Humanisme
untuk Papua
Budi Susilo Soepandji, GUBERNUR
LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL
Sumber : KORAN TEMPO, 14 Desember
2011
Papua
ibarat satu koin mata uang. Di satu sisi, tanah Papua kaya akan sumber kekayaan
alam.Tapi, di sisi lainnya, Papua ternyata masih miskin sarana-prasarana dan
infrastruktur hasil pembangunan. Kesejahteraan masih sebatas impian dan angan-angan
masyarakat Papua. Besarnya dana otonomi khusus yang telah dikucurkan pemerintah
ternyata tidak disertai dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua ke
arah yang lebih baik. Muaranya, otonomi khusus dipandang belum efektif
mewujudkan kesejahteraan masyarakat Papua.
Rasa
frustrasi karena kekecewaan dan ketidakadilan yang dirasakan masyarakat Papua
berujung pada keinginan ekstrem sebagian putra-putri Papua untuk memisahkan diri
dari NKRI. Ironis, memang. Papua, yang eksotik dan kaya akan sumber daya alam,
ternyata rendah tingkat kesejahteraan masyarakatnya.
Lantas,
di mana letak permasalahannya? Mengapa terasa begitu sulit mewujudkan kedamaian
dan kesejahteraan di tanah Papua? Apakah kebijakan penyelenggara negara yang
belum mampu memenuhi harapan masyarakat Papua? Atau sebab lain yang bersumber dari
lingkungan internal masyarakat Papua sendiri? Atau karena dorongan faktor kepentingan
eksternal yang menginginkan pemisahan Papua dari NKRI? Bagaimana bangsa ini
harus bersikap untuk mendapatkan solusi cerdas mewujudkan kesejahteraan dan
kedamaian di Papua?
Human Security dan Humanisme
Tanah
Papua memang secara geografis jauh dari pusat pemerintahan, tapi proses pembangunan
di tanah Papua harus berjalan serasi dan seirama dengan pembangunan wilayah
lain di Indonesia. Masyarakat Papua, sebagai warga negara, memiliki hak yang
sama untuk menikmati pembangunan yang berkeadilan di wilayahnya. UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 jelas mengamanatkan kewajiban penyelenggara negara
untuk memenuhi hak-hak konstitusi warga negaranya.
Terkait
dengan hal tersebut, Rudolfo Severindo, mantan Sekjen ASEAN, berpendapat bahwa
masalah hak asasi manusia selalu dihadapkan pada dua dilema besar, yaitu
keseimbangan hak antara sipil dan politik di satu sisi; serta keseimbangan hak
ekonomi dan sosial di sisi lainnya. UUD 1945 jelas mencantumkan bahwa hak sipil
dan politik warga negara dijamin oleh negara. Demikian pula hak sosial dan ekonomi.
Meski
demikian, dalam pelaksanaannya negara memiliki keterbatasan untuk melayani dan
memenuhi kebutuhan setiap warga negaranya. Hal yang paling utama bagi negara
bukan terletak pada dicukupinya segala keinginan rakyat oleh negara, melainkan
bagaimana negara memberikan jaminan dan peluang sebesar-besarnya bagi rakyatnya
untuk memperoleh hak-hak mereka. Dengan realitas seperti itu, terpenuhinya
hak–hak konstitusi warga negara akan berpulang kembali kepada bagaimana peran
aktif masyarakat itu sendiri untuk memanfaatkan jaminan dan peluang yang diberikan
oleh
negara.
Dalam
konteks Papua, kesejahteraan masyarakat Papua merupakan tanggung jawab semua
pihak yang berkepentingan, utamanya masyarakat Papua itu sendiri. Keinginan
memisahkan diri dari NKRI dengan alasan peningkatan kesejahteraan bukan merupakan
pilihan cerdas. Bagi negara, tantangan dalam menyelesaikan masalah Papua bukan
hanya bagaimana menangani kekuatan bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM),
tetapi bagaimana memenangi hati dan pikiran rakyat Papua dengan memberikan
jaminan terhadap keamanan individual dan keamanan politik. Untuk mencapai
tujuan itu, tidak ada pilihan selain memberdayakan masyarakat Papua dengan
pendekatan humanistik yang menghormati harkat dan martabat masyarakat Papua
sebagaimana mestinya. Dari sinilah alasan pentingnya pengarusutamaan
kesejahteraan dan humanisme dalam menyelesaikan masalah Papua.
Empat Fondasi Utama
Setidaknya
terdapat empat fondasi utama yang perlu dibangun secara paralel dengan upaya
peningkatan kesejahteraan, yaitu demokrasi lokal, penegakan hukum, keadilan
ekonomi, dan penghormatan akan harkat dan martabat masyarakat Papua. Empat
fondasi utama tersebut harus diupayakan oleh semua pihak melalui pendekatan
yang seimbang antara soft power (humanisme) dan hard power.
Pendekatan hard power, dalam bentuk penegakan hukum dan keamanan, masih
dibutuhkan untuk memberikan jaminan terhadap terpenuhinya hak-hak konstitusi masyarakat
Papua terkait dengan keamanan individual (security from physical violence
and threat), dan keamanan politik
(protection
of basic human rights and freedom).
Apabila
pada 2005 bangsa ini mampu menyelesaikan masalah Aceh, yang juga tidak kalah
beratnya, secara damai, penyelesaian serupa terhadap persoalan Papua bukan
suatu hal yang mustahil. Komunikasi dan dialog yang konstruktif yang melibatkan
pemerintah (pusat dan daerah) dan unsur–unsur masyarakat Papua harus dibangun
sebagaimana preseden perdamaian di Aceh. Dialog harus berangkat dari kesamaan
tujuan yang mendasar, kesejahteraan masyarakat Papua. Perbedaanperbedaan pandangan
harus dapat dikelola dari sudut pandang kesamaan derajat dan kesetaraan sebagai
makhluk ciptaan Tuhan.
Pendekatan
dan perspektif humanisme tidak mengenal adanya perbedaan fisik, gender, budaya,
dan ras sebagai manusia. Humanisme hanya mengenal harkat dan martabat manusia
sebagai inti humanisme. Karena itu, dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat
Papua, semua pihak harus jujur kepada diri sendiri dan mengesampingkan kepentingan
serta agenda politik individu maupun kelompok mana pun yang mengedepankan
perbedaan.
Dalam
perspektif humanisme pula, bukan suatu kemustahilan untuk hidup berdampingan dengan
berbagai perbedaan di dalamnya. Dari sudut pandang agama pun, kita tidak
mengenal pemisahan-pemisahan karena perbedaan ragawi. Melalui humanisme, Afrika
Selatan dapat bersatu dan bebas dari belenggu apartheid. Melalui humanisme pula
seharusnya bangsa Indonesia dapat melakukan dan berbuat hal yang sama untuk
masyarakat Papua. Bersama kita bisa...!
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar