Zaman Kleptolitikum
Achmad M. Akung, DOSEN FAKULTAS PSIKOLOGI UNDIP
Sumber : KOMPAS, 12 November 2011
Jika kita berkenan menengok masa lalu sejarah peradaban umat manusia, kita pasti akan bersua dengan zaman peradaban batu.
Manusia pada zaman itu konon masih bernama manusia purba dengan peradabannya masih terbelakang. Hari ini, di zaman modern yang ditopang kemajuan iptek, kita biasa mengaku sebagai Homo sapiens: spesies terbaik yang dianugerahi akal budi, sebuah peranti yang membuat manusia mampu meng-”ada”, mengemban amanat peradaban di muka bumi.
Namun, apabila kita berkenan jujur berkontemplasi, dalam konteks keindonesiaan, peradaban modern yang kita bisik-bangun itu ternyata tak serta-merta membawa kebahagiaan. Kehalusan akal budi dan budaya yang adiluhung itu belum mampu mengantarkan kita pada kehidupan yang sejahtera.
Hari ini kita mungkin tengah resah dan gundah akibat kegaduhan dan karut-marut di hampir semua lini kehidupan. Negeri yang kaya raya ini kini menjelma jadi rumah besar tempat bersemainya benih kerakusan.
”Tajuk Rencana” Kompas edisi 15 Oktober 2011 dengan bernas meminjam Mancur Olson dalam Power and Prosperity (2000), mengabstraksikan para bandit yang menjarah-rayah negeri ini. Dari praksis kekuasaan, korupsi menular laiknya wabah yang menjangkiti peradaban negeri kita. Setiap ceruk kehidupan nyaris tiada yang kebal dari wabah ini.
Peradaban yang Membatu
Perlahan tapi pasti kita tengah memasuki sebuah zaman yang penulis metaforakan sebagai ”zaman kleptolitikum”. Kleptolitikum adalah sebuah zaman dengan peradaban yang sesungguhnya tidak beradab akibat kleptomania yang menjangkiti kuasa politik dan hukum di negeri ini.
Secara kasatmata, peradaban di zaman kleptolitikum tampak sangat glamor, mewah, dan modern. Namun, sesungguhnya ia tidaklah jauh lebih baik daripada peradaban zaman batu dahulu. Keserakahan, kerakusan, dan ketamakan telah membutakan mata hati dan membatukan nurani sehingga membuat kita alpa bicara soal moralitas dan etika.
Kleptomania adalah gangguan kejiwaan. Berakar dari diksi Yunani, kleptein, yang biasa dimaknai ’mencuri’, serta mania yang bermakna ’kegemaran’. Penyakit jiwa ini membuat penderitanya tak bisa menahan diri untuk tidak mencuri.
Kleptomania di zaman kleptolitikum selalu merasakan ketegangan subyektif sebelum mencuri dan merasakan kelegaan atau kenikmatan setelah menggondol jarahannya. Celakanya, dorongan ini persisten sehingga selalu mencari jalan, strategi, dan cara apa saja agar dorongan tamak mencuri bisa terpuaskan.
Tidak seperti kleptomania asli yang suka mencuri benda yang remeh-temeh dan tidak berharga, kleptomania di zaman kleptolitikum di negeri ini mencuri sesuatu yang sangat berharga. Kleptomania di zaman kleptolitikum mencuri dari kantong harta negara justru dengan mengatasnamakan daulat rakyat.
Daulat rakyat sesungguhnya titah tertinggi bagi setiap negeri demokrasi. Sayangnya, atas nama demokrasi, para politisi justru acap kali membajak daulat rakyat. Mereka menyaru jadi wakil rakyat justru untuk jadi calo anggaran, memainkan kartel dan oligarki politik.
Huruf ”n” pada kata dewan (house of representative), yang semestinya bermakna nurani, ditanggalkan sehingga mereka berlaku seperti ”dewa”. Dalam mitologi Yunani, dewa adalah makhluk yang lahir seperti manusia, tetapi memiliki kemahakuasaan untuk mengatur kehidupan manusia. Nyaris tanpa kontrol, kecuali sekadar basa-basi kecil di BK (Badan Kehormatan).
Dominansi partai politik yang sangat masif dan eksesif berarak menduduki pemerintahan, mengintrusi beberapa institusi negara, kementerian, termasuk kursi kepala daerah.
Kompas (17/10/11) kembali menuliskan kekhawatiran terjerembabnya Indonesia ke arah negara partitokrasi. Tatanan politiknya mengatasnamakan demokrasi, tetapi kebijakan yang diambil kadang sarat dengan kesepakatan ilegal, tak bermoral, serta favoritisme untuk kejayaan parpol. Petuah bijak JF Kennedy untuk menanggalkan loyalitas terhadap partai ketika loyalitas terhadap negara dimulai, tinggal jargon yang sunyi.
Situasi ini lebih kurang senada dengan pandangan Harold Lasswell dalam Psychopathology and Politics (1930), yang dikutip Jost dan Sidanius (2004), bahwa para pemimpin politik acap kali mengerjakan agenda terselubung, konflik kepentingan pribadi di atas simbol dan obyek publik, serta merasionalisasikan kepentingan pribadinya atas nama kepentingan rakyat.
Senada pula dengan pandangan Thomas Hobbes, The Leviathan (1651), bahwa kehidupan para politisi cenderung kotor, kejam, dan pintas.
Kleptomania di ranah hukum juga tak kalah parah. Hukum yang seharusnya memandu perjalanan bangsa agar tetap berkeadilan, nyatanya ditegakkan setengah hati oleh aparat yang semestinya mengagungkannya. Polisi, jaksa, hakim, birokrat, hingga para petugas pajak yang semestinya menjadikan hukum sebagai panglima justru mengangkanginya untuk kepentingan hedonisme yang pintas.
Menyaru sebagai aparat yang berlindung di balik jubah hukum, mereka justru jadi mafia yang menjadikan hukum sebagai justifikasi untuk mencuri. Mencuri tuntutan, mencuri pasal, mencuri putusan, dan mencuri keadilan untuk nafsu serakah yang tamak.
Hukum Jadi Impoten
Hanya di zaman kleptolitikum kita bisa saksikan harta negara yang semestinya digunakan dengan bijak—karena didapatkan dari air mata, darah, dan perasan keringat segenap rakyat—justru dijadikan bancakan oleh para penguasa. Kadang bahkan dilakukan dengan benderang, menjungkirbalikkan logika hukum.
Motonya sederhana: ”Dari rakyat, dikorupsi oleh dan untuk partai politik”. Lokusnya bisa di setiap jengkal republik ini. Modusnya juga beragam, mulai dari perombakan kabinet yang sekadar ”dagang sapi” koalisi, pengangkatan wakil menteri yang menambunkan birokrasi, privatisasi, mark up anggaran, favoritisme, uang persahabatan, komisi, hingga ”kotak durian”. Kodenya pun bisa beragam, mulai dari kopi, apel malang, hingga apel Washington. Celakanya, kleptomania kelas kakap ini seakan terlalu sakti bagi hukum kita yang mulai rabun senja.
Hukum kita hanya kuat, keras, tajam, dan kejam kepada rakyat kecil, tetapi lunak, empuk, dan enak terhadap para ”penggede”. Terlebih ketika nuansa politik terasa kental mengintervensi, hukum jadi impoten.
Pula cerita KPK, palang pintu terakhir yang semestinya diperkuat menjadi pedang yang tajam membabat dan menyiangi gulma korupsi, justru dianggap sebagai teroris bagi politisi korup. KPK pun hendak dirobohkan atau setidaknya dikerdilkan menjadi kemoceng yang membelai lembut para koruptor sehingga lantas sesekali bersin kegelian.
Sungguh, zaman kleptolitikum ini terasa seperti ”zaman edan” dalam futurologi Jayabaya. Zaman yang membuat orang lupa diri hingga mengimani jikalau tidak ikut edan maka tidak akan kebagian. Sungguh, dibutuhkan kebersihan jiwa, eling lan waspodho, untuk menghadang arus besar zaman kleptolitikum agar nurani kita tak turut membatu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar