Negara, Pasar, dan Jaminan Sosial
Makmur Keliat, PENGAJAR ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL , FISIP UI
Sumber : KOMPAS, 03 November 2011
Setiap orang yang berusia muda dan produktif secara alamiah pasti akan menjadi jompo dan tidak produktif. Setiap orang yang sehat pasti akan pernah jatuh sakit. Bahkan setiap orang yang tengah bekerja suatu ketika mungkin akan dapat kehilangan pekerjaannya karena berbagai sebab, seperti kecelakaan atau karena pemutusan hubungan kerja.
Bagaimana memperlakukan orang-orang seperti ini? Haruskah orang yang lanjut usia, yang tidak sehat, ataupun yang tidak memiliki pekerjaan itu dibiarkan begitu saja untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya?
Koreksi dan jalan tengah
Sistem jaminan sosial haruslah mampu menjawab pertanyaan ini. Membiarkan pertanyaan-pertanyaan ini dijawab semata-mata melalui mekanisme pasar tidaklah bijak. Orang berusia tua dan sakit pasti tak akan dapat diakomodasikan pasar. Alasannya, kompetisi merupakan prinsip dasar dari mekanisme pasar. Pelaku pasar yang tak kompetitif dan produktif pasti akan dihukum oleh pasar. Demi akumulasi laba dan efisiensi, tak jarang kita melihat perusahaan ”harus” melakukan rasionalisasi dengan cara memberhentikan pekerjanya.
Tentu saja sentimen-sentimen kultural, misalnya, melalui ikatan keagamaan, kesukuan, dan ras, dapat dimanfaatkan untuk menjawab pertanyaan di atas. Namun, jejaring seperti ini memiliki keterbatasan. Orang-orang yang tidak memiliki identitas kultural yang sama tentu tidak dapat berharap memperoleh proteksi sosial.
Jejaring seperti ini juga dapat membawa dampak politik yang negatif dalam kehidupan bernegara. Jejaring seperti ini kemungkinan besar akan memperkuat segregasi sosial yang dibangun atas dasar sentimen komunal dan sektarian dalam proses politik bernegara. Orang akan lebih bersandar pada ikatan-ikatan kultural yang berwatak parokial dibandingkan ikatan-ikatan yang dibangun atas dasar simpul kebangsaan dengan watak kesetaraan warga (equal citizenship).
Ketentuan hukum tentang jaminan sosial pada dasarnya adalah tindakan koreksi negara terhadap pasar, sekaligus jalan tengah agar orang mentransformasikan kesetiaan komunal dan sektariannya kepada konsep negara-bangsa. Bersama seluruh pelaku pasar dan organisasi yang ada di masyarakat, negara melakukan tindakan koreksi tersebut dengan semangat kesetiakawanan dan gotong royong.
Ada dua alasan sederhana mengapa jaminan sosial harus dibangun atas dasar semangat kesetiakawanan dan gotong royong. Pertama, orang-orang muda yang bekerja dan sehat itu juga suatu saat jadi tua, tak produktif, dan kemungkinan juga akan jatuh sakit dalam perjalanan hidup mereka. Oleh karena itu, sistem jaminan sosial merefleksikan kepentingan semua pihak. Memberikan kontribusi untuk membantu yang tua-pensiunan, yang menganggur, dan yang jatuh sakit tidak semata atas dasar prinsip kemanusiaan sepihak, tetapi juga prinsip kepentingan timbal balik yang mekanistik dan fungsional.
Kedua, menciptakan simpul-simpul kebersamaan yang kuat antara negara dan seluruh pelaku pasar dan masyarakat. Simpul-simpul ini muncul ketika kontribusi pendanaan untuk menciptakan sistem jaminan sosial itu berasal dari semua pihak. Kontribusi negara diberikan melalui anggaran pengeluaran sosial lewat anggaran negara (APBN). Kontribusi yang diberikan perusahaan dan pekerja melalui pajak, iuran, serta potongan upah dan gaji. Melalui kontribusi bersama seperti inilah, yang diwujudkan melalui ketentuan hukum yang mengikat, masyarakat merasakan kehadiran negara dan negara dapat mengharapkan dukungan dari masyarakat ataupun pelaku pasar untuk memelihara suatu tatanan hukum dan kehidupan masyarakat yang tertib.
Oleh karena itu, tampaknya tak tepat apabila seluruh beban tanggung jawab sistem jaminan sosial ditimpakan pada anggaran negara. Selain soal keterbatasan anggaran negara, juga karena pilihan itu melemahkan simpul hubungan antara negara dan pelaku pasar dan masyarakat. Dampak lain meletakkan sepenuhnya beban dan tanggung jawab sistem jaminan sosial kepada negara akan menggerus prinsip kesetiakawanan dan gotong royong di antara warga negara.
Perjuangan politik
Walau disebutkan mulai berlaku Juli 2015, pengesahan UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) pada 28 Oktober 2011 dapat dianggap momen sejarah sangat penting. Untuk pertama kali, Indonesia punya ketentuan hukum yang lebih konkret-terpadu untuk memberikan suatu sistem jaminan sosial yang lebih universal mencakup ketenagakerjaan, pensiunan, kesehatan, hari tua, dan kecelakaan.
Namun, karena naskah final UU BPJS ini belum selesai dibuat (lihat Kompas, 1 November 2011), sukar untuk memproyeksikan apakah watak dari ketentuan hukumnya akan mengarah kepada penguatan hubungan negara dengan pasar dan masyarakat melalui prinsip kesetiakawanan dan gotong royong. Oleh karena itu, seluruh kekuatan politik yang ada perlu terus memantau muatan naskah akhir UU BPJS ini.
Dalam kaitan ini, tampaknya perlu merenungkan perjalanan sistem jaminan sosial di negara-negara maju. Studi yang dilakukan Esping Anderson (1990) ataupun John D Stephans (2007) telah menyampaikan dua fakta menarik untuk direnungkan.
Pertama, sistem jaminan sosial merupakan konsesi politik untuk tetap dapat melestarikan ekonomi pasar. Konsesi ini diberikan kepada pekerja setelah melalui perjuangan politik yang getir dan panjang. Ia bukan sesuatu yang diberikan secara cuma-cuma. Oleh karena itu, jika kita memang menginginkan ekonomi pasar terus berlangsung, sistem jaminan sosial harus diciptakan untuk membuat ekonomi pasar memiliki wajah dan sentuhan yang lebih manusiawi dan agar ekonomi pasar itu juga memiliki akar yang kuat di masyarakat.
Kedua, variasi dari model sistem jaminan sosial di antara negara-negara industri maju sangat ditentukan dukungan politik yang diberikan oleh lapisan sosial. Di negara-negara Skandinavia, misalnya, yang dikenal memiliki cakupan jaminan sosial yang sangat universal, dukungan yang sangat luas dari berbagai lapisan sosial telah ada sejak sistem jaminan sosial di negeri ini diperkenalkan pada abad ke-19. Situasi yang hampir mirip ditemukan juga di negara-negara Eropa lainnya.
Namun, dukungan seperti ini tak tampak cukup kuat di AS. Sistem jaminan sosial di AS lebih terbatas dibandingkan dengan negara-negara Eropa. Penyebabnya adalah tak terdapat dukungan yang luas dari berbagai lapisan sosial di negeri itu. Hal ini juga yang menjelaskan mengapa di Amerika Serikat, seperti yang pernah disebutkan oleh Obama dalam pidatonya ketika meluncurkan reformasi kesehatan di negeri tersebut pada Oktober 2009, masih terdapat puluhan juta warga AS yang tidak memiliki asuransi kesehatan.
Berangkat dari dua fakta ini, tampaknya tak berlebihan untuk menyatakan derajat kesadaran dan pelibatan politik yang aktif dari berbagai lapisan sosial di Indonesia akan sangat menentukan watak dan implementasi UU BPJS ini pada masa depan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar