Rencana Kenaikan
Tarif Listrik
Komaidi Notonegoro ; Wakil Direktur ReforMiner
Institute
|
SINDO
, 03 September 2012
Berdasarkan
RAPBN 2013, pemerintah merencanakanakanmenaikkantarif tenaga listrik (TTL) pada
2013. Penaikan tersebut akan dilakukan secara otomatis setiap tiga bulan. Itu
dilakukan sebagai upaya menurunkan beban subsidi energi.
Dalam
sudut pandang anggaran, sebagian pihak menilai rencana tersebut merupakan hal
yang lumrah dan rasional. Itu jika mengingat anggaran subsidi energi pada 2013
direncanakan Rp274 triliun atau setara 18,22 % penerimaan negara saat itu. Dari
jumlah tersebut, alokasi subsidi listrik ditetapkan Rp80,9 triliun atau
meningkat 24,44% dari subsidi listrik yang ditetapkan dalam APBN-P 2012.
Terkait kebijakan energi termasuk penyesuaian tarif listrik, argumentasi yang sering disampaikan adalah anggaran akan jauh lebih produktif jika dialokasikan untuk membiayai infrastruktur, pendidikan, atau kesehatan.Hal lain,dengan penyesuaian tarif listrik, kinerja keuangan PLN diyakini akan menjadi lebih baik. Sehingga infrastruktur kelistrikan dan rasio elektrifikasi nasional yang saat ini masih sekitar 70% dapat ditingkatkan lagi.
Dalam konteks produktivitas anggaran dan keadilan atas akses listrik, argumentasi itu juga relatif dapat dipahami oleh sebagian pihak.Ketersediaan dan kualitas infrastruktur, akses terhadap pendidikan, dan kualitas kesehatan, yang saat ini relatif masih rendah secara logis dapat ditingkatkan lagi jika sebagian anggaran subsidi energi direlokasikan untuk itu.Terkait keadilan untuk memperoleh akses listrik, perspektifnya juga tidak lagi hanya memikirkan sekitar 70% masyarakat yang telah mendapatkan akses listrik, namun juga memikirkan sekitar 30% masyarakat yang hingga 67 tahun kemerdekaan belum juga mendapat akses listrik.
Fokus dan Prioritas
Mengingat kondisi yang ada, pemerintah tentunya perlu memilih prioritas dalam pelaksanaan kebijakan energi. Itu karena kebijakan energi nasional saat ini dihadapkan pada masalah yang kompleks. Beban subsidi yang besar pada dasarnya bukan hanya akibat tarif listrik yang masih disubsidi. Tetapi, permasalahan sektor minyak dan gas nasional yang jauh lebih kompleks, juga mengharuskan pemerintah menyediakan anggaran subsidi BBM dan LPG dalam jumlah yang jauh lebih besar.
Kebutuhan minyak dan gas nasional yang meningkat,sementara produksi nasional terus menurun mengharuskan pemerintah untuk mengimpor tidak kurang dari 40% kebutuhan nasional. Kondisi tersebut semakin memberatkan keuangan negara mengingat impor yang dilakukan dalam bentuk produk jadi,akibat penambahan kapasitas kilang domestik belum direalisasikan.
Secara teknis dan bisnis, penyediaan minyak dan gas membutuhkan waktu dan biaya yang lebih dibandingkan penyediaan tenaga listrik. Peningkatan produksi migas dan/atau pembangunan kilang tidak dapat dilakukan dalam jangka pendek terlebih hanya dalam jangka waktu satu tahun anggaran. Karena itu, terkait anggaran dan penyediaannya dalam satu tahun anggaran, pilihannya hanya ada dua yaitu menambah alokasi anggaran subsidi atau melakukan penaikan harga.
Sedangkan dalam penyediaan tenaga listrik, relatif masih terdapat ruang gerak atau celah bagi pemerintah untuk melakukan intervensi. Jika produksi listrik pembangkit yang menggunakan BBM dapat disubstitusi dengan penggunaan gas dan/atau batu bara, berpotensi menurunkan biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik dalam jumlah signifikan. Itu karena biaya produksi listrik dengan menggunakan BBM sekitar Rp3.500 per kWh.
Sedangkan jika menggunakan gas atau batu bara,biaya produksi dapat turun hingga menjadi Rp600– 700 per kwh. Biaya penyediaan listrik juga berpotensi dapat diturunkan lagi jika porsi produksi listrik dari tenaga air yang biayanya relatif jauh lebih murah dapat ditingkatkan. Dibandingkan dengan penyediaan BBM, penyediaan energi primer pembangkit paling tidak sampai saat ini masih mampu dipenuhi oleh domestik.
Karena itu,penurunan beban subsidi listrik sesungguhnya masih memungkinkan dapat dilakukan tanpa harus menaikkan tarif tenaga listrik. Berdasarkan pertimbangan beban subsidi, teknis-bisnis, dan permasalahan dalam proses penyediaannya sebagaimana disampaikan, penataan kebijakan subsidi BBM sesungguhnya lebih prioritas dibandingkan dengan subsidi listrik.
Akan tetapi, jika pemerintah menggunakan pertimbangan nonteknis-bisnis (politis) dapat saja prioritasnya menjadi berbeda. Hal lain yang perlu menjadi perhatian, apa pun pilihan kebijakan yang akan diambil, dampak inflasi atas itu tidak dapat terhindarkan dan hanya dapat diminimalkan. Dalam hal ini, yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah meminimalkan dampaknya, termasuk meminimalkan rencana yang kemudian hanya menjadi wacana. ●
Terkait kebijakan energi termasuk penyesuaian tarif listrik, argumentasi yang sering disampaikan adalah anggaran akan jauh lebih produktif jika dialokasikan untuk membiayai infrastruktur, pendidikan, atau kesehatan.Hal lain,dengan penyesuaian tarif listrik, kinerja keuangan PLN diyakini akan menjadi lebih baik. Sehingga infrastruktur kelistrikan dan rasio elektrifikasi nasional yang saat ini masih sekitar 70% dapat ditingkatkan lagi.
Dalam konteks produktivitas anggaran dan keadilan atas akses listrik, argumentasi itu juga relatif dapat dipahami oleh sebagian pihak.Ketersediaan dan kualitas infrastruktur, akses terhadap pendidikan, dan kualitas kesehatan, yang saat ini relatif masih rendah secara logis dapat ditingkatkan lagi jika sebagian anggaran subsidi energi direlokasikan untuk itu.Terkait keadilan untuk memperoleh akses listrik, perspektifnya juga tidak lagi hanya memikirkan sekitar 70% masyarakat yang telah mendapatkan akses listrik, namun juga memikirkan sekitar 30% masyarakat yang hingga 67 tahun kemerdekaan belum juga mendapat akses listrik.
Fokus dan Prioritas
Mengingat kondisi yang ada, pemerintah tentunya perlu memilih prioritas dalam pelaksanaan kebijakan energi. Itu karena kebijakan energi nasional saat ini dihadapkan pada masalah yang kompleks. Beban subsidi yang besar pada dasarnya bukan hanya akibat tarif listrik yang masih disubsidi. Tetapi, permasalahan sektor minyak dan gas nasional yang jauh lebih kompleks, juga mengharuskan pemerintah menyediakan anggaran subsidi BBM dan LPG dalam jumlah yang jauh lebih besar.
Kebutuhan minyak dan gas nasional yang meningkat,sementara produksi nasional terus menurun mengharuskan pemerintah untuk mengimpor tidak kurang dari 40% kebutuhan nasional. Kondisi tersebut semakin memberatkan keuangan negara mengingat impor yang dilakukan dalam bentuk produk jadi,akibat penambahan kapasitas kilang domestik belum direalisasikan.
Secara teknis dan bisnis, penyediaan minyak dan gas membutuhkan waktu dan biaya yang lebih dibandingkan penyediaan tenaga listrik. Peningkatan produksi migas dan/atau pembangunan kilang tidak dapat dilakukan dalam jangka pendek terlebih hanya dalam jangka waktu satu tahun anggaran. Karena itu, terkait anggaran dan penyediaannya dalam satu tahun anggaran, pilihannya hanya ada dua yaitu menambah alokasi anggaran subsidi atau melakukan penaikan harga.
Sedangkan dalam penyediaan tenaga listrik, relatif masih terdapat ruang gerak atau celah bagi pemerintah untuk melakukan intervensi. Jika produksi listrik pembangkit yang menggunakan BBM dapat disubstitusi dengan penggunaan gas dan/atau batu bara, berpotensi menurunkan biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik dalam jumlah signifikan. Itu karena biaya produksi listrik dengan menggunakan BBM sekitar Rp3.500 per kWh.
Sedangkan jika menggunakan gas atau batu bara,biaya produksi dapat turun hingga menjadi Rp600– 700 per kwh. Biaya penyediaan listrik juga berpotensi dapat diturunkan lagi jika porsi produksi listrik dari tenaga air yang biayanya relatif jauh lebih murah dapat ditingkatkan. Dibandingkan dengan penyediaan BBM, penyediaan energi primer pembangkit paling tidak sampai saat ini masih mampu dipenuhi oleh domestik.
Karena itu,penurunan beban subsidi listrik sesungguhnya masih memungkinkan dapat dilakukan tanpa harus menaikkan tarif tenaga listrik. Berdasarkan pertimbangan beban subsidi, teknis-bisnis, dan permasalahan dalam proses penyediaannya sebagaimana disampaikan, penataan kebijakan subsidi BBM sesungguhnya lebih prioritas dibandingkan dengan subsidi listrik.
Akan tetapi, jika pemerintah menggunakan pertimbangan nonteknis-bisnis (politis) dapat saja prioritasnya menjadi berbeda. Hal lain yang perlu menjadi perhatian, apa pun pilihan kebijakan yang akan diambil, dampak inflasi atas itu tidak dapat terhindarkan dan hanya dapat diminimalkan. Dalam hal ini, yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah meminimalkan dampaknya, termasuk meminimalkan rencana yang kemudian hanya menjadi wacana. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar