa pelanggaran KBB dalam satu tahun terakhir. Sementara itu, dalam situasi demikian, tidak ada pernyataan terobosan dan tindakan nyata yang solutif dalam merespons tingginya angka pelanggaran tersebut.

Bagaimana Bekasi? Kota ini mentas dari keterpurukan karena semakin positifnya standing position, pernyataan serta tindakan Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi dalam merespons peristiwa-peristiwa intoleransi di wilayahnya. Di hadapan massa yang berdemonstrasi menolak pembangunan Gereja Santa Clara, misalnya, Pepen, sapaan akrab sang wali kota, dengan tegas menolak untuk tunduk. Ia bahkan berani berkata di hadapan perwakilan demonstran: ”Tembak kepala saya sekalipun, saya tidak akan cabut izin Santa Clara.”

Tidak boleh gagal

Kembali ke Ibu Kota. Ke depan, tidak ada pilihan lain selain Ibu Kota harus bersalin rupa dan karakter menjadi ”kota ibu” yang ramah dan tulus ikhlas untuk semua anaknya. Tidak ada pilihan lain selain berharap Anies dan Sandiaga menunjukkan diri sebagai sosok yang bisa menyembuhkan luka yang menganga, berdarah, dan infeksi di tengah-tengah masyarakat.

Keduanya harus bekerja keras  dan nyata membenahi kota untuk menyejahterakan rakyatnya dengan program-program yang masuk akal dan ucapan- ucapan yang terkendali. Hasil kerja nyata yang menciptakan kenyamanan dan kesejahteraanlah yang mengunci password pikiran orang untuk gagal mengingat-ingat lagi masa lalu yang ”memalukan” dan ”memilukan” itu.

Berhentilah berkampanye dan mencari, apalagi mencari- cari kesalahan orang lain. Bekerjalah sungguh-sungguh. Sebab, jika Anda berdua gagal, sudah pasti Anda akan menjadi seteru dan bulan-bulanan; bukan hanya bagi yang tidak memilih,  tetapi juga bagi yang memilih.

Saat ini musim hujan. Seperti yang salah satu dari Anda berdua katakan, Allah sedang mengirim banyak air. Tentu saja benar sebab Allah berkuasa menurunkan hujan atau terik. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana sikap orang yang dikirimi air menerima air dalam jumlah yang sangat banyak itu? Jika tidak tahu bagaimana menerima dan mengaturnya, malah sibuk beretorika dan hanya menebar kata-kata indah nan menghibur, ya, air itu akan mengobrak-abrik dan menenggelamkan.

Anies dan Sandiaga, Anda berdua tidak boleh tenggelam dan gagal. Loh, kok?  Bukankah kegagalan juga adalah ”hak” setiap orang? Mari simak lagi larik Remy dalam puisi tersebut: ”…/Bagaimana orang bisa dipercaya bicara/Jika ia berada dalam kelas yang kalah/Seperti kini Jakarta disesaki olehnya…/…”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar