H e w a n
Goenawan Mohamad, ESSAIS, PENDIRI MAJALAH TEMPO
Sumber : TEMPO, 14 November 2011
"Sesungguhnya
Allah memerintahkan agar berbuat baik terhadap segala sesuatu…. Hendaklah
kalian menajamkan pisau [yang akan dipakai] dan senangkanlah hewan yang akan
disembelih"—Hadith.
Di
abad ke-21, hewan menghilang. Kita memang melihat kambing dan sapi berderet di
pasar tepi jalan. Tapi bahkan di hari raya kurban, orang kota besar tak menemui
makhluk hidup itu. Ternak itu hanya komoditas, benda-benda yang muncul dalam
nilai tukar. Mereka dengan mudah dibeli dan dikirim ke tempat penyembelihan.
Dan dalam pesta makan yang asyik kemudian, ada sesuatu yang dilupakan—sesuatu
yang sebenarnya hari itu dikukuhkan kembali: pertalian manusia dengan apa yang
hidup dan yang mati.
Pertalian
itulah (yang diisyaratkan hadith, hingga kita harus "berbuat baik terhadap
segala sesuatu") yang membuat hari raya kurban tak dimaksudkan sebagai
hari pembantaian massal. Kematian hewan adalah saat yang khidmat. Ia secara
radikal berbeda dengan jam-jam produksi daging di abattoir Amerika, yang sejak
pertengahan kedua abad ke-20 didesain Grandin untuk meningkatkan efisiensi dan
laba. Di ruang-ruang pembunuhan itu, trauma, kesedihan, dan hal sejenisnya akan
dianggap pemborosan.
Di
situlah bedanya: hari raya kurban bukan hari yang acuh tak acuh. Di hari itu
kita sebenarnya tak hanya mendengar cerita tentang dahsyatnya iman Nabi
Ibrahim, tapi juga kesedihan hatinya yang dalam: pengorbanan itu amat besar
maknanya karena ada hubungan yang tak tergantikan antara yang akan mengorbankan
dan yang akan dikorbankan. Maka di hari kurban, manusia diharapkan peka akan
kekejaman yang akan dilakukan dan kesalahan yang bisa terjadi. Dengan pisau
yang terhunus, manusia tak pantas berlaku bengis. Nabi pernah menegur seseorang
yang sebelum menyembelih menginjakkan kakinya di atas pipi kambing seraya
mengasah pisau. Kekejaman tak boleh berkali-kali.
Di
rumah jagal modern, kekejaman bisa berkali-kali. Tapi dengan teknologi yang
berjarak. Manusia tak akan berbisik buat menyenangkan lembu yang akan dibunuh;
nyawa hanya angka. Para operator abattoir tak akan peduli bila yang akan
dipotong seekor sapi muda yang kemarin berdiri manis di padang rumput—sapi yang
tak tergantikan, sapi yang menitikkan air mata—bukan calon daging yang akan
diganti uang.
Kapitalisme,
atau sistem apa pun yang mengasingkan hidup dari kehidupan, membuat alam &
hewan hanya sebagai cadangan konsumsi yang dihitung. Orang lupa bahwa
"ada" berarti "menjadi-dengan-yang-lain". Tiap kali manusia
mengkonsumsi sesuatu, sesuatu pun berkorban, sesuatu pun dikorbankan.
Tapi
manusia rakus dan hewan diubah. Para satwa diletakkan dalam kotak;
"mereka" bukan lagi "kita". Dinding pemisah dibangun,
sering secara harfiah.
Dari
Jardin des Plantes, Paris, Rilke, sang penyair, melukiskan dinding pemisah itu
dalam sajaknya yang menyentuh, Der Panther. Di kebun itu ia lihat seekor macan
kumbang menatap ke luar dari kerangkengnya, tapi
Pandangannya, dari balik lintasan jeruji
jadi lelah, tak mampu menangkap
apa pun lagi. Seakan ada ribuan jeruji,
dan di belakang sana: dunia tak ada lagi.
Jardin
des Plantes, tempat macan itu disisihkan, dibangun pada 1793. Seperti London
Zoo (didirikan pada 1828) ia bagian dari zaman yang makin mendorong "the
cultural marginalization of animals" yang digambarkan John Berger: zaman
kerakusan, zaman kemajuan. Berger (dalam Why Look at Animals) memandang kebun
binatang sebagai "dukungan untuk kekuasaan kolonial modern". Ke Paris
dan London satwa negeri jajahan didatangkan sebagai bagian dari jarahan.
Dan
penjajahan tak hanya di situ. Hewan dibawa mendekat, tapi dihapus. Imajinasi
modern membuatnya hanya makhluk imitasi. Walt Disney menciptakan Donald Duck
pada 1934: si bebek berperilaku seperti warga kelas menengah Amerika. Dalam
kartun ini manusia adalah template—pola yang sebelumnya sudah tampak dalam The
Jungle Book Rudyard Kipling. Kita ingat tokohnya, Mowgli. Anak ini besar
bersama serigala di hutan India itu. Tapi di sekitarnya satwa liar yang berbudi
atau yang jahat tampil dalam wajah orang: si penyayang atau si pembenci. Di
akhir abad ke-19 itu, Kipling membaca sejarah hanya sebagai wacana manusia.
Bahkan baginya "manusia" adalah sang pembentuk peradaban, dan
peradaban adalah kolonisasi modernitas, tugas orang kulit putih, "the
white man's burden".
Tak
ada lagi sejarah lain. Dulu ada catatan tentang pertautan satwa dengan manusia.
Manusia menamai hewan dan memandang diri sendiri dengan nama itu: "Crazy
Horse" di Amerika, "Hayam Wuruk" di Majapahit. Hubungan mimetik
itu juga hubungan empatik: hewan adalah liyan, bukan imitasi; ia tak untuk
diringkus. Kerbau Si Binuang dalam cerita Cindur Mata punya misterinya sendiri.
Tentu,
hewan bisa jadi korban; ia "korban bakaran" dalam tradisi Yahudi dan
kurban sembelihan dalam Islam. Ia bisa diperlakukan hanya sebagai alat tukar
untuk beroleh sesuatu dari Tuhan. Tapi tak cuma itu. Jika kita ingat yang
menggantikan putra Ibrahim adalah seekor domba hidup, bukan benda, kita akan
sadar betapa akrab dan ambigunya hubungan sesama makhluk bernyawa.
Avamedhá,
upacara raja-raja Hindu, lebih menegaskan ambiguitas itu: antara kekuasaan dan
bukan kekuasaan, antara penaklukan dan ketakjuban. Seekor kuda dilepas ke timur
laut selama setahun. Bila ia memasuki wilayah yang bermusuhan, daerah itu harus
direbut. Ketika kuda itu akhirnya kembali, ia pun dibunuh—dengan upacara
pengorbanan yang penuh hormat.
Kekejaman,
kekuasaan, pengorbanan: agaknya manusia selalu diingatkan, ia hidup bersama
"hewan yang lain". Dalam arti tertentu, ia juga "hewan yang
lain". ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar