PAN
dan Kelanjutan Reformasi
Bahtiar Effendy, GURU BESAR ILMU POLITIK UIN JAKARTA
Sumber : SINDO, 9 Desember 2011
Ketika reformasi digulirkan pada
1998, yang berujung dengan berhentinya Presiden Soeharto dari kekuasaan yang
digenggamnya selama tiga dasawarsa lebih, banyak orang berharap bahwa kehidupan
sosial, ekonomi, dan politik Indonesia akan berubah.
Harapan itu,untuk sebagian, telah terpenuhi. Sampai tingkat tertentu Indonesia telah berubah. Seandainya tidak bisa disebut berubah, sekurang-kurangnya selama 13 tahun terakhir situasi negeri ini sudah berbeda. Relaksasi dan liberalisasi politik merupakan bagian terpenting dari situasi yang berbeda atau berubah itu.
Jika pada masa pemerintahan Orde Baru kehidupan politik boleh dikatakan bersifat berpusat pada negara (state-centered), sejak Reformasi 1998 hal itu berganti—tertransformasikan menjadi berpusat pada rakyat (society-centered).Ini dalam artian bahwa kehendak rakyat untuk berhimpun di dalam lembaga atau kekuatan politik tak lagi dihalang-halangi.
Begitu juga halnya dengan soal keinginan untuk mengekspresikan aspirasi dan kepentingan. Demikian liberalnya kehidupan politik itu, khususnya pada masa-masa awal reformasi, sampai-sampai muncul partai politik dalam jumlah yang sangat banyak. Enam bulan setelah Soeharto mundur, tercatat ada 181 partai politik. Beberapa tahun kemudian, sebagaimana terdaftar pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, jumlah itu bertambah mencapai angka 200-an.
Demokratisasi politik menjadi semakin kokoh ketika pemilihan umum dilakukan secara langsung,bebas,dan rahasia— dalam pengertian yang sebenarnya.Dalam skala masif rakyat tak lagi merasa takut dan terintimidasi. Melengkapi itu semua,pemilihan presiden, gubernur, bupati/walikota akhirnya juga dilakukan secara langsung.
Sayangnya prosedur-prosedur kehidupan kenegaraan yang demokratis dan terbuka itu belum sepenuhnya membuahkan sesuatu yang menjadi makna atau saripati dari pemerintahan. Inti dari didirikannya sebuah negara adalah untuk menjaga keamanan warga dan menyejahterakan kehidupan mereka.
Hakikat dari digulirkannya reformasi pada 1998 adalah untuk mengubah praktik-praktik ekonomi politik yang menghalangi percepatan pencapaian dua tujuan ganda tersebut. Dalam kerangka itu, dapat dipahami jika masih muncul suara-suara yang mengingatkan kita untuk kembali kepada apa yang menjadi api dari Reformasi 1998.
Kata-kata yang sering didengar bahwa reformasi telah “dibajak”,“diselewengkan”,“ gagal”,dan sebagainya pada dasarnya merupakan ekspresi bahwa memang masih banyak hal yang belum bisa dicapai.
Posisi PAN
Partai Amanat Nasional (PAN) merupakan kekuatan terdepan di dalam menggelorakan Reformasi 1998. Setidaknya, melalui tokoh-tokohnya, para pendiri kekuatan politik ini, reformasi berhasil menuntaskan kesediaan Presiden Soeharto untuk mundur.Tidak ada tokoh yang paling memberi bobot gerakan ketika itu kecuali Amien Rais yang kemudian memimpin PAN.
Dalam konteks itu, yaitu konteks kepioniran pengguliran reformasi,adalah wajar jika masyarakat menuntut PAN untuk bertanggung jawab atas belum terwujudnya reformasi yang bermakna.Memang,PAN bisa menepis tuntutan itu dengan mengatakan bahwa kehidupan pascareformasi tidak secara dominan diarahkan dan dikendalikan oleh dirinya.
Dengan kata lain, bukan PAN yang mendominasi jagat elektoral Indonesia. Tidak seperti yang diharapkan banyak pengamat, pada Pemilu 1999 PAN memperoleh 7,4%. Perolehan sebesar itu menempatkan PAN pada posisi tengah kekuatan elektoral politik di Tanah Air—bersamasama dengan PKB dan PPP.
Kenyataan ini tidak hanya mengejutkan banyak pihak, tetapi juga pimpinan PAN sendiri. Meski demikian, posisi tengah tersebut dapat dimanfaatkan dengan sangat baik oleh PAN. Melalui kepemimpinan Amien Rais, yang juga ketua MPR, PAN tetap mempertahankan simbol kepioniran reformatif—termasuk dalam mengoreksi kepemimpinan eksekutif di bawah Presiden Abdurrahman Wahid.
Akan tetapi, kinerja PAN yang cukup baik di parlemen itu—dengan Hatta Rajasa,AM Fatwa, Patrialis Akbar, Afni Achmad, dan lain-lain sebagai penggeraknya—tidak berpengaruh positif bagi kenaikan perolehan suara partai. Pada Pemilu 2004, perolehan suara PAN justru turun drastis (6,4%).
Memang, karena peta dukungan yang menyebar ke luar Jawa di mana “harga”kursi relatif “murah”,jumlah kursi PAN di DPR untuk periode 2004–2009 jauh lebih banyak daripada pe-riode 1999–2004 (34 berbanding 52). Ketika Sutrisno Bachir menggantikan Amien Rais sebagai ketua umum PAN pada 2005,ia bermodifikasi sedikit di dalam menjalankan roda kepemimpinan partai.
Dalam pandangannya, kekuatan elektoral PAN akan dapat ditingkatkan jika partai melebarkan sayap dukungan kepada kalangan lain yang bukan pendukung inti partai.Ketikapartaididirikan, pendukung utamanya adalah Muhammadiyah, masyarakat terdidik dan urban. Untuk keperluan diversifikasi dukungan itulah Sutrisno Bachir berhubungan dengan kalangan Nahdlatul Ulama dan masyarakat “bawah”.
Dalam konteks politik yang berdasarkan pada prinsip “satu orang satu suara”, pembilahan atau strata sosial-ekonomi menjadi tidak begitu penting dalam hal pengindentifikasian karakter pendukung partai. Sutrisno Bachir telah berusaha.
Kendati apa yang dilakukan tidak mendatangkan hasil yang diinginkan, setidaknya perolehan PAN tidak melorot drastis sebagaimana yang dialami oleh partai-partai tengah yang lain seperti PPP dan PKB. Kekuatan elektoral PAN turun sedikit dalam hal perolehan suara dibandingkan pemilu sebelumnya (6,01%).Tapi jumlah kursi berkurang,menjadi 46.
Kepemimpinan Hatta Rajasa
Kini kepemimpinan PAN berada di tangan Hatta Rajasa, salah seorang kader partai dengan sumber daya politik yang sangat besar: pengalaman dan kewenangan. Sejak awal berdirinya partai, Hatta merupakan kader yang terus-menerus memegang posisi penting. Hal ini bukan hanya menandai kefasihan dia terhadap situasi politik Indonesia pasca-Orde Baru, tetapi juga menunjukkan keluwesan dia dalam berpolitik, baik terhadap konstituen PAN maupun kolegakolega politik yang lain.
Posisi-posisi penting yang pernah dan sedang didudukinya, baik di dalam partai, parlemen maupun birokrasi,menjadikan dirinya sebagai pribadi politik dengan kewenangan yang diperhitungkan.Akankah semua itu berarti banyak bagi peningkatan kekuatan elektoral PAN pada Pemilu 2014?
Jawaban yang pasti hanya bisa diberikan ketika Pemilu 2014 itu sendiri usai. Yang jelas adalah bahwa dewasa ini partai politik sedang tidak menjadi komoditas favorit bagi publik. Berbagai survei menunjukkan naiknya kekecewaan dan ketidakpercayaan publik terhadap partai politik. Dalam kerangka itu, tantangan partai politik menjadi sangat besar.
Tak terkecuali PAN, mereka dituntut untuk merebut kembali kepercayaan rakyat, memenangi kembali hati dan nurani mereka. Tanpa itu,jangan diharap dukungan rakyat pada Pemilu 2014 akan mengalir. Konteks tantangan yang dihadapi pada dasarnya bersumber dari cita-cita reformasi yang belum tercapai. Bahkan dalam pandangan sebagian anggota masyarakat, reformasi telah diselewengkan.
Karena itu, sebagai partai yang berdiri di garis terdepan reformasi,PAN dituntut untuk mengembalikan jalur. Jalur politik dan pemerintahan yang bertujuan untuk menciptakan keamanan, ketenangan, dan kenyamanan rakyat di satu pihak serta kesejahteraan sosial-ekonomi mereka di pihak lain. Masa dua tahun hingga Pemilu 2014 digelar bukanlah masa yang lama.
Persiapan yang sungguh-sungguh harus segera dilakukan meski sekadar untuk mempertahankan posisi tengah dalam hal dukungan elektoral. Keinginan untuk memperoleh kenaikan suara secara signifikan bukan merupakan hal yang harus diperbincangkan. Sebaliknya, soal itu harus segera dicerminkan dalam tindakan yang konkret.
Amien Rais telah memulai dan sampai tingkat tertentu menempatkan PAN pada posisi yang diperhitungkan dalam percaturan politik Indonesia. Sutrisno Bachir sudah berusaha untuk melakukan diversifikasi dukungan bagi PAN. Tugas Hatta Rajasa adalah mengonsolidasikan berbagai sumberdaya yang ada untuk mengembalikan semangat berpolitik yang reformis di satu pihak dan meningkatkan kekuatan elektoral PAN di pihak lain. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar