NU, JIN, dan Tarkam
Akh
Muzakki ; Sekretaris PW NU Jawa Timur;
Profesor
Sosiologi Pendidikan UIN Sunan Ampel Surabaya
|
JAWA POS, 01 Juli 2015
TIDAK
semua muslim di negeri ini memiliki visi yang sama tentang keislaman dan
keindonesiaan. Kalau sekadar berbeda sih tidak terlalu menjadi masalah. Itu
mah biasa dalam dunia pergerakan pemikiran dan ekspresi atas pemikiran itu
dalam realitas yang dihadapi muslim di negeri yang berbeda-beda.
Namun,
kalau perbedaan tersebut telah menjauhkan publik dari prinsip-prinsip
rasionalitas akademik, tentu itu tidak mencerdaskan. Ya, publik muslim tidak
tercerahkan oleh dinamika intelektual. Apalagi jika telah terjadi pembusukan
(defaming) atas substansi
intelektual tersebut, tentu hal itu justru merugikan marwah muslim di ruang
publik.
Tengoklah
kasus agenda perhelatan lima tahunan kaum nahdliyin: Muktamar Ke-33 Nahdlatul
Ulama (NU). Tema yang diusung: ''Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban
Indonesia dan Dunia''.
Dalam
berbagai kesempatan, Gus Ipul (Saifullah Yusuf) selaku ketua panitia daerah
menjelaskan maksud tema itu: ''Kita semua tahu, negara-negara Islam seperti
di Yaman, Iraq, dan Syria saat ini mengalami gejolak. Mudah-mudahan model
Islam seperti Islam Nusantara yang sejuk ini mampu menjadi inspirasi bagi
mereka untuk hidup damai. Itulah yang kami harapkan dari diselenggarakannya
muktamar ini.''
Semangat
Islam Nusantara tersebut lalu mendapat penguatan. Bahkan, dalam pembukaan
acara istighotsah menyambut Ramadan dan Munas Alim Ulama NU di Masjid
Istiqlal, Jakarta (14/6/2015), Ketua Umum PB NU Prof KH Said Agil Siradj
menegaskan bahwa NU akan terus memperjuangkan dan mengawal model Islam
Nusantara.
Gayung
pun bersambut. Dalam pidatonya saat istighotsah dan pembukaan Munas Alim
Ulama NU itu, Presiden Jokowi pun mengapresiasi. Ini pernyataannya: ''Islam
kita adalah Islam Nusantara, Islam yang penuh sopan santun, Islam yang penuh
tata krama. Itulah Islam Nusantara, Islam yang penuh toleransi.''
Visi
itu tidak diamini seluruh publik muslim di negeri ini. Bahkan cenderung
disalahpahami. Intinya, tidak semua happy.
Hal itu ditunjukkan oleh posisi dan ekspresi mereka.
Buktinya,
eramuslim.com (19/06/2015), sebagaimana biasanya, melansir laporan reaksi
beberapa kelompok terhadap konsep Islam Nusantara tersebut. Judulnya pun
bombastis dengan mengutip sebuah pernyataan: ''Inilah Kesesatan Jemaat Islam
Nusantara (JIN)''.
Tampak,
posisi dan ekspresi mereka yang tidak happy
atas konsep Islam Nusantara jauh dari prinsip akademik. Mengapa begitu?
Mereka telah melupakan prinsip let the
data speak out (biarkan data berbicara) dalam dunia akademik.
Pasalnya,
membaca gagasan dari substansinya (reading
from below) lebih valid daripada berdasar persepsi (reading from above). Caranya, membiarkan gagasan -mulai penggunaan
diksi hingga konsepsi yang diusung- ''berbicara'' sendiri, bukan dibaca
dengan persepsi pembacanya. Konsekuensinya, kita diajari untuk tidak
menggunakan berbagai bentuk narasi dan penyifatan (labeling) yang justru tidak dibunyikan oleh data itu.
NU
dan siapa pun yang mengusung konsep Islam Nusantara tidak pernah sama sekali
melabeli diri dengan ''Jemaat Islam Nusantara'' yang lalu disingkat JIN.
Pengenaan istilah ''jemaat'' pada NU dan siapa pun yang mengusung konsep
Islam Nusantara tentu jauh dari prinsip let
the data speak out. Di situ telah muncul unsur ''kesengajaan'' untuk
melakukan praktik pembusukan. Apalagi singkatan itu memiliki konotasi negatif
dalam basis kognitif dan praktik sosiologis masyarakat muslim. Sebab, JIN
terucap dan terbunyikan sama dengan nama makhluk Allah yang dimusuhi,
sebagaimana tecermin pada Surah An-Nas dalam Alquran.
Substansi
argumen mereka yang tidak happy
dengan konsep Islam Nusantara sudah jauh dari konteks dimunculkannya konsep
itu. Mereka cenderung memelintir logika (twisting the logic) Islam Nusantara dengan memunculkan beberapa
poin gagasan yang justru bukan konsep Islam Nusantara seperti ''Islam
pendatang'', ''ambil Islam buang Arab'', ''ambil Islam buang salam'', ''ambil
tilawah Quran buang langgam Arabnya'', atau ''ambil Alquran buang bahasa
Arabnya''.
Praktik twisting the logic tersebut tentu menjauhkan publik muslim dari
prinsip kecerdasan di ruang akademik. Kalau hal tersebut terjadi secara terus-menerus di internal
sekelompok muslim di negeri ini, itu tentu bukan pembelajaran yang baik
kepada publik muslim. Perbedaan intelektual merupakan sesuatu yang wajar.
Asalkan, dinamika yang mengiringinya tetap menyentuh substansi dasar
pemikiran dan praktik atas pemikiran itu.
Melihat
realitas tersebut, saya lalu teringat dengan ilustrasi Jati Diri harian Jawa
Pos (27/6/2015) atas fenomena pertandingan sepak bola antarkampung (tarkam)
saat tidak ada kompetisi setelah pembekuan PSSI oleh Kemenpora. Ini
uraiannya: risiko [tarkam]... sangat besar. Namanya saja tarkam. Tidak ada
standar pertandingan yang jelas. Pertandingan bisa digelar di lapangan mana
saja. Tidak harus di stadion yang kondisi lapangannya bagus dan memenuhi
aspek keamanan bagi pemain.
Kita
tidak ingin Islam tampil di ruang publik bak tarkam. Standar tidak jelas.
Digelar di mana saja tanpa aturan yang jelas dan kalau ada justru dilanggar.
Kondisinya juga tidak bagus karena banyak pembusukan akademik. Apalagi
dampaknya bisa menimbulkan ketidakamanan bersama. Kita ingin Islam justru
tampil dengan berbagai peradaban maju yang memberikan manfaat besar bagi
kehidupan publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar