Kemelut
Euro, China, dan Kita
Syamsul
Hadi,
PENGAJAR EKONOMI POLITIK
INTERNASIONAL DI FISIP-UI
SUMBER : KOMPAS, 21 Maret 2012
Beberapa waktu lalu, Komisi Eropa (European Union Commission) mengumumkan
prediksinya bahwa tahun ini zona euro
akan kembali jatuh dalam resesi akibat kontraksi ekonomi (pertumbuhan negatif)
Yunani, Italia, dan Spanyol. Ini merupakan revisi dari prediksi lembaga ini
sebelumnya yang menyebutkan bahwa resesi yang lebih dalam di Eropa bisa
dihindari.
Yunani diprediksi mengalami kontraksi ekonomi
4,3 persen, sementara Italia dan Spanyol masing-masing akan mengalami kontraksi
1 persen. Zona euro secara
keseluruhan akan mengalami kontraksi sebesar 0,3 persen. Ini menggambarkan,
pengucuran dana talangan dan aneka kebijakan lain, seperti pemotongan anggaran,
penjualan aset negara, dan reformasi pajak gagal mengangkat zona euro untuk
cepat bangkit dari kejatuhan.
Parahnya kondisi ekonomi kekuatan ketiga
terbesar di Uni Eropa, Italia, dengan utang 1,5 triliun dollar AS, yang memaksa
PM Silvio Berlusconi mundur akhir tahun lalu, menambah panjang cerita kemelut
Eropa. Perkembangan-perkembangan aktual tersebut seakan mengonfirmasi ramalan
tentang kebangkrutan yang membayangi zona euro sebagaimana dilontarkan Paul
Krugman, September tahun silam. PM Inggris David Cameron mensinyalir bahwa
saat-saat ini merupakan masa-masa yang menentukan (the moment of truth) bagi masa depan Uni Eropa sebagai entitas
regional.
Kemelut Euro dan China
Tak lama setelah euro sebagai mata uang
tunggal Eropa resmi diluncurkan, euforia tentang dahsyatnya kekuatan Eropa
begitu membahana ke seluruh dunia. Paul Khanna (2004) menyebut Uni Eropa
”adidaya metroseksual” yang akan segera melewati AS sebagai adidaya global abad
XXI. Ungkapan kekaguman senada dapat ditemukan dalam buku The European Dream (John Rifkin, 2004), The United States of Europe (TR Reid, 2004), dan Why Europe Will Run the 21st Century (Mark
Leonard, 2005).
Kini, ketika mendung hitam membayangi zona
euro, analisis bernada sebaliknya bermunculan. Dalam ”The Myth of Europe” (Foreign Policy, January/February 2012), Gareth
Harding menyatakan, unifikasi Eropa yang hanya berlangsung dalam bentuk
integrasi moneter tanpa integrasi fiskal berakibat pada basis koordinasi
kebijakan publik yang centang-perenang.
Negara anggota yang fundamen ekonominya rapuh
lalu memanfaatkan citra ”supremasi euro” untuk mengakumulasi pinjaman dengan
bunga rendah guna merajut sistem kesejahteraan sosial nasional yang tak
berkesinambungan. Saat krisis finansial global yang terpicu kejatuhan Lehman
Brothers terjadi, negara-negara Eropa yang menumpuk utang untuk dialokasikan ke
sektor publik, khususnya untuk kesejahteraan kaum pekerja, mulai dilanda
kesulitan melakukan pembayaran.
Ketika Kanselir Jerman Angela Merkel akhirnya
berkunjung ke China guna meminta China membantu Eropa mengatasi krisis dengan
cara meningkatkan investasi di Uni Eropa, banyak pihak mulai tersadar, keadaan
telah berubah! Uni Eropa yang sempat digadang-gadang sebagai ”adidaya abad 21”
kini harus rendah hati memohon bantuan ke China. Begitu hebatkah China?
Dari ”Underdog” ke Adidaya
Berbeda dengan kemunculan Uni Eropa yang
dipenuhi dengan citra flamboyan dan pujian setinggi langit, masa-masa awal
kebangkitan ekonomi China justru banyak menimbulkan sinisme. Dalam pengantar
buku Merangkul China (2009), almarhum Dr I Wibowo (ahli masalah China terbaik
yang pernah dimiliki negeri ini) menggambarkan bagaimana China ”direndahkan”
ketika tidak mengikuti tren liberalisasi ekonomi dan keterbukaan politik yang
sedang mewabah di Soviet dan Eropa Timur sejak akhir 1980-an.
Kekalahan kelompok Zhao
Ziyang yang menginginkan ”liberalisasi total” atas kelompok Li Peng yang lebih
konservatif (gradualis) dalam pertarungan politik yang memuncak dalam
”Peristiwa Tiananmen” (1989), lebih memurukkan citra China di tengah masyarakat
internasional yang tengah terlanda demam Glasnost
dan Peresteroika yang diembuskan
Mikhail Gorbachev kala itu.
Citra China sebagai kekuatan ekonomi baru
sempat muncul di pengujung 1990-an ketika China menjadi satu-satunya negara di
Asia Timur yang selamat dari krisis Asia dengan pertumbuhan ekonomi dua digit
yang konstan. Namun, tak lama setelah itu beredarlah buku Gordon Chang, The Coming Collapse of China (2001),
yang memaparkan sederet masalah besar yang mengadang China yang akan
mengantarkannya pada keruntuhan. Masalah tersebut, di antaranya, represi
terhadap Sekte Falun Gong, masalah Tibet dan Xinjiang, dan kemarahan rakyat
terhadap korupsi.
Ketika krisis finansial global melanda dunia
tahun 2008, China kembali tampil sebagai kekuatan ekonomi yang relatif tidak
tergoyahkan saat ekonomi negara-negara tetangganya, seperti Jepang dan Korea
Selatan, jatuh terjerembap. China masih mencatatkan pertumbuhan ekonomi 10,5
persen tahun 2008 dan 8,7 persen tahun 2009, pada saat ekonomi AS dan Eropa
terlanda resesi terburuk sejak 1930-an.
Prestasi ekonomi China ini pun tidak membuat
semua pihak percaya bahwa kebangkitan China memang riil. Artikel panjang Rana
Foroohar, ”Everything You Know about
China is Wrong” (New York, 26 Oktober 2009), menyebutkan sejumlah ”mitos
yang harus diluruskan” tentang keadaan ekonomi dan politik China. Ia, antara
lain, meragukan solidnya kepemimpinan partai komunis, keberhasilan manajemen
ekonomi, dan berkembangnya ekonomi berorientasi ekspor yang selama ini
disebut-sebut sebagai kunci sukses China.
Antara Fakta dan Citra
Kembali ke kunjungan Angela Merkel ke China
yang sempat memunculkan ungkapan ironis ”si miskin membantu si kaya”. Dengan
pengangguran di Spanyol dan Yunani masing-masing mencapai 45,7 persen dan 38,5
persen, ditambah jumlah utang yang membeludak di banyak negara Uni Eropa, tak
berlebihan sekiranya dikatakan Uni Eropa-lah yang kini lebih pantas disebut ”si
miskin”.
Sebaliknya, dengan cadangan devisa lebih dari
3,2 triliun dollar AS (30 kali cadangan devisa kita), China tentu sudah pantas
disebut ”si kaya”. Apalagi, bukan hanya Eropa yang secara de facto butuh bantuan China, melainkan juga AS yang sejumlah besar
surat berharganya dibeli China.
Rupanya hanya perlu waktu satu dasawarsa
untuk membalik ”citra dahsyat” Uni Eropa pada masa awal peluncuran euro menjadi
”citra suram” yang kini lekat dengan ”Benua Biru” itu. Sebaliknya, citra
negatif yang kerap dilekatkan kepada China tidak lantas menghentikan laju
keajaiban ekonomi ”Sang Naga”, yang belakangan banyak digadang-gadang sebagai
lokomotif ekonomi dunia abad ke-21.
Elite politik China pasti tidak pernah lupa
pesan Deng Xioping, ”Jangan menonjolkan
diri, tetapi pastikan Anda melakukan sesuatu yang besar.” Tidakkah pesan
Deng ini layak disimak pemimpin Indonesia agar lebih mengutamakan kerja keras
ketimbang pencitraan? Bukankah pengalaman Uni Eropa menunjukkan bahwa citra
yang hebat bisa menjadi awal bumerang yang menyakitkan? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar