Bisnis Gol
Eddi
Elison ; Pengamat
Sepak Bola Nasional
|
KORAN TEMPO, 06 Juli 2015
Ternyata jual-beli online (daring)
ini telah pula merasuk ke persada olahraga, khususnya sepak bola. Produk
sepak bola yang paling utama adalah gol. Ya, gol inilah yang saat ini telah
diperjualbelikan. Sementara pada awalnya gol hanya dijadikan alat
taruhan/perjudian di pinggir lapangan atau di luar stadion, dalam beberapa
tahun belakangan ini pebisnisnya telah "mengintervensi" ke dalam
lapangan hijau.
Di Indonesia, bisnis gol ini bukan
hal baru, namun baru menonjol ke tengah-tengah masyarakat sejak 1980-an di
era Galatama. Jual-beli gol, yang oleh dunia disebut match fixing (atur
skor/gol), karena memang terjadi juga di berbagai negara sepak bola lainnya,
mulanya lebih banyak berbentuk isu. Namun selama beberapa hari belakangan ini
semakin terungkap bahwa atur skor tersebut telah menjadi kenyataan.
Rasanya, jika memang semua pihak
berkehendak serius membuka dagang gol di forum sepak bola nasional, hal ini
tidak lagi sulit. Beberapa "peniup peluit" (whistle blower) dan
runner telah tampil, berani bertatap muka dengan publik melalui media
cetak/televisi. Ternyata berbagai kalangan menyebut hal tersebut dengan
istilah "belum ada bukti". Polri menggolongkannya sebagai
"pengaduan", belum setingkat "laporan". Hal ini justru
mempersulit PSSI untuk mengelak bahwa ada pembiaran atas "transaksi
gol" tersebut.
Terungkapnya beberapa match fixing
dalam Kompetisi ISL/Divisi Utama 2013 dan 2014, bahkan tahun-tahun sebelumnya,
langsung ditanggapi komoditas persepakbolaan nasional sebagai sesuatu yang
harus dituntaskan. Ditinjau dari sudut pidana, jelas siapa pun yang melakukan
permainan atur skor tersebut dapat digolongkan sebagai pelaku tindak
kriminal, yakni penyuapan, menipu masyarakat, juga perjudian. Apalagi telah
diketahui adanya hubungan kerja sama antar-bandar dari Malaysia, Singapura,
Hong Kong, RRC, dan Indonesia. Berarti ada keharusan agar Polri bekerja sama
dengan polisi negara lain.
Adapun Kemenpora (baca: Tim Transisi)
punya kewajiban menindaklanjuti terungkapnya berbagai "bisnis gol"
tersebut, untuk membangkitkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap sepak
bola nasional. Catat: Tim U-23 kalah masing-masing 0-5 oleh Thailand dan
Vietnam di SEAG Singapura lalu. Mereka langsung dicurigai sebagai akibat
match fixing. Padahal pembuktiannya belum jelas. Siapa pun tentu merasa
prihatin dan iba terhadap para pemain muda (Manahati Lestaluhu dkk), karena
harus menerima cemooh orang.
Selain itu, mengacu pada Mukadimah
Statuta PSSI, yang dengan tegas menyatakan "Sepak bola adalah alat
perjuangan dan pemersatu bangsa", match fixing dapat dikategorikan
sebagai pengkhianatan terhadap nasionalisme seperti yang tertera dalam UUD
1945.
Pada dasarnya sepak bola juga
merupakan medium paling komplet dalam memantapkan demokratisasi, mengingat
dalam sepak bola diatur ihwal tanggung jawab, kedisiplinan, kerja sama,
toleransi bersikap, anti-rasis, dan taat hukum, selain merupakan wadah
pembinaan karakter bangsa. Filosofi "bola bundar" adalah nurani
sepak bola, yang tidak ada lika-likunya sedikit pun.
Karena itu, perlu secepatnya Ketua
Tim Transisi berkoordinasi dengan Kapolri untuk membuktikan adanya match fixing yang clue-nya sudah terumbar di tengah-tengah masyarakat itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar