Sabtu, 01 September 2012

Taman Sari Keindonesiaan


Taman Sari Keindonesiaan
Airlangga Pribadi ;  Pengajar Departemen Politik Universitas Airlangga,
Kandidat PhD Asia Research Center Murdoch University
MEDIA INDONESIA, 01 September 2012


PADA saat usia Republik masih muda dan keutuhan Indonesia tengah menghadapi tantangan parokialisme dan ancaman sentimen etnosentris, Bung Karno tampil ke depan dengan menandaskan kebinekaan sebagai fondasi dan taman sarinya Indonesia. Dalam ungkapan Soekarno, ”Suku itu dalam bahasa Jawa artinya sikil, kaki. Jadi bangsa Indonesia banyak kakinya...ada kaki Jawa, kaki Sunda, kaki Sumatra, kaki Irian, kaki Dayak, kaki Bali, kaki Sumba, kaki peranakan Tionghoa...kaki daripada satu tubuh, tubuh bangsa Indonesia.”

Pendeknya tubuh Indonesia berjalan dan hidup dengan banyak kaki yang menopangnya. Langkah dinamis tubuh Indonesia untuk maju ke depan melayani kehendak bersama dapat diwujudkan ketika setiap kaki yang menopangnya diperlakukan setara dalam ruang politik yang menjunjung tinggi solidaritas, rasa saling percaya yang tak lagi 
mempersoalkan akar identitas dari kaki-kaki yang menopangnya. Sementara runtuhnya tubuh Indonesia perlahan akan terjadi ketika setiap kaki saling menghantam satu sama lain dan problem identitas asal ini selalu diangkat untuk dipersengketakan atas nama kepentingan satu kelompok di atas kehendak hidup bersama.

Meskipun persoalan parokialisme golongan merupakan persoalan lama yang umurnya setua Republik ini, agaknya masalah itu tidak pernah surut ditampilkan dalam arena politik. Terutama dalam momen-momen prosesi politik seperti pemilu nasional maupun pemilu daerah, kesempatan bagi rakyat untuk ikut menentukan nasibnya dengan memilih pemimpin yang akan bekerja demi perbaikan nasib mereka bertemu dengan tantangan pemanfaatan sentimen-sentimen atas nama suku, agama, ras dan antargolongan yang dimanfaatkan untuk kepentingan elite dengan memangsa kehendak hidup bersama.

Membaca kondisi demikian sebenarnya Indonesia bukanlah sebuah perkecualian. Setiap negara yang tengah membangun kaki-kaki demokrasi adalah jamak menghadapi persoalan sentimen-sentimen primordialisme seperti ini. Seperti diutarakan oleh profesor politik dari Columbia University Jack Snyder (2000) dalam karyanya, From Voting to Violence: Democratization and Nationalist Conflict, bahwa proses demokrasi pemilu tidak selalu berujung pada demokrasi. Momen itu bisa mengarah pada lintasan lain yaitu merebaknya sentimensentimen etnik, agama, dan golongan yang dimanipulasi oleh para entrepreneur politik dengan membiakkan sentimen antarkelompok.

Suasana kebebasan politik yang tercipta dalam negara yang tengah melewati demokrasi ialah ibarat membuka kotak pandora. Terutama pada masyarakat plural yang mengalami lingkungan politik otoritarian seperti Indonesia, maka kebencian kepada satu kelompok sangat mudah dieksploitasi sebagai alat politis untuk menghancurkan nilai-nilai keadaban publik.

Sebagai contoh ketimpangan sosial antara kaya dan miskin yang terjadi sebagai imbas struktural dari berjalannya sebuah rezim otoritarian yang mengedepankan logika pertumbuhan di atas pemerataan, begitu mudah dibelokkan atas nama isu fiktif tentang dominasi etnik minoritas di atas kelompok mayoritas. Dalam kondisi demikian, pemilihan umum menjadi ajang meringkus dan menebas salah satu suku/kaki/sikil dari fondasi kebangsaan sekaligus pemanfaatan suasana tersebut bagi sekelompok kekuatan politik untuk memangsa ruang publik dan mengakumulasi modal ekonomi-politik.

Keadaban Publik

Demikianlah perjalanan Republik meniti titian demokrasi membutuhkan beberapa persyaratan untuk menciptakan keadilan sosial bagi segenap warganya. Proses berdemokrasi setidaknya membutuhkan tiga hal. Pertama, tegaknya supremasi hukum yang menjamin kesetaraan sosial. Kedua, bekerjanya institusi publik yang memfasilitasi kehendak bersama. Ketiga, hadirnya aksi kolektif antara aktor-aktor negara dan masyarakat sipil yang dibalut oleh suasana solidaritas inklusif.

Terkait dengan tegaknya supremasi hukum, ada baiknya kita membuka kembali sebuah tesis klasik kearifan civicrepublicanism yang bersandar pada argumen bahwa supre masi hukum harus ditegakkan bukan untuk membonsai kebebasan, melainkan untuk menumbuhkembangkan kebebasan agar menciptakan suasana hilangnya dominasi satu kelompok atas kelompok lainnya dan memperkuat tali keadaban publik. Supremasi hukum berkarakter demokratik harus tegak dan ditopang segenap aparatusnya dengan sikap tegas terhadap kelompok yang menyebarkan kebencian dan bermaksud mendominasi ruang publik untuk menghancurkannya sebagai wilayah hidup bersama.

Sehubungan dengan bekerjanya institusi publik untuk memfasilitasi kehendak bersama, persoalan utama bukanlah semata-mata pada lemahnya pembangunan kapasitas aparat yang menjalankannya, melainkan terletak pada konteks struktural yaitu ketika kinerja pemerintahan beserta institusi publik yang ada di dalamnya dimanfaatkan untuk kepentingan aktor-aktor politik mulai tindakan koruptif. Seperti diutarakan oleh kandidat Gubernur Jakarta dari jalur independen, Faisal Basri (2012), misalnya, bagaimana mungkin anggaran pendidikan sebesar Rp10 triliun, namun dari 2.500 sekolah masih ada yang rusak, dengan gaji guru sebesar Rp500 ribu. Pada kondisi demikian isu-isu etnik maupun sentimen agama kerap digunakan untuk meredam masalah konkret tidak bekerjanya institusi publik untuk kepentingan bersama.

Pada akhirnya berjalannya demokrasi di tingkat nasional maupun lokal ditentukan oleh kerja sama pemimpin dan warga dalam kerangka solidaritas dari setiap entitas Republik yang beragam. Dalam konteks membangun inklusivitas (keterbukaan) bagi penguatan aksi kolektif ini, peran agama menjadi penting bukan untuk me nempatkan satu kelompok lebih dominan daripada yang lain, namun nilai-nilai etis agama penting sebagai roh bagi pemuliaan kehidupan setiap warga negara. Terinspirasi oleh ungkapan almarhum Nurcholish Madjid (1999) dalam karyanya, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, bahwa relevansi Islam dan agama-agama lain di Indonesia bukan terletak pada formalisme maupun superioritas kelompok, melainkan pada manifestasi nilai-nilai universalnya untuk menciptakan hubungan sosial yang luhur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar