Ibu
Kota, Kota Ibu
Emanuel Dapa ; Loka Pengamat Sosial;
Alumnus Filsafat, Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta
|
KOMPAS,
10 Maret
2018
Judul di atas saya ”culik” dari
salah satu puisi seniman serba bisa, Remy Sylado, berjudul ”Ibu Kota, Kota
Ibu”. Namanya juga seniman, ia
berimajinasi menjadi seorang ”penguasa” agar bisa melakukan apa saja yang ia
maui, termasuk bisa mencelup Kota Jakarta sehingga menjadi putih.
Pada larik-larik puisinya tampak
dengan jelas alasan sang penyair hendak mencelup Kota Jakarta. Dia ingin
dosa-dosa kota metropolitan ini—tentu saja yang dimaksud adalah dosa-dosa
penghuninya—tertutupi atau tersamarkan. Sang penyair menyadari
keterbatasannya: dia tak kuasa menghapus dosa, hanya bisa menyamarkan.
Jakarta
juru kunci
Sebagai ibu kota negara dan daerah
khusus ibu kota, Jakarta adalah wajah Indonesia. Mestinya, dalam banyak
hal—bila perlu dalam semua hal—Jakarta jadi kiblat. Sayangnya, dalam banyak
hal pula, Jakarta sama sekali tidak layak jadi contoh.
Ya, Jakarta tak perlu dan tak
selayaknya mengalami kemunduran. Mengapa? Sebab, ”konon”, kota semacam
Jakarta disesaki oleh banyak kaum cerdik cendekia. Sayangnya, kecendekiaan
itu terasa berjalan sendiri di satu sisi, sedangkan di sisi lain kepedulian
untuk merawat nilai perekat kebersamaan, keguyuban yang berkualitas, juga
melangkah sendiri ke arah yang berlainan: entah ke mana.
Aneka kelakuan orang-orang pandai
pada sekitar perhelatan Pilkada DKI Jakarta tahun lalu adalah contoh sangat
meyakinkan. Demi kekuasaan, apa pun dilakukan walau itu berakibat
menjerembabkan orang lain ke dasar kebangkrutan daya kritis—bahkan juga
moral.
Yang dicekokkan kepada masyarakat
calon pemilih bukan lagi program kerja yang dengannya Jakarta bisa maju dan
cemerlang, melainkan alasan memilih karena faktor lain. Caranya pun dengan
menakut-nakuti. Cara berpikir dan berprinsip semacam ini tentu bukan cara
berprinsip dan berpikir cendekia yang juga fajar budinya.
Dalam memperingati Hari
Toleransi Internasional yang jatuh
pada 16 November, Setara Institute
melakukan kajian dan pengindeksan terhadap 94 kota di Indonesia.
Kajian dan pengindeksan dilakukan untuk mengukur tingkat toleransi dan
mempromosikan kota-kota yang dianggap
berhasil membangun dan mengembangkan toleransi sehingga jadi pemicu bagi kota
lain untuk membangun dan mengembangkan sikap toleransi di wilayahnya.
Hasilnya? Kota Manado di urutan
pertama. Jakarta dan Bekasi mendapatkan stabilo tersendiri. Jakarta mengalami
kemunduran luar biasa. Tahun ini Jakarta menempati urutan paling buncit dari
94 kota yang diteliti, padahal, ketika Setara Institute melakukan penelitian
serupa dua tahun lalu, Jakarta berada di urutan ke-65. Sementara Kota Bekasi
mengalami kemajuan cukup signifikan. Dua tahun lalu, kota ini menempati
peringkat ke-93 dari 94 kota yang diteliti. Tahun ini kota yang dijuluki
”Kota Patriot” ini melejit ke urutan 53, juga dari 94 kota yang diteliti.
Hasil penelitian menjelaskan,
terjun bebasnya peringkat Kota Jakarta karena ”didukung” oleh penguatan
intoleransi dan politisasi identitas keagamaan di DKI menjelang, saat, dan
setelah Pilkada 2017. Perubahan sangat signifikan DKI adalah pada indikator
peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB), pernyataan
pemerintah, dan tindakan nyata pemerintah. Telah terjadi 24 peristiwa
pelanggaran KBB dalam satu tahun terakhir. Sementara itu, dalam situasi
demikian, tidak ada pernyataan terobosan dan tindakan nyata yang solutif
dalam merespons tingginya angka pelanggaran tersebut.
Bagaimana Bekasi? Kota ini mentas
dari keterpurukan karena semakin positifnya standing position, pernyataan
serta tindakan Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi dalam merespons
peristiwa-peristiwa intoleransi di wilayahnya. Di hadapan massa yang
berdemonstrasi menolak pembangunan Gereja Santa Clara, misalnya, Pepen,
sapaan akrab sang wali kota, dengan tegas menolak untuk tunduk. Ia bahkan
berani berkata di hadapan perwakilan demonstran: ”Tembak kepala saya
sekalipun, saya tidak akan cabut izin Santa Clara.”
Tidak
boleh gagal
Kembali ke Ibu Kota. Ke depan,
tidak ada pilihan lain selain Ibu Kota harus bersalin rupa dan karakter
menjadi ”kota ibu” yang ramah dan tulus ikhlas untuk semua anaknya. Tidak ada
pilihan lain selain berharap Anies dan Sandiaga menunjukkan diri sebagai
sosok yang bisa menyembuhkan luka yang menganga, berdarah, dan infeksi di
tengah-tengah masyarakat.
Keduanya harus bekerja keras dan nyata membenahi kota untuk
menyejahterakan rakyatnya dengan program-program yang masuk akal dan ucapan-
ucapan yang terkendali. Hasil kerja nyata yang menciptakan kenyamanan dan
kesejahteraanlah yang mengunci password pikiran orang untuk gagal
mengingat-ingat lagi masa lalu yang ”memalukan” dan ”memilukan” itu.
Berhentilah berkampanye dan
mencari, apalagi mencari- cari kesalahan orang lain. Bekerjalah
sungguh-sungguh. Sebab, jika Anda berdua gagal, sudah pasti Anda akan menjadi
seteru dan bulan-bulanan; bukan hanya bagi yang tidak memilih, tetapi juga bagi yang memilih.
Saat ini musim hujan. Seperti yang
salah satu dari Anda berdua katakan, Allah sedang mengirim banyak air. Tentu
saja benar sebab Allah berkuasa menurunkan hujan atau terik. Yang menjadi
pertanyaan, bagaimana sikap orang yang dikirimi air menerima air dalam jumlah
yang sangat banyak itu? Jika tidak tahu bagaimana menerima dan mengaturnya,
malah sibuk beretorika dan hanya menebar kata-kata indah nan menghibur, ya,
air itu akan mengobrak-abrik dan menenggelamkan.
Anies dan Sandiaga, Anda berdua
tidak boleh tenggelam dan gagal. Loh, kok?
Bukankah kegagalan juga adalah ”hak” setiap orang? Mari simak lagi
larik Remy dalam puisi tersebut: ”…/Bagaimana orang bisa dipercaya
bicara/Jika ia berada dalam kelas yang kalah/Seperti kini Jakarta disesaki
olehnya…/…” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar