Rabu, 14 Desember 2011

Candu Subsidi Bahan Bakar Minyak


Candu Subsidi Bahan Bakar Minyak
Tulus Abadi, ANGGOTA PENGURUS HARIAN YLKI DAN ANGGOTA DEWAN TRANSPORTASI KOTA
Sumber : KORAN TEMPO, 14 Desember 2011



Ternyata bukan hanya ganja, mariyuana, rokok, atau bahkan kopi yang membuat seseorang kecanduan. Sebuah kebijakan yang dilanggengkan selama puluhan tahun pun mengakibatkan masyarakat “nyandu”terhadap kebijakan tersebut. Subsidi bahan bakar minyak adalah contoh konkret untuk menggambarkan fenomena tersebut. Selama puluhan tahun, sejak rezim Soeharto, subsidi bahan bakar minyak mendarah-daging di sebagian kelompok masyarakat. Seolah, jika subsidi bahan bakar minyak dicabut, perekonomiannya bangkrut, mati suri. Lalu, bagaimana sebenarnya potret kebijakan subsidi bahan bakar minyak itu?

Di dunia ini, hanya beberapa gelintir negara yang masih menggelontorkan subsidi via bahan bakar minyak, yaitu Arab Saudi, Iran,Venezuela, plus Indonesia. Bedanya, ketiga negara yang disebut pertama masih surplus minyak, bahkan untuk diekspor. Sedangkan Indonesia? Alih-alih untuk ekspor, untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri saja tak mampu. Secara nasional, kebutuhan bahan bakar minyak mencapai 1,3 juta barel per hari. Tetapi produksi minyak nasional hanya mampu memasok sekitar 900 ribu barel. Untuk menambal kekurangan itu, ya, impor.

Benar, Indonesia telah menjadi nett importer minyak untuk kebutuhan dalam negeri. Tetapi aneh bin ajaib, kendati mengimpor, pemerintah justru menggelontorkan subsidinya makin kencang. Pada 2011, pemerintah menggelontorkan subsidi bahan bakar minyak sebesar Rp 126 triliun. Belum lagi subsidi sektor ketenagalistrikan Rp 65 triliun. Bandingkan dengan anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk sektor pendidikan (Rp 92 triliun), sektor kesehatan (Rp 14 triliun), dan jaminan sosial yang hanya Rp 9 triliun. Jadi, alokasi subsidi bahan bakar minyak tiga kali lipat dari angka yang dialokasikan untuk sektor kesehatan, pendidikan, dan jaminan sosial! Padahal ketiga sektor itu merupakan kebutuhan dasar masyarakat Indonesia.

Penikmat Subsidi

Tak bisa dielakkan, secara dominan yang menyeruput gurihnya subsidi bahan bakar minyak adalah kelas menengah perkotaan. Khususnya pemilik kendaraan bermotor pribadi, baik roda empat maupun roda dua. Bahkan, yang lebih memprihatinkan, sebuah studi menunjukkan lebih dari 50 persen golongan terkaya di Indonesia menikmati hampir 90 persen subsidi bahan bakar minyak.

Sementara itu, dan ini sangat ironis, kelompok masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah justru hanya menikmati sekitar 10 persen. Hasil studi ini menjadi sangat meyakinkan jika dikaitkan dengan data dari Direktur Jenderal Minyak dan Gas (2010) bahwa tidak kurang dari 85-90 persen subsidi bahan bakar minyak dikonsumsi oleh sektor transportasi, terutama sektor transportasi darat; dengan perincian mobil pribadi 53 persen dan sepeda motor 40 persen. Sedangkan angkutan barang hanya mendapat 4 persen, dan angkutan umum bahkan hanya 3 persen.

Dengan ilustrasi itu, sektor yang memetik keuntungan besar dari subsidi bahan bakar minyak adalah industri otomotif. Mereka, industri otomotif, bertempik-sorak. Terbukti, pada 2012 Gabungan Industri Otomotif Indonesia (Gaikondo) menargetkan mobil baru yang terjual sebanyak 800 ribu unit. Dan 70 persennya akan terjual di area Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Relevan dengan data itu, menurut data Polda Metro Jaya, di Jakarta setiap hari pihaknya mengeluarkan 1.500 STNK untuk sepeda motor baru, plus 300 STNK untuk mobil baru.

Selain sangat tidak tepat sasaran, subsidi bahan bakar menimbulkan dampak ikutan yang amat parah; misalnya, pertama, dalam konteks perkotaan, akibat langsung dari fenomena ini adalah kemacetan. Bahkan, menurut studi USAID, kerugian sosial dan ekonomi akibat kemacetan di Jakarta minimal mencapai Rp 57 triliun (2008).

Kedua, relevan dengan hal itu, pemerintah menjadi malas membangun sarana transportasi massal cepat di kota-kota besar. Kalaupun dibangun, belum tentu angkutan massal cepat itu diminati oleh konsumen. Untuk apa menggunakan angkutan umum massal, toh biaya operasi kendaraan pribadi masih sangat murah, karena bahan bakarnya masih disubsidi?

Ketiga, pemerintah pun menjadi malas untuk mengembangkan energi baru dan terbarukan. Padahal negeri Khatulistiwa ini sangat kaya akan sumber-sumber energi baru dan terbarukan, misalnya panas bumi. Bahkan 40 persen energi panas bumi (geothermal) dunia disimpan di perut bumi Indonesia. Itu semua tak pernah dikembangkan, karena pemerintah dikerangkeng oleh subsidi bahan bakar minyak.

Kesimpulan, Saran

Pemerintah, bersama DPR, telah menetapkan bahwa pada 2012 tidak akan ada kenaikan harga bahan bakar minyak. Artinya, alokasi anggaran subsidi bahan bakar minyak makin tinggi. Jelas, ini suatu pelanggengan kebijakan yang sangat tidak tepat, bahkan sesat pikir. Aneh dan ironis, justru pemerintah berpromosi via iklan di berbagai media, plus di area SPBU, bahwa “bahan bakar minyak bersubsidi hanya untuk golongan yang tidak mampu”. Substansi iklan itu benar. Masalahnya, mengapa  pemerintah hanya berani mengimbau, padahal secara normatif-konstitusional pemerintah mempunyai instrumen yang lebih kuat, yaitu pricing policy. Lagi pula, kalau sudah tahu bahwa pengguna bahan bakar bersubsidi bukan dari golongan yang tidak mampu, mengapa pemerintah hanya berpangku tangan?

Penggelontoran subsidi via bahan bakar, dan penikmatnya adalah kendaraan pribadi, merupakan kebijakan sesat pikir. Peruntukan subsidi seharusnya dialokasikan untuk komoditas berjangka panjang: subsidi produk pertanian, pangan, pendidikan, dan kesehatan. Jadi, Presiden Yudhoyono (bahkan DPR) seharusnya tidak ciut nyali untuk mengurangi subsidi bahan bakar minyak dengan cara menaikkan harga. Bukan malah menjadikan subsidi bahan bakar minyak sebagai komoditas politik jangka pendek. Bebaskan masyarakat dari penyakit “racun candu” subsidi bahan bakar minyak!  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar