Sawah Fiktif
Dahlan
Iskan ; Mantan CEO Koran Jawa Pos
|
GARDUDAHLAN.COM, 01 Juli 2015
Selasa
kemarin saya sangat lega. Pemeriksaan soal sawah “fiktif” di Bareskrim
selesai dengan cepat.
Saya
kemukakan bahwa saya memang memutuskan agar BUMN membuka sawah baru. Sawah
kita terus berkurang, penduduk terus bertambah.
Waktu
itu saya tidak mau BUMN minta-minta APBN. Banyak dana di BUMN yang bisa
dimanfaatkan lebih konkrit.
Proyek
sawah baru itu didanai dan dikerjakan secara gotong-royong oleh BUMN. Tidak
ada swastanya. Ada BUMN yang memang ahli tata-air. Ada BUMN yang ahli
pengolahan tanah.
Hutan
belukar yang sudah diubah menjadi lahan tertata mencapai 4.000 hektar. Yang
sudah dicoba ditanami padi mencapai lebih dari 1.000 hektar. Padi hasil tanaman
pertama ini tentu masih jauh dari memuaskan. Dan memang, secara ilmiah (dan
ini sudah diketahui sejak awal), sawah baru itu baru akan menghasilkan padi
secara baik setelah tahun keempat.
Mengapa?
Sifat
tanahnya harus terus diperbaiki. Penyakit-penyakit yang tersimpan di tanah
itu harus dibersihkan dari tahun ke tahun. Tata airnya harus terus
disempurnakan. Keasaman tanahnya harus terus disesuaikan.
Penanggungjawab
proyek ini adalah PT Sanghyang Seri, BUMN bidang pangan. Dana pengabdian
beberapa BUMN untuk pembukaan sawah fiktif ini, eh sawah baru ini, dikirim ke
Sanghyang Seri. Tidak ada yang dikirim ke, misalnya, kementerian BUMN atau ke
alamat lain.
Kontrak-kontrak
pengerjaan sawah itu, negosiasinya dan pembayarannya, semua dilakukan antara PT Sanghyang Seri dengan
para kontraktor BUMN sendiri. Tidak ada campur tangan kementerian.
Tiga
kali saya meninjau sawah itu. Salah satunya saya ke sana sendirian tanpa
memberitahu siapa pun. Saya harus melakukan evaluasi berdasarkan kenyataan di
lapangan.
Kemampuan
manajemennya pun saya evaluasi.
Saya
pernah marah besar saat meninjau lokasi tersebut
“Mengapa
tidak ada pintu air? Pintu air kan pintu pernafasannya?,” tanya saya.
“Tidak
boleh pak,” jawab pimpinan Sangyang Seri yang mendampingi saya.
“Siapa
yang melarang?”
“Orang
PU, pak,” katanya. “Karena PU sudah punya program akan membangun pintu air
tersebut”.
“Kapan?,”
“Tahun
depan, pak.”
Saya
tidak puas dengan jawaban itu. Manajemen yang tidak berani menerobos
birokrasi seperti itu saya anggap manajemen yang lemah.
Semula
saya ingin sawah baru ini sekaligus bisa jadi tonggak kebangkitan Sanghyang Seri setelah bertahun-tahun
terpuruk oleh berbagai kasus korupsi.
Kita
malu di negara yang ingin berswasembada pangan BUMN bidang pangannya sangat
lemah.
Rupanya
tubuh SHS sudah terlanjur sangat lemah.
Karena
itu saya putuskan proyek sawah baru ini dialihkan ke BUMN raksasa, PT Pupuk
Indonesia. Peralihan ini pun terhambat birokrasi. Memakan waktu
berbulan-bulan. Kegiatan di lapangan slow-down. Rumput mulai tumbuh lagi.
Setelah
peralihan beres, PT Pupuk Indonesia mulai menanam lagi. Secara bertahap. 100
hektar dulu. Dievaluasi. Lalu tanam lagi. Hasilnya kian baik. Saya memang
yakin PT Pupuk Indonesia mampu.
Lalu
saya berhenti menjadi menteri.
Kini
saya hanya bisa berharap proyek ini diteruskan. Siapa pun menterinya. Ribuan
petani di sana sudah sangat menanti…. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar