Minggu, 05 Mei 2013

Uje, Agama, dan Industri Budaya


Uje, Agama, dan Industri Budaya
Triyono Lukmantoro ;  Dosen Sosiologi Komunikasi FISIP
Universitas Diponegoro Semarang
SUARA MERDEKA, 04 Mei 2013


Kabar meninggalnya Ustadz Jeffry Al Buchori, yang lebih terkenal dengan panggilan Uje, mengejutkan khalayak. Ia berpulang dalam usia yang sangat produktif dan berada pada puncak popularitas. Bukti keterkenalan itu dapat disimak ketika banyak orang melayat ke rumah duka, ikut menshalatkan di Masjid Istiqlal, dan mengantarkan ke pemakaman terakhir. Media massa pun bahkan menyajikan liputan khusus.

Perhatian istimewa dari masyarakat dan media massa karena Uje merupakan salah satu ikon budaya pop. Jika selama ini budaya pop selalu diidentikkan dengan ekspresi dan selera serbadangkal dan sekuler maka Uje mampu memberikan sentuhan tersendiri. Budaya pop yang dia sajikan memuat cita rasa religius yang menjadi pembeda dari produk kultural massa yang cenderung seragam. 

Keseragaman itulah yang menjadikan budaya pop dituding berselera rendah. Tidak ada karakter eksklusif yang sangat menonjol. Misalnya ketika musik pop Korea menguasai industri hiburan kita, justru banyak kelompok penyanyi Indonesia menjadi peniru. Begitulah watak epigonisme itu diwujudkan.

Uje, tentu tidak sebanding dan tidak dapat dikomparasikan dengan gejala budaya pop sejenis itu. Dia membawa dan menyampaikan misi nilai-nilai keagamaan. Ceramah, lagu, perbincangan, dan bahkan iklan yang melibatkannya menunjukkan peran penting pesan-pesan agama yang dikemas secara lebih akrab dan egaliter. Massa yang mengonsumsi tampilan dan pidato Uje merasa nyaman. Kaum muda memandang dia sebagai figur yang pantas menjadi anutan. Selain itu, kaum tua menempatkannya sebagai sesosok guru yang gampang dipahami berbagai ajarannya. Misi keagamaan yang disodorkannya pun menyajikan ketenteraman.

Budaya pop dapat juga dilihat sebagai realisasi dari industri budaya (culture industry). Itu adalah konsep pemikiran Theodor W Adorno (1903-1969) dan Max Horkeimer (1895-1973) untuk merujuk pada fenomena budaya yang telah dikomodifikasikan dan diindustrialisasikan. Budaya, dalam hal ini adalah ekspresi seni dan juga informasi, sekadar dijadikan barang dagangan dan diproduksi secara massal demi memenuhi cita-rasa banyak orang. 

Lebih buruk lagi adalah industri budaya itu dikendalikan oleh pemilik modal dan semata-mata diciptakan untuk meraup sebanyak-banyaknya keuntungan. Massa yang menikmati industri budaya itu bagaikan tersihir dan tidak mampu bertanggung jawab dengan apa yang telah dikonsumsi. Realitas yang jauh lebih tragis adalah industri budaya itu mampu menggantikan peran penting keluarga, komunitas, dan agama.

Pemikiran Adorno dan Horkheimer mengungkap sisi negatif industri budaya. Aspek positif dikemukakan oleh Walter Benjamin yang menyatakan aura seni tinggi, estetika yang serbaadiluhung, telah dihancurkan industri budaya. Aura, jenis kewibawaan karismatis yang terdapat dalam karya estetis, telah diremukkan oleh kekuatan produksi mekanis. Hasilnya adalah demokratisasi terhadap keangkuhan seni. Karya yang selama ini hanya bisa dinikmati segelintir elite budaya justru berkat industrialisasi itu mampu menimbulkan kesenangan populer bagi massa di mana saja.

Bintang Dakwah

Kehadiran dan popularitas Uje dapat dilihat dari aspek positif industri budaya itu. Apabila selama ini agama hanya boleh dibicarakan dan didakwahkan sekelompok ulama maka kehadiran media massa sebagai alat produksi mekanis bisa menjadikan agama lebih demokratis. Ajaran-ajaran keagamaan menjadi gampang dimengerti oleh massa. Berbagai dalil dan istilah keagamaan yang rumit dapat dicairkan dan dialirkan kepada massa yang membutuhkan. Pada posisi itulah Uje hadir mengisi berbagai kompleksitas ajaran religi menjadi lebih sederhana namun tetap kaya makna.

Agama, sebagaimana dikemukakan Emile Durkheim (1858-1917), mempunyai pesona yang tinggi. Agama bisa dirasakan ketika pemisahan antara yang suci (sakral) dan yang biasa (profan) ditegaskan. Agama berada dalam wilayah yang sakral karena menghadirkan ketakjuban dan penuh penghormatan bagi para penganut. Tapi, kesakralan yang terlalu angkuh untuk ditegakkan justru mempersempit ruang gerak agama itu sendiri bagi pemeluknya dan orang yang hendak memahami.

Industri budaya mampu memecahkan kebekuan jalinan dikotomis yang sakral dan yang profan dalam agama. Kekuatan suci agama mampu menerobos batas-batas yang dianggap profan oleh masyarakat. Bahkan, industri budaya yang selalu dituding sebagai biang kemeredupan  nilai-nilai religiositas justru secara jitu bisa menghidupkan agama sesuai dengan pemahaman dan selera banyak orang. 

Itulah era ketika agama juga dihadirkan media sebagai salah satu produk dalam wilayah budaya pop. Untuk melakukan hal itu diperlukan sosok bintang yang juga memiliki pesona tinggi. Domain persilangan sakral-profan dan nilai keagamaan yang serbatinggi versus tampilan keseharian yang bersahaja melahirkan Uje sebagai bintang dalam dakwah.

Bintang merupakan salah satu faktor penting dalam keberhasilan agama ketika dikemas sebagai industri budaya. Tampilan fisik, busana yang menunjukkan identitas, dan kisah masa silam yang kelam adalah kekuatan yang dimiliki Uje. Terlebih ketika ia dikenal pula sebagai penggemar motor gede maka lengkap sudah figur sebagai ustadz penuh karisma namun tetap disukai karena memiliki sisi manusiawi yang dapat dipermaklumkan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar