|
TEMPO.CO,
04 Mei 2013
Tulisan Dinda N. Yura di Koran
Tempo, 26 April 2013, “Pendidikan
Tinggi Bukan Hanya untuk Borjuis Muda” harus saya tanggapi, karena saya
rasa penulisnya keliru membaca Undang-Undang Pendidikan Tinggi, yang sedang
digugat ke Mahkamah Konstitusi.
Dinda sendiri menulis artikel itu
untuk membantah tulisan saya sepekan sebelumnya, “Gugatan atas Pendidikan
Tinggi 2012” (Koran Tempo, 19 April 2013). Dalam artikel saya itu, saya
berargumen bahwa, berbeda dengan tuduhan sekelompok orang, UU Dikti itu justru
berseberangan dengan komersialisasi pendidikan tinggi dan, sebaliknya,
cenderung lebih adil dengan membuka akses lebih luas bagi masyarakat tidak
mampu untuk mengenyam pendidikan tinggi.
Saya tidak terkejut oleh bantahan
Dinda. Mereka yang terlibat dalam aksi menggugat Undang-Undang Dikti ke MK
lazim menyuarakan pandangan serupa. Hanya, saya khawatir, gugatan mereka
sebenarnya lebih bersifat ideologis dan mereka terjebak dalam jargon-jargon
populisme simplistis ketimbang menukik pada substansi masalah.
Sekadar catatan, setidaknya, dari
apa yang saya baca dari tulisan Dinda, saya dan dia sebenarnya memiliki
kepedulian sama: mengupayakan pendidikan yang lebih adil sehingga yang
diuntungkan bukan hanya kalangan elite-borjuis, tapi juga masyarakat yang lebih
luas. Yang saya tidak mengerti, bagaimana mungkin Dinda dan teman-temannya
tidak membaca bahwa UU Dikti 2012 ini mengandung semangat yang mendukung hal
yang didambakan itu.
Dinda menunjukkan bahwa sejak menjelmanya
perguruan tinggi negeri menjadi badan hukum milik negara, komersialisasi PTN
menjadi-jadi. Karena otonom, PTN berbentuk badan hukum milik negara (BHMN,
seperti UI, ITB, Unpad, IPB, dan lainnya) dengan semena-mena menaikkan uang
pangkal, biaya kuliah, sehingga diskriminatif terhadap siswa miskin.
Argumen Dinda mengandung sebagian
kebenaran. Di Universitas Indonesia, misalnya, kita menyaksikan skema
pembiayaan kuliah yang beragam, sehingga untuk program-program tertentu--bahkan
di jajaran S1--mahasiswa bisa harus membayar uang kuliah di atas Rp 20 juta per
semester. Karena pola rekrutmen yang diterapkan, sebagian orang tua mahasiswa
baru juga membayar puluhan juta rupiah sebagai uang pangkal.
Namun Dinda salah menyangka bahwa
pola itu berlaku di semua BHMN. Sebagai contoh, IPB, yang berjarak 30 kilometer
dari UI, menerapkan skema pembiayaan kuliah yang berbeda, sehingga 40 persen
dari mahasiswanya datang dari kalangan menengah ke bawah. Jadi, variabel
penentunya bukanlah status BHMN. Dalam hal ini, harus diakui bahwa, dalam lima
tahun semasa berstatus BHMN, UI memang dipimpin oleh seorang rektor--syukurnya
kini sudah turun--yang tak memiliki sensitivitas dan kepedulian pada rakyat
kecil, sehingga dia memanfaatkan otonomi yang dimilikinya untuk mengeruk
keuntungan sebesar-besarnya dari mahasiswa kaya. Dengan kata lain, ini soal
“oknum”.
Tapi, yang lebih penting, Dinda
lupa bahwa praktek eksploitasi mahasiswa ini bukan hasil dari UU Dikti 2012.
Justru UU Dikti 2012 ini dilahirkan dengan muatan yang akan mencegah pola
eksploitatif serupa berulang.
Undang-undang ini melarang
perguruan tinggi menetapkan sendiri uang kuliah mahasiswa. UU Dikti 2012
menyatakan bahwa pemerintah menetapkan standar satuan biaya operasional
pendidikan tinggi secara periodik yang kemudian akan digunakan oleh PTN untuk
menetapkan biaya yang ditanggung mahasiswa. Jadi, undang-undang ini mengandung
pasal yang menjawab kekhawatiran Dinda soal kesewenang-wenangan pengelola
universitas untuk menggenjot uang kuliah.
Dinda juga mengabaikan begitu saja
kenyataan bahwa undang-undang ini menetapkan 20 persen bangku kuliah harus
diisi mahasiswa dari kalangan tidak mampu yang pembiayaan kuliahnya akan
ditutupi dengan beasiswa dan pendanaan lainnya. Ini bukan pilihan, melainkan
kewajiban.
Data
menunjukkan bahwa saat ini hanya sekitar 1-4 persen penduduk miskin berusia
19-24 tahun berada di perguruan tinggi di Indonesia. Kalau disempitkan ke PTN,
jumlahnya pasti akan jauh lebih kecil lagi. Kalangan miskin ini tidak mampu
menjangkau perguruan tinggi bukan karena masalah kemampuan membayar, melainkan
karena secara alamiah mereka memang cenderung tersingkir dalam kompetisi,
mengingat keterbatasan fasilitas pendidikan yang mereka miliki. Dengan
demikian, kewajiban kuota 20 persen ini adalah semacam affirmative
action untuk membuka kesempatan lebih besar bagi rakyat kecil. Jadi,
tidaklah logis kalau undang-undang ini dianggap bertentangan dengan UUD 1945,
karena dilandasi semangat neoliberalisme dan komersialisasi pendidikan.
Namun, Dinda benar kalau dia menganggap, dengan skema UU Dikti ini, uang kuliah mahasiswa rata-rata akan jauh lebih besar dibanding masa Dinda kuliah dulu. Namun, dalam perspektif keadilan sosial, UU Dikti 2012 ini justru lebih layak. Para mahasiswa UI dan PTN lainnya dulu membayar murah uang kuliah karena biaya pendidikan mereka disubsidi besar-besaran oleh rakyat Indonesia. Padahal sebagian besar mahasiswa PTN itu datang dari kalangan keluarga berpenghasilan atas. Kini, melalui UU Dikti, subsidi dari uang rakyat itu dibatasi alirannya. Mahasiswa menengah dan kaya harus membayar lebih mahal, tapi itu pun dalam batas kewajaran yang ditetapkan pemerintah.
Terakhir, Dinda juga menyebutkan bahwa UU Dikti ini bertentangan dengan Konvensi Ekonomi Sosial dan Budaya yang sudah diratifikasi Indonesia. Terus terang, argumen Dinda ini mencengangkan. Konvensi Ecosoc memang mewajibkan pemerintah menyelenggarakan wajib belajar, tapi hanya untuk pendidikan dasar.
Adapun soal pendidikan tinggi, Konvensi menyatakan, “Pendidikan tinggi harus tersedia bagi semua orang secara merata atas dasar kemampuan, dengan segala cara yang layak, khususnya melalui pengadaan pendidikan cuma-cuma secara bertahap.” Jadi, yang ditekankan adalah “ketersediaan pendidikan secara merata atas dasar kemampuan”.
UU Dikti, dalam hal ini, justru
memenuhi amanat itu. Melalui undang-undang ini, peluang untuk masuk perguruan
tinggi jauh lebih terbuka bagi kalangan tak mampu yang semula berpeluang kecil
bersaing dengan kaum kaya. Lebih jauh lagi, mereka yang tak mampu ini pun tak
perlu khawatir dengan biaya kuliah, karena hal itu akan disediakan secara
gratis.
Karena itulah, saya berharap
gugatan UU Dikti ini tidak dipenuhi Mahkamah Konstitusi atas dasar pertimbangan
keadilan sosial. Kalau gugatan dipenuhi, bukan hanya otonomi kampus hilang, hak
rakyat untuk menikmati pendidikan tinggi dan keadilan biaya pendidikan pun akan
terkhianati. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar