Menafsir
PK Ahok
Rio Christiawan ; Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
|
KORAN
SINDO, 08 Maret 2018
Belakangan
ini ramai pemberitaan, baik di media cetak maupun media elektronik terkait
upaya hukum luar biasa, yakni Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan mantan
Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama alias Ahok. Sebenarnya tidak ada yang
luar biasa dari upaya hukum tersebut, selain memang sifat PK sebagai upaya
hukum luar biasa. Memahami upaya hukum PK yang dimohonkan Ahok, bisa
dipandang dalam dua tafsir, yakni tafsir hukum dan tafsir politik.
Upaya hukum PK sudah dikenal sejak zaman penjajahan Belanda diatur dalam Reglement of de straf vordering (RVJ) yang pada masa itu merupakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Selanjutnya setelah Indonesia merdeka, PK diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal tersebut menjadi legendaris karena menjadi pintu masuk bagi terungkapnya peradilan sesat "Sengkon-Karta" pada 1974 melalui upaya hukum luar biasa PK. Mahkamah Agung (MA) menerbitkan Peraturan MA Nomor 1 Tahun 1980 tentang Peninjauan Kembali yang selanjutnya dijadikan dasar Bab XVIII Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Peninjauan Kembali dalam KUHAP. Tafsir Hukum Dalam hal pengajuan upaya hukum luar biasa PK ini, tim kuasa hukum dan Basuki T Purnama telah berhitung dengan cermat. Kalkulasi tersebut tampak pada pilihan upaya hukum yang ditempuh, yaitu PK. Jika dipilih upaya hukum biasa, seperti banding dan kasasi, maka secara logika hukum masih berpotensi terjadi ketidakpastian. Artinya hukuman bisa lebih ringan, tetapi bisa juga lebih berat. Jika upaya hukum luar biasa PK yang dipilih, maka dalam logika hukum sudah pasti tidak ada ruginya untuk terdakwa. Pasal 266 ayat (3) KUHAP menyatakan bahwa "pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula" . Lembaga PK memang dibentuk mengakomodasi hak terpidana untuk membela kepentingannya agar terbebas dari peradilan sesat. Dalam konteks PK yang diajukan Basuki Tjahaja Purnama, artinya dengan upaya hukum PK tersebut sudah pasti hukumannya tidak akan bertambah meskipun PK ditolak, bahkan masa hukuman yang telah dijalani tetap akan diperhitungkan. Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman juncto Pasal 67 Undang-Undang Mahkamah Agung menyatakan bahwa PK tidak menangguhkan eksekusi hukuman. Artinya masa hukuman Basuki T Purnama akan tetap dijalani sebelum ada putusan PK yang mengabulkan. Jika permohonan PK dikabulkan, maka hukuman Basuki T Purnama bisa diubah lebih ringan atau dibebaskan. Dalam hal terpidana dibebaskan dalam upaya hukum luar biasa PK, maka diberikan rehabilitasi nama baik yang tentu akan berguna bagi karier politik Basuki T Purnama. Pertanyaannya, jika permohonan PK tersebut ditolak, tetap saja upaya hukum masih dimungkinkan melalui permohonan PK. Karena Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang menyatakan bahwa PK hanya boleh diajukan sekali saja. Artinya, pascaputusan MK tersebut, PK bisa diajukan lebih dari satu kali. Pada praktiknya, Mahkamah Agung (MA) memberikan limitasi terhadap upaya PK yang dimohonkan lebih dari satu kali melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 juncto SEMA Nomor 10 Tahun 2009. Meskipun masih dimungkinkan jika Basuki T Purnama melakukan PK kedua, tampaknya bila MA konsisten, maka permohonan PK kedua tersebut akan terbentur kedua SEMA itu. Walau secara teori hukum bahwa putusan MK mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada SEMA. Meskipun dimungkinkan upaya hukum PK lebih dari satu kali, tapi tampaknya Basuki T Purnama harus berhati-hati menggunakan kesempatan upaya hukum PK yang pertama. Sebab, jika dilakukan upaya hukum PK berikutnya akan banyak terbentur persoalan prosedur di MA. Selain itu, akan muncul pertanyaan terkait kredibilitas novum (bukti baru) atau kondisi baru yang bisa membuat terang suatu tindak pidana dan akan menguatkan spekulasi sebagian kelompok masyarakat berasumsi bahwa upaya hukum PK itu untuk kepentingan politik semata. Mencermati substansi alasan mengajukan upaya hukum PK, Basuki T Purnama berdasarkan pada terbitnya putusan pengadilan negeri Bandung dalam kasus Buniyani. Secara prosedur upaya hukum PK ini memenuhi tenggat waktu 180 hari sejak dibacakan putusan Pengadilan Negeri Bandung dalam kasus Buniyani sebagaimana dipersyaratkan Pasal 67 Undang-Undang Mahkamah Agung. Permasalahannya adalah putusan Pengadilan Negeri Bandung dalam kasus Buniyani yang dipergunakan sebagai novum pada kasus Basuki T Purnama belum berkekuatan hukum tetap. Memang tidak ada aturan melarang menggunakan putusan pengadilan yang belum berkekuatan hukum tetap sebagai novum untuk mengajukan PK, tetapi logika hukumnya adalah putusan pengadilan belum berkekuatan hukum tetap masih bisa berubah karena masih dilakukan upaya hukum. Dengan begitu, asumsi putusan Pengadilan Negeri Bandung dalam kasus Buniyani merupakan suatu kejadian yang pasti dapat memberi bukti baru pada tindak pidana lainnya masih perlu dikaji lebih lanjut.
Tafsir
Politik
Sebagian masyarakat menduga dan mengaitkan upaya hukum PK Basuki T Purnama adalah untuk kepentingan politik sehingga wajar mengingat kontestasi politik yang begitu hebat di tahun 2018 merupakan tahun politik. Pilkada Serentak 2018 dan puncaknya adalah Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2019 yang akan datang. Nama Ahok masih disebut dalam pooling maupun hasil survei bursa calon wakil presiden. Selain itu, juga sering santer disebut untuk jabatan lainnya, meskipun elektabilitasnya tidak sebesar beberapa tahun lalu. Upaya hukum PK ini boleh jadi dalam nalar politik dipergunakan sebagai cara merehabilitasi nama baik Basuki T Purnama sehingga dapat kembali berkarier di panggung politik. Indikasi atas tafsir politik ini adalah momentum politik akan segera berlalu sehingga dalam kalkulasi politik prinsip now or never inilah dijadikan pertimbangan untuk mengajukan upaya hukum PK pada tahun politik ini. Pada akhirnya memang akan terjadi dua tafsir atas upaya hukum luar biasa PK yang diajukan, yakni tafsir hukum maupun tafsir politik. Satu hal perlu diingat bahwa PK juga merupakan hak terpidana untuk mendapatkan keadilan. Oleh sebab itu, kita sebagai negara hukum wajib menghormati proses hukum. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar