LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
Selamatkan
Rakyat Indonesia dari Kebangkrutan
Sumber : KOMPAS, 14 Desember
2011
Reni Aryanti (31) kehilangan ayahnya,
Robinson, yang meninggal akibat diabetes dan gagal ginjal pada 2001. Buruh perusahaan
itu mengisahkan, setelah ayahnya berhenti bekerja sebagai sopir di Serang,
Banten, karena sakit, Reni dan keluarga habis-habisan membiayai pengobatan
ayahnya. Bahkan, keluarga Reni membayar biaya rawat inap dengan televisi 20
inci, barang berharga yang tersisa.
Nasib serupa dialami Norma (40), warga Medan.
Penderita tumor payudara itu menuturkan, keluarganya terpaksa pinjam uang
sana-sini dan menggadaikan barang untuk membiayai operasinya. Keluarganya
berupaya mengurus Jaminan Kesehatan Masyarakat, tetapi ditolak.
Reni dan Norma merupakan bagian dari jutaan
penduduk Indonesia kelas menengah bawah. Mereka berpendapatan pas-pasan, hanya
cukup untuk hidup sehari-hari. Begitu ada anggota keluarga yang sakit cukup
berat, sendi ekonomi rumah tangga mereka langsung hancur.
Guru besar ekonomi kesehatan dari Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Prof Hasbullah Thabrany menyatakan,
banyak rumah tangga bangkrut ketika sakit. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
memperkirakan, 150 juta orang di dunia jatuh miskin ketika sakit. Jutaan di
antaranya di Indonesia.
Karena itu, mendesak kehadiran program
jaminan sosial untuk melindungi rakyat dari kebangkrutan rumah tangga akibat
sakit berat, kematian, atau kehilangan pekerjaan.
Jika di perkotaan banyak orang tak mampu
membayar biaya perawatan, di pelosok negeri ini fasilitas pelayanan dan tenaga
kesehatan sering tak tersedia.
Sebagai gambaran, dari liputan Kompas,
sekitar 30 keluarga sejak dipindah pemerintah untuk tinggal di pinggir jalan
lintas Buru, Desa Modanmohai, Kecamatan Waeapo, Pulau Buru, Maluku, delapan
tahun lalu, mengaku belum pernah melihat petugas kesehatan datang.
”Kalau yang sakit masih bisa jalan, ya, jalan
12 jam ke puskesmas terdekat di Waeapo. Namun, kalau tidak bisa dan tak ada
kendaraan melintas, warga pasrah saat yang sakit meninggal,” kata Kepala Desa
Modanmohai Haris Latubual, Maret lalu.
Sistem Kesehatan
Ketua Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Asuransi
Kesehatan Universitas Gadjah Mada Prof Ali Ghufron Mukti berpendapat,
pemerintah perlu membangun sistem kesehatan, termasuk asuransi kesehatan, untuk
menjamin akses pelayanan kesehatan bagi seluruh penduduk. ”Pemerintah tak cukup
membayar rumah sakit seperti pada Jamkesmas. Namun, juga harus membangun sistem
kesehatan mulai dari operator obat, tenaga kesehatan, fasilitas kesehatan, dan
sistem rujukan,” ungkapnya.
Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan
Kementerian Kesehatan Usman Sumantri mengakui, program Jamkesmas baru mencakup
60 persen penduduk miskin. Fasilitas kesehatan di rumah sakit daerah dan tenaga
dokter yang dibutuhkan untuk melayani 238 juta penduduk Indonesia juga masih
sangat kurang.
Terkait jaminan kesehatan, menurut Ali
Ghufron, yang ideal adalah berbasis solidaritas, yaitu ada gotong royong di antara
yang kaya, menengah, dan miskin. Penduduk yang mampu membayar iuran sendiri,
sedangkan iuran penduduk miskin dibayar pemerintah. Dengan demikian, peserta
bisa mendapatkan seluruh pengobatan yang dibutuhkan. Kalaupun harus membayar,
tidak terlalu memberatkan.
Sulastomo, Ketua Tim SJSN 2001-2004,
menyatakan, model pembiayaan ini memotivasi nilai-nilai berupa rasa
kebersamaan, kepedulian, dan solidaritas sosial, sesuai falsafah Pancasila.
Sebenarnya sejak 2004 Indonesia memiliki
Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN). Namun, UU itu tak
kunjung diimplementasikan. Sampai tahun 2010, dari 10 peraturan pemerintah dan
sembilan peraturan presiden untuk melaksanakan UU SJSN, hanya satu perpres yang
diterbitkan, yaitu Perpres tentang Tata Kerja dan Organisasi Dewan Jaminan
Sosial Nasional. Karena itu, tahun 2010 DPR berinisiatif mengajukan RUU Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS).
Pembahasan RUU BPJS sampai tahun ini diwarnai
tarik-menarik antara DPR dan pemerintah. Dari soal kekuatan UU hanya menetapkan
atau mengatur, sampai bentuk badan penyelenggaranya apakah badan wali amanah di
bawah presiden atau badan usaha milik negara khusus. Lewat kompromi, akhirnya
28 Oktober lalu RUU disetujui dan 25 November UU BPJS ditandatangani presiden.
Namun, jalan untuk penerapan program jaminan
sosial masih panjang. Pemerintah dan DPR sepakat, BPJS diterapkan dalam dua
tahap. BPJS Kesehatan dilaksanakan 1 Januari 2014. Adapun BPJS Ketenagakerjaan,
yang mengurus jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua dan
pensiun, selambatnya 1 Juli 2015.
Ini perlu komitmen kuat karena banyak
pekerjaan rumah harus diselesaikan, antara lain menyusun pelbagai peraturan,
melakukan sosialisasi ke masyarakat, dan mengawal transformasi BUMN jadi badan
publik.
Bagi bidang kesehatan, pelaksanaan UU itu
setidaknya menyelesaikan dua masalah. Menjamin akses rakyat terhadap pelayanan
kesehatan serta pemerataan tenaga dan fasilitas kesehatan. Tenaga kesehatan
terdorong menyebar karena mendapat imbalan layak di mana pun bekerja. Adapun
dana yang terkumpul bisa menjadi dana pinjaman untuk meningkatkan sarana dan
melengkapi alat kesehatan rumah sakit mitra BPJS.
Dengan demikian, semua rumah
sakit bisa memiliki sarana yang cukup lengkap dan layak. ● (Atika Walujani
Moedjiono)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar