Minggu, 01 April 2018

Mengembalikan Rasionalitas ke Ranah Politik

Mengembalikan Rasionalitas ke Ranah Politik
Afriadi Rosdi   ;   Ketua Pusat Studi Literasi Media; 
Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi Politik STIKOM-InterStudi, Jakarta
                                                    DETIKNEWS, 19 Maret 2018



                                                           
Himbauan menghentikan penyebaran kebencian dan hoax di media sosial semakin gencar keluar dari mulut banyak pihak. Dari pihak pemerintahan, Menko Polhukam Wiranto, Mendagri Tjahjo Kumolo, Kapolri, sampai Presiden tak bosan-bosannya mengulang-ulang pesan ini dalam banyak kesempatan. MUI juga sudah mengeluarkan fatwa bahwa ujaran kebencian dan hoax adalah haram, dan juga mengulang-ulangnya dalam banyak kesempatan.

Indonesia memang sedang mengalami fakta pahit dalam dinamika kehidupan politiknya, di mana rasionalitas menjauh dalam kehidupan politik, ditukar oleh faktor emosi dan "kebenaran saya". Sudah marak sejak kontestasi Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu, dan tak pernah berhenti hingga sekarang. Semakin marak dan canggihnya ujaran kebencian dan hoax di media sosial adalah indikasi kasat mata.

Penangkapan aktor-aktor MCA (Muslim Cyber Army) oleh kepolisian seakan membuka kotak pandora betapa rasionalitas sudah begitu tumpul. Bahkan akademisi dan dosen, kelompok masyarakat yang kehidupan kesehariannya, harusnya, kental dengan rasionalitas dan objektivitas, ikut terlibat dalam MCA.

Indonesia tertinggal sekitar satu tahun dibanding negara Amerika dan Eropa dalam fenomena raibnya rasionalitas dalam politik ini. Kedengarannya masih mending, tapi tetap tak bisa diterima. Amerika Serikat, negara pesohor kiblat bagi penelitian ilmu-ilmu sosial politik, sudah terjangkit penyakit ini ketika pemilu Presiden 2016. Terpilihnya Donald Trump, yang berkampanye dengan mengangkat isu-isu sentimen ras, agama, dan warna kulit dinilai sebagai tonggak menyingkirnya rasionalitas dalam politik.

Di Eropa, fenomena ini ditandai dengan keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit), dukungan yang berkembang untuk partai politik seperti Front Nasional Prancis, yang dipimpin oleh Marine Le Pen, atau Partai Liberal Belanda (PVV) yang dipimpin oleh Geert Wilders, dan sebagainya.

Raibnya rasionalitas dalam politik melahirkan sebuah istilah populer dalam perbendaharaan kamus politik, yaitu Post-Truth. Kata ini digelari word of the year 2016 oleh Oxford Dictionary. Menurut Llorente (2017) istilah post-truth merujuk pada kondisi sosial-politik di mana "objectivity and rationality give way to emotions, or to a willingness to uphold beliefs even though the facts show otherwise" (objektivitas dan rasionalitas memberi jalan kepada emosi, atau keinginan untuk berpihak pada keyakinan meskipun fakta menunjukkan sebaliknya.)

Di era post-truth, kata Fransisco Rosales (2017), apa yang tampaknya benar, menjadi lebih penting daripada kebenaran itu sendiri. Kebenaran yang dimaksud di sini adalah sesuatu yang bersumber pada rasio, fakta, dan objektivitas. Sementara "benar" adalah kategorisasi yang berdasarkan pada keyakinan diri, emosi. Tolok ukurnya adalah "kebenaran saya", tak perlu melalui tahapan uji publik dan diskursus. Akhirnya, fakta objektif kurang berpengaruh terhadap opini publik daripada seruan terhadap emosi dan kepercayaan.

Dalam keadaan situasi politik bersumber pada "kebenaran saya", maka sesuatu yang bertentangan dengan "kebenaran saya" itu boleh dibasmi dengan cara apapun termasuk dengan cara menyebarkan kebencian, persekusi, dan hoax. Itu berarti adalah awal mula dari lahirnya barbarisme dalam politik, sumber bagi kekacauan sosial. Dan, ketika kondisi "kebenaran saya" itu dimanfaatkan oleh politisi demagogis, tokoh populisme (baik yang berada di kekuasaan maupun dalam masyarakat), maka yang akan terlihat adalah realitas sosial politik yang sangat buruk bagi kenyamanan sosial-kemasyarakatan.

Anak Kandung Demokrasi

Rasionalitas sejatinya adalah anak kandung demokrasi, sistem politik yang dipakai oleh negara-negara yang terjangkit penyakit post-truth tersebut, termasuk Indonesia. Demokrasi berjalan sehat ketika terjadi perang ide dan program, yang berbasis pada kekuatan argumentasi dan rasio-logis, dalam upaya mewujudkan cita-cita demokrasi, yaitu mewujudkan kesejahteraaan seluas-luasnya untuk rakyat.

Demokrasi nihil tanpa rasionalitas. Rasionalitas pun sulit berkembang dalam dunia politik tanpa demokrasi. Demokrasi tanpa rasionalitas akan terjerumus kepada diktatoriat dan fasisme. Dalam pemerintahan diktator yang berlaku adalah kekuasaan yang powerfull, memaksa, menindas. Tak ada tempat bagi suara yang mengritik pemerintah. Dalam fasisme yang dituntut adalah kepatuhan. Ide dan argumentasi tak dibutuhkan dalam dikatoriat dan fasisme. Rakyat boleh berpendapat kalau diminta, tapi ide tersebut tak boleh dilempar ke publik kecuali sudah disetujui oleh yang berkuasa.

Merujuk Jurgen Habermas, filosof Jerman, kekuatan argumen yang bersandar pada rasionalitas merupakan roh bagi demokrasi. Prinsip dasarnya, kekuasaan dalam sistem demokrasi mendapatkan legitimasinya ketika semua keputusannya lolos uji dalam diskursus publik sehingga dapat diterima secara intersubjektif oleh semua warga negara. Hal ini mengandaikan adanya warga negara yang rasional, cerdas, dan argumentatif dalam menguji dan membincang keputusan-keputusan pemerintah tersebut.

Jadi dalam praksis demokrasi, terjadinya diskursus (adu argumentasi yang sehat dan objektif) dan tersedianya warga negara yang rasional dalam melahirkan diskursus merupakan prasyarat bagi lahirnya kehidupan demokrasi yang sehat. Ruang publik adalah tempat semua kebijakan diuji oleh warga negara, itu dalam artian pasif. Dalam artian aktif, warga negara dengan kekuatan rasio dan argumentasinya, juga bisa menyodorkan opini dan program kepada pemerintah melalui saluran demokrasi yang tersedia.

Di kala rasionalitas lebih mengemuka, maka pertentangan opini di tengah masyarakat berjalan dinamis, penuh warna dan menggairahkan. Perdebatan melahirkan gagasan brilian untuk kepentingan umum dan kesejahteraan rakyat. Kebenaran ujaran agama, bahwa perbedaan itu rahmat, akan kita temui dalam diskursus rasional ini.

Antisipasi

Kita bersyukur ada ketegasan dari pemerintah untuk mengantisipasi efek buruk menipisnya rasionalitas ini. Mengendalikan stabilitas sosial politik dan harmonisasi kehidupan bernegara dengan menindak tegas para penyebar ujaran kebencian dan hoax. Itu bagus tapi harus diakui tak cukup. Itu masih bersifat pekerjaan memadamkan letupan-letupan. Tapi sumber apinya sendiri masih sangat besar dalam relung-relung politik Indonesia.

Hal yang perlu dilakukan adalah gerakan penyadaran kepada masyarakat tentang betapa super-bahayanya mengedepankan emosionalitas dan "kebenaran saya" dalam politik. Pertama, mengancam keutuhan NKRI. Kemerosotan gagasan dan nilai kebenaran dalam politik merupakan bahaya bagi masyarakat. Skenario sosial politik yang paling mungkin terjadi adalah meningkatnya intoleransi dan keterbelahan dalam masyarakat.

Dan, itu sesuatu yang tak produktif bagi keberlansungan keutuhan bangsa Indonesia yang terdiri dari beragam suku, agama, bahasa, warna kulit, dan identitas politik ini. Seringkali disampaikan oleh banyak pihak, bahwa Indonesia bisa bubar jalan sebagai negara, hancur berkeping seperti negara Soviet dan Yugoslavia dulu, kalau keragaman ini tidak dipelihara dan dimenej dengan baik.

Kedua, kekacauan yang disebabkan oleh hilangnya rasional merupakan stimulasi bagi kembalinya totalitarianisme. Demokrasi Indonesia masih dalam tahap konsolidasi. Pekerjaan konsolidasi demokrasi kita belum selesai. Elemen-elemen penyangga demokrasi masih dalam tahap penguatan dan penyempurnaan. Bolongnya masih banyak.

Tapi, kita bersyukur ada niat baik untuk terus memperbaiki diri, sehingga indikasinya semakin baik, terlihat dari Indeks Demokrasi Indonesia (IDI). Seperti dilansir oleh BPS, IDI tahun 2016 mencapai 70,09 dalam skala indeks 0-100, meski turun dibanding IDI pada 2015, yang mencapai 72,82.

Politik kebencian dan hoax yang sangat potensial mengacaukan stabilitas itu bisa menjadi bumerang bagi demokrasi yang semakin terkonsolidasi ini. Keutuhan dan stabilitas bangsa adalah segalanya. Sementara demokrasi hanya salah satu cara dalam mengelola negara. Cara lain adalah totalitarianisme, dan kita sudah pernah melewati itu. Totalitarianisme itu bisa dikembalikan lagi oleh militer sekiranya masyarakat dan pemerintah gagal mengelola keragaman sehingga berbahaya bagi keutuhan bangsa.

Tak bisa dibantah bahwa elite-elite politik ikut bermain memanfaatkan emosi dan keyakinan warga negara. Demi tujuan-tujuan politik pribadi dan kelompoknya, hilangnya rasionalitas di tengah warga negara dimanfaatkan sebagai jembatan merebut sumber-sumber kekuasaan. Kebenaran dimanipulasi, emosionalitas diaduk, penafsiran agama diselewengkan.

Sudah saatnya para elit menyadari betapa berbahayanya permainan politik emosi ini. Bisa dipastikan bahwa eskalasi kebencian dan hoax di tengah masyarakat akan tereliminasi, makin lama makin hilang, jika para elite politik, atau kompetitor di pilkada, pemilu legislatif (pileg) serta pilpres memainkan politik rasional, adu program dan gagasan dalam merebut simpati dan suara masyarakat. Monggo!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar