Eksklusi dan Inklusi Papua
Dodi Mantra, DOSEN HUBUNGAN INTERNASIONAL, UNIVERSITAS AL-AZHAR INDONESIA
Sumber : KOMPAS, 12 November 2011
Merangkul sekelompok orang tertentu sebagai bagian dari kita dan menyisihkan sekelompok yang lain adalah praktik yang melekat dalam relasi sosial manusia. Jadi, kehidupan manusia pun tersusun atas lapisan eksklusi dan inklusi dalam beragam bentuk.
Negara merupakan sebuah lapisan eksklusi dan inklusi tersendiri yang memisahkan dengan tegas antara warga negara dan yang bukan warga negara. Pada lapisan yang lebih luas, tingkat internasional, interaksi negara diwarnai oleh praktik eksklusi dan inklusi yang mewujud ke dalam pengelompokan antara yang ’beradab’ dan yang ’tidak beradab’, Barat dan non-Barat.
Sampai kepada titik yang kosmopolitan, terdapat keyakinan moral bahwa manusia memiliki tanggung jawab yang lebih luas tanpa adanya sekat-sekat eksklusi.
Selain negara, kapitalisme merupakan sebuah sistem yang di dalamnya melekat praktik eksklusi dan inklusi. Dimulai dari eksklusi melalui proses produksi, aktivitas konsumsi sampai kepada eksklusi dari komunitas politik.
Namun, memahami praktik eksklusi dan inklusi dewasa ini tidak dapat dilakukan atas dasar dikotomi kedua praktik tersebut. Praktik eksklusi tidak dapat lagi dipahami sebagai suatu bentuk penyisihan dari sebuah sistem dan sebaliknya yang tereksklusi adalah mereka yang berada di luar. Inklusi pun tidak bermakna semua berada di dalam.
Dinamika perkembangan negara dan kapitalisme dewasa ini telah melahirkan suatu strategi baru dalam praktik eksklusi dan inklusi, dalam bentuk praktik eksklusi melalui inklusi. Dalam praktik ini, sekelompok orang dirangkul sebagai bagian dalam negara dan kapitalisme, tetapi inklusi tersebut masih diikuti dengan penciptaan ruang-ruang baru bagi penyisihan/eksklusi mereka di dalam sistem itu. Praktik eksklusi melalui inklusi inilah yang kini berlangsung di Papua.
Ruang Eksklusi
”Penentuan Pendapat Rakyat” pada 14 Juli 1969, menandai inklusi Negara Kesatuan Republik Indonesia atas masyarakat Papua. Secara politik masyarakat Papua diinklusi menjadi warga negara Indonesia. Namun, sebagai warga negara ternyata mereka tidak memiliki secara utuh hak-hak dasar warga negara, seperti hak sipil, politik, dan sosial. Mereka tidak mendapatkan kebebasan yang utuh, tidak dapat sepenuhnya berpartisipasi secara politik dalam pengambilan kebijakan, dan tidak mendapatkan hak atas kesejahteraan dan keamanan ekonomi. Di sinilah terjadi ruang-ruang eksklusi baru atas mereka.
Rakyat Papua diinklusi sebagai warga negara Indonesia, tetapi sekaligus juga dieksklusi sebagai warga negara Indonesia yang ”terbelakang dan primitif”.
Ketika Papua menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, berbagai mekanisme tata kelola politik, ekonomi, dan sosial yang berbasis kultural harus tunduk pada suatu tata kelola pemerintahan dengan hierarki otoritas yang tegas. Akibatnya, berbagai mekanisme kultural yang bertentangan dengan mekanisme negara dipandang sebagai ketidakdisiplinan dan harus ”didisiplinkan”.
Di sisi lain, aktivitas kapitalisme di Papua berakar pada sejarah kolonialisme yang bertumpu pada eksploitasi kekayaan alam. Jadi, masyarakat Papua tereksklusi dari aktivitas produksi kapitalisme dalam mekanisme yang formal.
Seiring dengan masuknya Papua sebagai bagian dari Indonesia, berlangsung formalisasi inklusi masyarakat Papua dalam aktivitas produksi kapitalisme. Masyarakat Papua secara formal diinklusi dalam aktivitas produksi sebagai pekerja perusahaan-perusahaan besar, terutama yang bergerak di bidang pertambangan.
Namun, praktik eksklusi kembali mengikuti inklusi masyarakat Papua dalam aktivitas produksi ini melalui investasi kapital pada mesin dan teknologi baru sehingga mengurangi tenaga kerja. Masyarakat Papua dengan tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah tentu saja langsung tersisihkan.
Mereka yang tereksklusi ini menyusun ruang surplus tenaga kerja yang begitu besar pada masyarakat Papua. Meski demikian, keberadaan surplus tenaga kerja ini tidaklah sepenuhnya berada di luar aktivitas produksi. Mereka justru menjadi kekuatan penekan bagi pekerja yang masih aktif dalam produksi kapitalis sehingga semakin menguatkan eksploitasi kapitalis atas pekerja aktif.
Dalam aktivitas konsumsi, masyarakat Papua pun tidak luput dari praktik inklusi kapitalisme. Mereka menjadi konsumen produk-produk kapitalis dan pola-pola konsumsi yang bersifat kultural dan tradisional semakin ditinggalkan. Padahal, kemampuan ekonomi mereka terbatas.
Tak pelak lagi, praktik eksklusi melalui inklusi pada rakyat Papua—oleh negara dan kapitalisme—menuai permasalahan yang tak kunjung usai.
Ironi Percepatan Pembangunan
Untuk menyelesaikan masalah ini, pemerintah menggulirkan wacana percepatan pembangunan Papua. Suatu upaya yang sesungguhnya ironis karena jika ditelaah melalui analisis eksklusi-inklusi, justru praktik pembangunanlah yang selama ini merupakan wujud dari praktik eksklusi melalui inklusi yang dijalankan secara bersamaan oleh negara dan kapitalisme.
Praktik pembangunan telah berjalan sebagai suatu jalur kehidupan, perubahan dan kemajuan sosial yang seakan tunggal dan universal, yang kemudian bermuara pada satu titik, yakni masyarakat industri kapitalis. Keragaman pilihan dalam menjalani kehidupan semakin mengalami kepunahan ditelan oleh narasi pembangunan. Cara, visi, dan bahkan imajinasi dalam kehidupan sosial tereduksi ke dalam sebuah narasi tunggal ”pembangunan” yang berakar pada partikularitas jejak sejarah Barat yang dijadikan seolah universal.
Melalui diskursus dan praktik pembangunan, masyarakat Asia, Afrika, dan Amerika Latin ”ditulis” sebagai yang ”terbelakang” (under-developed) sehingga membutuhkan pembangunan (development). Jadi, dalam diskursus dan praktik pembangunan, kita tidak lagi menjadi ”penulis” atas sejarah dan arah kehidupan kita, tetapi harus mengikuti jejak kehidupan Barat yang seakan tunggal.
Percepatan pembangunan justru semakin memapankan ruang eksklusi bagi masyarakat Papua. Bukan mereka yang ”menuliskan” arah, visi, dan cara dari perubahan dan kemajuan sosial sesuai dengan kebutuhan mereka. Lagi-lagi mereka harus tunduk pada suatu jalur kehidupan yang digariskan oleh orang lain atas diri mereka melalui praktik pembangunan.
Jadi, apabila pemerintah hendak bersungguh-sungguh mengangkat harkat rakyat Papua, yang paling penting adalah hargai makna mendalam yang terkandung dan berlaku dalam kehidupan beragam suku di Papua. Jangan lagi ”tulis” mereka sebagai yang terbelakang, primitif, dan tidak beradab. Berikan kesempatan bagi masyarakat Papua untuk menuliskan sejarah, arah, dan cara kehidupan mereka sendiri dengan kekayaan pengetahuan tradisional dan nilai-nilai kultural yang sudah mereka miliki. Hanya dengan itu, kita dapat merangkul masyarakat Papua sebagai sesama warga negara Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar