Alutsista Tua Para Pengawal Negeri
Hery
Ratno ; Military and Aviation Enthusiast
|
JAWA POS, 02 Juli 2015
TSUNAMI dahsyat 26 Desember 2004
meluluhlantakkan Serambi Makkah dan menewaskan ratusan ribu jiwa. TNI adalah
unsur pertama yang bergerak cepat mengevakuasi korban. Sayang, semangat para
prajurit untuk misi kemanusiaan tersebut terkendala minimnya alat utama
sistem persenjataan (alutsista) pendukung. Misi yang amat sulit karena
beratnya medan dan besarnya skala bencana itu akhirnya teratasi dengan
bantuan tim SAR negara sahabat yang dilengkapi helikopter, pesawat, dan
bahkan kapal rumah sakit terapung.
Bencana dahsyat tersebut memberikan pelajaran
bahwa TNI yang kuat dengan alutsista yang lengkap serta modern ternyata
sangat dibutuhkan untuk menunjang misi operasi militer selain perang.
Presiden SBY yang baru saja dilantik saat itu menyaksikan sendiri
kekurangberdayaan TNI lantaran minimnya dukungan alutsista.
Menyadari besarnya anggaran yang dibutuhkan,
presiden menyusun rencana modernisasi jangka panjang yang dinamakan Military
Essential Forces (MEF) tiga tahap. MEF I dilaksanakan 2009–2014 dengan target
30 persen penguatan dan modernisasi alutsista TNI. MEF tahap II 2014–2019 dan
tahap III 2019– 2024. Anggaran Rp 150 triliun pun digelontorkan untuk MEF
tahap I.
Saat ini, pemerintah sudah membeli lima kapal
perang landing platform dock (LPD) dari Korsel. Dua kapal terakhir sepenuhnya
dibuat PT PAL Surabaya. Kapal LPD yang berbobot mati 11.000 ton tersebut bisa
didarati dan menampung 3–5 helikopter dan dilengkapi fast landing craft.
Kapal itu juga mampu memuat berbagai peralatan berat untuk misi perang maupun
nonperang, mengakomodasi ribuan personel, dan menjadi kapal komando.
LPD pertama dikonversi menjadi kapal rumah
sakit dan dinamakan KRI dr Soeharso. Presiden pun membentuk Komite Kebijakan
Industri Pertahanan (KKIP) demi kemandirian industri alutsista untuk jangka
panjang. Sampai akhir 2014, ratusan alutsista baru berdatangan dari luar
negeri maupun dalam negeri. Namun, tetap saja modernisasi tersebut belum
mampu sepenuhnya menggantikan ribuan alutsista tua yang masih menjadi alat
TNI dalam menjalankan berbagai misi.
Pada tragedi AirAsia QZ8501, TNI dan Basarnas
tampil jauh lebih sigap serta profesional. Dukungan alutsista dan peralatan
yang jauh lebih baik daripada dekade sebelumnya membuat pencarian dan
evakuasi berjalan relatif cepat serta lancar. Tim SAR terpadu Indonesia itu
bahkan ditahbiskan pengamat sebagai tim SAR terbaik Asia.
Seandainya saat itu kapal survei
hidro-oseanografi tercanggih di Asia milik TNI-AL, KRI Rigel 933, yang
dipesan dari Prancis sudah datang, bisa jadi pencarian dan evakuasi jauh
lebih cepat serta akurat. Musibah tersebut semakin menguatkan fakta
pentingnya penguatan dan modernisasi alutsista TNI untuk misi operasi militer
selain perang.
Hercules A-1310 yang
Nahas
Salah satu alutsista tua yang tetap diandalkan
TNI adalah Hercules C-130, terutama seri B. Pada 1959, Presiden AS J.F.
Kennedy bersedia memberikan alutsista terbaru berupa 10 pesawat angkut berat
Hercules kepada Indonesia sebagai ’’barter’’ pembebasan Allen Pope, pilot
mantan CIA yang memperkuat AUREV- Permesta, yang pesawatnya ditembak jatuh
oleh P-51 Mustang yang dipiloti Kapten Dewanto.
Sepuluh pesawat yang terdiri atas delapan
varian transpor C-130B dan dua varian tanker KC-130B itu diterbangkan secara
feri ke tanah air dengan menempuh 13.000 mil laut pada 18 Maret 1960. Saat
itu, Indonesia menjadi negara pertama di luar AS yang mengoperasikan
Hercules. Dua pesawat tanker KC-130 tersebut diberi nomor registrasi A-1309
dan A-1310 yang lantas jatuh pada 30 Juni 2015 di Medan. Jadi, secara teknis,
Hercules A-1310 sudah mengabdi di negeri ini selama 55 tahun!
Saat ini, TNI mempunyai 30an Hercules berbagai
varian dan rata-rata telah uzur. Penambahan terakhir sembilan Hercules C-130H
dilakukan pada 2014 dengan empat pesawat berstatus hibah dan lima lainnya
dibeli. Jenis Hercules bekas pakai AU Australia itu lebih baru dari milik
TNI, meski bukan yang terbaru. Varian terbaru, C-130J, berbanderol selangit,
sekitar USD 67,3 juta (Rp 875 miliar) per unit.
Sampai saat ini, keandalan C-130 tetap tidak
tertandingi. Kompetitor Hercules, Airbus A-400M, belum beroperasi malah jatuh
di Spanyol saat uji terbang. Beberapa negara pemesan membatalkan pesanannya
dan beralih ke Hercules C-130J. Presiden Jokowi seyogianya menambah anggaran
pengadaan alutsista untuk TNI seiring membaiknya ekonomi.
Menurut World Bank, persentase anggaran
militer Indonesia dari GDP merupakan yang terendah di Asia. Berdasar laporan
2013, rasio anggaran terhadap GDP Indonesia adalah 0,90 persen, jauh di bawah
Singapura (3,30 persen); Brunei (2,60 persen); Vietnam (2,20 persen);
Tiongkok (2,10 persen); Timor Leste (1,80 persen); Kamboja (1,60 persen);
Malaysia (1,50 persen); Thailand (1,50 persen); dan Filipina (1,30 persen).
Berbagai pesawat tua semacam Hercules seri B,
penempur F-5E, dan pesawat intai maritim Nomad sudah wajib diganti. Meski
perawatan rutin dan modernisasi avionik telah dilakukan, struktur pesawat
pada saatnya tetap akan mengalami metal fatigue yang bisa berakibat fatal.
Belum lagi alutsista tua di matra lain seperti fregat kelas Ahmad Yani (Van
Speijk Class) buatan Belanda 1967 yang masih mengarungi samudra.
Bahkan, masih ada kapal LST peninggalan PD II
yang beroperasi! Juga, tank amfibi PT-76 yang telah uzur serta banyak lagi.
Prajurit TNI dikenal amat tangguh, militan, dan profesional. Tetapi, jangan
lagi ada prajurit perkasa pengawal kedaulatan negeri tercinta ini yang harus
gugur sia-sia karena alutsista tua yang tetap mereka gunakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar