|
SUARA
KARYA, 04 Mei 2013
Keterlambatan ujian nasional (UN)
di sejumlah provinsi dan sebagian ada di kabupaten di Sumatera Barat dapat
disebut sebagai wujud tidak profesional penanganan UN oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan RI. Munculnya masalah ini sebagaimana juga diprediksi
oleh para pengamat adalah buah kebijakan sentralisasi UN.
Akibatnya, dapat dilihat bahwa
distribusi naskah soal ujian menjadi terlambat di sejumlah provinsi tersebut.
Di sini perlu ditegaskan bahwa luas dan bentang wilayah yang harus dijangkau di
seluruh Indonesia, tidak bisa menjadi alasan keterlambatan distribusi naskah
ujian apabila kata kuncinya adalah profesional.
Secara substantif, pelaksanaan UN
tahun ini diselenggarakan dengan sistem yang lebih baru. Lembar pertanyaan
didisain dalam 20 paket berbeda. Masing-masing dengan versi pertanyaan yang
sama sekali berbeda. Setiap siswa mengambil soal ujian yang sama dengan versi
pertanyaan yang berbeda. Melalui sistem baru ini, siswa diharapkan bukan saja
mampu memusatkan diri menjawab pertanyaan untuk mereka sendiri tapi juga
mencegah potensi kecurangan dan penipuan yang berpeluang terjadi selama ujian
berlangsung.
Berbeda dengan sistem sebelumnya,
sistem terbaru ini dianggap sebagai terobosan maju guna mengekang tren
kecurangan, meskipun tidak ada jaminan bahwa kecurangan tidak akan terulang
terlepas dari pakta integritas yang ditandatangani oleh pihak kepala sekolah.
Bisa dikatakan bahwa sistem UN terbaru berhubungan erat dengan persoalan teknis
pelaksanaan ujian guna mengantisipasi munculnya kecurangan dikalangan peserta
didik yang sempat menimbulkan kegemparan pada tahun-tahun sebelumnya.
Namun, tingginya harapan
pemerintah terhadap keberhasilan sistem terbaru ini, bagaimanapun juga, belum
sepenuhnya menyentuh akar permasalahan yang lebih serius dalam pelaksanaan UN
yang seringkali menjadi kekhawatiran pakar dan praktisi pendidikan. Persoalan
yang terus melekat pada sistem masa lalu dan kini adalah sejauh mana ujian
nasional menghasilkan efek pedagogis yang positif terhadap siswa dan guru serta
memenuhi persyaratan akuntabilitas publik.
Secara pedagogis, ujian akhir
harus mampu menghasilkan efek yang menguntungkan bagi proses belajar mengajar.
Hal ini menunjukkan bahwa tes kemampuan akhir, semisal UN, mau tak mau mesti
membangkitkan dan memotivasi belajar bagi siswa. Setiap ujian yang dihadapi
perlu menyadarkan para siswa untuk mengukur strategi belajar yang digunakan,
memberikan umpan balik korektif atas strategi tersebut, dan membantu menyimpan
serta mentransfer apa yang telah dipelajari. Intinya, ujian harus menggiring
peserta didik melakukan penilaian diri.
Faktor akuntabilitas juga tidak
bisa diabaikan begitu saja dalam pelaksanaan UN. Ini menjadi krusial mengingat
bahwa UN termasuk dalam kategori tes tertinggi dengan pertaruhan yang tak kalah
tingginya. Akuntabilitas UN perlu mementingkan keadilan dan keniscayaan kode
etik, semisal rasa kemanusiaan, mencegah penyalahgunaan pengetahuan dan
keterampilan, komitmen terhadap integritas, dan perhatian yang serius terhadap
masyarakat. Dengan demikian, hasil tes memiliki implikasi yang luas, tidak
terbatas pada konteks pendidikan saja.
Terlepas dari kuatnya penentangan
terhadap pola ujian seperti itu, sangat mungkin digunakan sebagai tes standar
tunggal pada Kurikulum 2013 yang memang sarat perdebatan di masa mendatang.
Kritik utama yang muncul melihat UN yang telah berlangsung sesungguhnya
terbuhul erat dengan konstruk-konstruk yang kerap tak terpantau dalam
kompetensi dasar lewat pengukuran instrumen tunggal, yakni UN. Lagi-lagi,
prioritas kelayakan atau kepraktisan ujian na-sional yang berada di atas
pertimbangan validitas dan reliabilitas agaknya masih menjadi pertimbangan
utama dalam pelaksanaan UN secara kontinyu di masa datang.
Mutu ujian tidak selalu berbentuk
tes massif yang terstandar seperti UN. Para ahli dan peneliti pendidikan sering
menegaskan bahwa UN lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Banyak
kalangan mengusulkan model ujian yang dirancang secara lokal, mengedepankan
konteks yang spesifik, dan menelaah situasi yang ada.
Atas dasar ujian skala besar ala
UN yang acapkali tidak memberikan manfaat pedagogis yang jelas seperti itu,
ujian lokal dipandang jauh lebih dekat dengan peserta didik karena materinya
lebih mendorong faktor kontekstual yang riil. Seperti, tujuan pembelajaran
instruksional, bahan ajar yang digunakan, serta lingkungan sosial-budaya di
tempat siswa belajar. Tentu ini akan membantu pencapaian yang diinginkan.
Aksesibilitas untuk memperoleh
informasi, materi pelajaran yang akan dibahas dalam ujian, format tes, dan
kriteria penilaian yang digunakan, dirancang jauh lebih mudah dan relatif
transparan untuk peserta ujian dan pemangku kepentingan lainnya. Di sini proses
ujian bisa disebut memenuhi ekspektasi akuntabilitas publik. Segenap
karakteristik ini jelas-jelas hilang dalam pelaksanaan UN.
Terkait dengan teknik
penyelenggaraan ini, UN sebaiknya diselenggarakan secara desentralisasi.
Pilihan sistem pencetakan secara terpusat, pembuatan soal, dan sebagainya
sebaiknya diserahkan kepada propinsi masing-masing. Sehingga akan memudahkan
proses pelaksanaan, lebih efisien, dan dekat dengan dunia pendidikan sendiri.
UN perlu mencerminkan semangat
desentralisasi sebagaimana dilaksanakannya otonomi daerah. Sekaligus
pelaksanaannya memberi kesempatan kepada pengusaha percetakan di daerah untuk
ikut menikmati "kue proyek pencetakan" soal ujian. Mestinya, daerah
diberi kewenangan tersendiri untuk mempersiapkan sekaligus menyelenggarakan UN
sehingga pusat tidak kedodoran. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar