Rabu, 21 Maret 2012

Politik Geudeu-Geudeu


Politik Geudeu-Geudeu
Said Zainal Abidin, Ahli Manajemen Pembangunan Daerah (Regional Development Management) dan Kebijakan Publik, Guru Besar STIA LAN. Sekarang Sebagai Penasihat KPK
SUMBER : detikNews, 20 Maret 2012



Ketika saya membaca puja-puji yang disampaikan beberapa politisi kepada Ketua KPK, Abraham Samad, saya teringat pada 'Geudeue-Geudeue', sebuah seni bela diri yang berkembang di kalangan masyarakat Aceh, terutama di Kabupaten Pidie. Seni bela diri ini termasuk jenis olah raga keras, yang biasanya dipertandingkan pada waktu terang bulan atau pada waktu sore hari di sawah sesudah musim panen atau di tanah lapang.

Resikonya cukup besar, dapat mengakibatkan patah tulang, geger otak, bahkan kematian. Pelakunya terdiri dari tiga orang. Dua orang yang 'pok' dan satu orang yang 'tueng'. Yang 'pok' berusaha untuk menangkap lawannya. Mereka mempunyai teknik menangkap secara seruduk yang sangat tangkas. Menangkap kaki lawan lalu mengangkat sambil membawa lari dan membanting atau melemparnya keluar lapangan. Sementara yang tueng mempertahankan diri seperti gaya matador menghadapi banteng di Spanyol. Sambil mengepak-ngepak sayap, melompat dan meninju lawannya dengan sekuat tenaga. Memang geudeu-geudeu termasuk olah raga keras, seperti tinju dan gulat.

Istilah geudeu-geudeu ini sering dipakai sebagai kias terhadap orang yang suka memuji-muji atasan atau mengangkat-angkat orang lain dengan maksud menjatuhkannya. Caranya dengan memuji, kemudian menjorokinya.

Pada awal Periode ke II KPK, setelah kasus Anggodo, pernah didiskusikan kemungkinan akan ada perlawanan yang lebih besar dari para koruptor (coruptors fight banck) terhadap KPK. Pembahasan itu dilakukan untuk mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan adanya tantangan yang lebih besar di masa depan. Beberapa kemungkinan tantangan yang dapat timbul, antara lain adalah: upaya untuk mengkriminalisasi pimpinan/pejabat KPK, delegitimasi lembaga, memperlemah atau mengamputasi wewenang (penindakan), menciptakan atau memprovokasi perpecahan internal, mengadu domba KPK dengan lembaga penegak hukum lain dan dengan pemerintah.

Dengan menganalisis berbagai kemungkinan tantangan itu, kemudian mengidentifikasi berbagai strategi yang mungkin dapat dilakukan dan memperhitungkan kemungkinan adanya resiko yang tidak sama satu sama lain. Meskipun tidak pada tempatnya untuk diuraikan disini, namun yang paling penting untuk diketahui, KPK sudah siap untuk menghadapi tantangan-tantangan itu dan siap berkorban untuk memberantas korupsi.

Upaya kriminalisasi yang dilakukan Anggodo dan teman-temannya itu kemudian beralih menjadi pergelutan 'cicak-buaya'. Rakyat di seluruh pelosok Tanah Air dengan sepenuh hati berdiri di belakang KPK. Hasilnya sudah terbukti. Mereka yang dianiaya selamat sampai kebatas, meskipun ada pihak-pihak tertentu yang masih mencoba-coba untuk memberi kesan negatif kepada mereka sampai sekarang.

Delegitimasi lembaga KPK diperkirakan akan dilakukan dengan menggunakan dua strategi. Strategi pertama, dengan menggunakan istilah KPK sebagai lembaga adhoc. KPK belum tercantum dalam UUD '45. Karena itu, sebelum tercantum dalam UUD '45, KPK harus segera bubar.

Strategi kedua, sementara belum mampu dibubarkan, KPK harus dapat dilemahkan atau diamputasi wewenangnya. Alasan yang dipakai adalah dengan mengembalikan segala wewenang pada tempatnya. Dengan demikian, wewenang pemberantasan korupsi dikembalikan kepada Kejaksaan Agung dan kepolisian.

Padahal kedua lembaga penegak hukum itu mengemban tugas yang sangat banyak dan luas. Karena itu pada awal reformasi, Kejaksaan Agung (Masa Andi Galib dan Ismudjoko) dan Kepolisian (Bimantara dan Dai Bachtiar) bersama-sama dengan Menteri Kehakiman (Muladi), Menteri Keuangan (Sugianto), Menteri Negara Pertanahan (Hasan Basri Durin), Menteri Dalam Negeri (Syarwan Hamid), Sekretaris Negara (Akbar Tanjung), di bawah koordinasi Menko Wasbang Pan, Ir Hartarto, menjadi pelopor pembertukan KPK. Alasan pembentukannya adalah untuk mengkonsentrasikan tugas dan fungsi pemeberantasan korupsi pada satu tangan. Sifatnya persis seperti fungsi koordinasi penanaman modal yang dilakukan oleh BKPM (One stop services = pelayanan satu atap).

Maka itu, kalau ada inisiatif untuk mengembalikan wewenang pemberantasan korupsi kepada lembaga Kepolisian atau Kejaksaan Agung, maka KPK kembali pada keadaan semula, pada titik nol, ketika KPK belum ada. Dengan demikian, pemberantasan korupsi di negeri ini menjadi sejarah masa lampau, sebagai mana pernah terjadi dalam Era Orde Lama dan Orde Baru.

Sebuah cara untuk menangkal upaya para koruptor mendelegitimasi KPK pernah diusulkan oleh Wakil Ketua MPR, sdr Lukman Saifuddin Zuhri, yakni dengan mencantumkan KPK dalam UUD '45. Tapi, saran beliau sampai sekarang belum pernah mendapat perhatian dan publikasi yang lumayan.

Cara lain yang pada waktu itu diperkirakan akan ditempuh para koruptor adalah dengan memprovokasi perpecahan internal. Perbedaan pendapat dalam setiap organisasi flat (tidak hirarkis) yang selama ini dipandang sebagai salah satu resep dinamisasi, akan diisukan sebagai konflik internal. Karena itu, maka Direktorat Pengawasan Internal KPK sangat diintensifkan sejak waktu itu.

Disamping itu juga diperkirakan, para koruptor akan memanfaatkan kesempatan untuk mengadu domba dikalangan pimpinan dengan strategi belah bambu dan politik geudeu-geudeu. Sebagian pimpinan akan diangkat atau dipuji tinggi-tinggi, sebagian yang lain dicaci maki. Berbarengan dengan itu, adu domba dengan lembaga lain akan juga dilakukan para koruptor melalui agen-agennya untuk mengucilkan KPK dikemudian hari. Tujuannya jelas, agar korupsi dinegeri tercinta ini tidak lagi dapat tersentuh.

Namun kita percaya, bila mana kebenaran sudah bersemi, kebathilan pasti akan sirna. Percayalah, rakyat selalu waspada. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar