Taman Sari
Keindonesiaan
Airlangga Pribadi ; Pengajar Departemen
Politik Universitas Airlangga,
Kandidat PhD Asia
Research Center Murdoch University
|
MEDIA
INDONESIA, 01 September 2012
PADA saat usia Republik masih muda dan keutuhan Indonesia tengah
menghadapi tantangan parokialisme dan ancaman sentimen etnosentris, Bung Karno
tampil ke depan dengan menandaskan kebinekaan sebagai fondasi dan taman sarinya
Indonesia. Dalam ungkapan Soekarno, ”Suku itu dalam bahasa Jawa artinya sikil,
kaki. Jadi bangsa Indonesia banyak kakinya...ada kaki Jawa, kaki Sunda, kaki
Sumatra, kaki Irian, kaki Dayak, kaki Bali, kaki Sumba, kaki peranakan
Tionghoa...kaki daripada satu tubuh, tubuh bangsa Indonesia.”
Pendeknya tubuh Indonesia berjalan dan hidup dengan banyak kaki
yang menopangnya. Langkah dinamis tubuh Indonesia untuk maju ke depan melayani
kehendak bersama dapat diwujudkan ketika setiap kaki yang menopangnya diperlakukan
setara dalam ruang politik yang menjunjung tinggi solidaritas, rasa saling
percaya yang tak lagi
mempersoalkan akar identitas dari kaki-kaki yang
menopangnya. Sementara runtuhnya tubuh Indonesia perlahan akan terjadi ketika
setiap kaki saling menghantam satu sama lain dan problem identitas asal ini
selalu diangkat untuk dipersengketakan atas nama kepentingan satu kelompok di
atas kehendak hidup bersama.
Meskipun persoalan parokialisme golongan merupakan persoalan lama
yang umurnya setua Republik ini, agaknya masalah itu tidak pernah surut
ditampilkan dalam arena politik. Terutama dalam momen-momen prosesi politik
seperti pemilu nasional maupun pemilu daerah, kesempatan bagi rakyat untuk ikut
menentukan nasibnya dengan memilih pemimpin yang akan bekerja demi perbaikan nasib mereka bertemu dengan tantangan pemanfaatan
sentimen-sentimen atas nama suku, agama, ras dan antargolongan yang
dimanfaatkan untuk kepentingan elite dengan memangsa kehendak hidup bersama.
Membaca kondisi demikian sebenarnya Indonesia bukanlah sebuah
perkecualian. Setiap negara yang tengah membangun kaki-kaki demokrasi adalah
jamak menghadapi persoalan sentimen-sentimen primordialisme seperti ini. Seperti
diutarakan oleh profesor politik dari Columbia
University Jack Snyder (2000) dalam karyanya, From Voting to Violence: Democratization and Nationalist Conflict,
bahwa proses demokrasi pemilu tidak selalu berujung pada demokrasi. Momen itu
bisa mengarah pada lintasan lain yaitu merebaknya sentimensentimen etnik,
agama, dan golongan yang dimanipulasi oleh para entrepreneur politik dengan
membiakkan sentimen antarkelompok.
Suasana kebebasan politik yang tercipta dalam negara yang tengah
melewati demokrasi ialah ibarat membuka kotak pandora. Terutama pada masyarakat
plural yang mengalami lingkungan politik otoritarian seperti Indonesia, maka
kebencian kepada satu kelompok sangat mudah dieksploitasi sebagai alat politis
untuk menghancurkan nilai-nilai keadaban publik.
Sebagai contoh ketimpangan sosial antara kaya dan miskin yang
terjadi sebagai imbas struktural dari berjalannya sebuah rezim otoritarian yang
mengedepankan logika pertumbuhan di atas pemerataan, begitu mudah dibelokkan
atas nama isu fiktif tentang dominasi etnik minoritas di atas kelompok
mayoritas. Dalam kondisi demikian, pemilihan umum menjadi ajang meringkus dan
menebas salah satu suku/kaki/sikil dari fondasi kebangsaan sekaligus
pemanfaatan suasana tersebut bagi sekelompok kekuatan politik untuk memangsa
ruang publik dan mengakumulasi modal ekonomi-politik.
Keadaban Publik
Demikianlah perjalanan Republik meniti titian demokrasi
membutuhkan beberapa persyaratan untuk menciptakan keadilan sosial bagi segenap
warganya. Proses berdemokrasi setidaknya membutuhkan tiga hal. Pertama,
tegaknya supremasi hukum yang menjamin kesetaraan sosial. Kedua, bekerjanya
institusi publik yang memfasilitasi kehendak bersama. Ketiga, hadirnya aksi
kolektif antara aktor-aktor negara dan masyarakat sipil yang dibalut oleh
suasana solidaritas inklusif.
Terkait dengan tegaknya supremasi hukum, ada baiknya kita membuka kembali
sebuah tesis klasik kearifan civicrepublicanism yang bersandar pada argumen
bahwa supre masi hukum harus ditegakkan bukan untuk membonsai kebebasan,
melainkan untuk menumbuhkembangkan kebebasan agar menciptakan suasana hilangnya
dominasi satu kelompok atas kelompok lainnya dan memperkuat tali keadaban
publik. Supremasi hukum berkarakter demokratik harus tegak dan ditopang segenap
aparatusnya dengan sikap tegas terhadap kelompok yang menyebarkan kebencian dan
bermaksud mendominasi ruang publik untuk menghancurkannya sebagai wilayah hidup
bersama.
Sehubungan dengan bekerjanya institusi publik untuk memfasilitasi
kehendak bersama, persoalan utama bukanlah semata-mata pada lemahnya
pembangunan kapasitas aparat yang menjalankannya, melainkan terletak pada
konteks struktural yaitu ketika kinerja pemerintahan beserta institusi publik
yang ada di dalamnya dimanfaatkan untuk kepentingan aktor-aktor politik mulai
tindakan koruptif. Seperti diutarakan oleh kandidat Gubernur Jakarta dari jalur
independen, Faisal Basri (2012), misalnya, bagaimana mungkin anggaran
pendidikan sebesar Rp10 triliun, namun dari 2.500 sekolah masih ada yang rusak,
dengan gaji guru sebesar Rp500 ribu. Pada kondisi demikian isu-isu etnik maupun
sentimen agama kerap digunakan untuk meredam masalah konkret tidak bekerjanya
institusi publik untuk kepentingan bersama.
Pada akhirnya berjalannya
demokrasi di tingkat nasional maupun lokal ditentukan oleh kerja sama pemimpin
dan warga dalam kerangka solidaritas dari setiap entitas Republik yang beragam.
Dalam konteks membangun inklusivitas (keterbukaan) bagi penguatan aksi kolektif
ini, peran agama menjadi penting bukan untuk me nempatkan satu kelompok lebih
dominan daripada yang lain, namun nilai-nilai etis agama penting sebagai roh
bagi pemuliaan kehidupan setiap warga negara. Terinspirasi oleh ungkapan
almarhum Nurcholish Madjid (1999) dalam karyanya, Cita-Cita Politik Islam Era
Reformasi, bahwa relevansi Islam dan agama-agama lain di Indonesia bukan
terletak pada formalisme maupun superioritas kelompok, melainkan pada
manifestasi nilai-nilai universalnya untuk menciptakan hubungan sosial yang
luhur. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar