Mengukur Kapal Ikan
M
Riza Damanik ;
Ketua Umum Kesatuan Nelayan
Tradisional Indonesia
|
KOMPAS,
08 Juli 2015
“Bener nanging ora pener” (Benar
tetapi tidak tepat), begitu kelakar seorang nelayan asal Rembang, Jawa
Tengah, mencermati perkembangan kebijakan perikanan Indonesia di era Poros
Maritim.
”Bener” dianalogikan sebagai
sebuah terobosan baik dan orisinal dari Kabinet Kerja untuk membenahi tata
kelola perikanan nasional, termasuk prestasi mengungkap maraknya praktik
pengurangan tonase kapal ikan. Kapal-kapal itu di antaranya memiliki tonase
di atas 60 GT, tetapi selama bertahun-tahun punya izin menangkap ikan dalam
kapasitasnya kurang dari 30 GT. Temuan ini jadi salah satu dasar pemerintah
tidak memperpanjang izin kapal-kapal tersebut.
Sementara ”ora pener” adalah
akibat ketiadaan solusi komprehensif dari pemerintah untuk mengantarkan
aktivitas perikanan rakyat beranjak dari persoalan menahun tadi.
Hasil studi Badan Kebijakan Fiskal
(2013) memperkirakan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) tahun 2014 dari
sektor perikanan dapat mencapai Rp 1,52 triliun. Celakanya, sama seperti
tahun-tahun sebelumnya, PNBP 2014 masih kurang dari Rp 250 miliar.
Berdasarkan PP No 19/2006 tentang
Tarif Atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan
(KKP), diketahui sederet faktor penentu besar-kecilnya pungutan hasil
perikanan. Berturut-turut: ukuran tonase kapal, jenis bahan, kekuatan mesin
kapal, jenis alat penangkap ikan, jumlah trip operasi penangkapan ikan per
tahun, kemampuan tangkap rata-rata per trip, dan wilayah penangkapan ikan.
Itu sebabnya ketakakuratan ukuran tonase kapal ikan telah berdampak langsung
terhadap rendahnya penerimaan negara dari tahun ke tahun.
Tantangan lain justru disebabkan
rendahnya alokasi izin kapal ikan yang tercatat di zona ekonomi eksklusif
Indonesia (ZEEI). Merujuk KKP dalam Angka 2014, diketahui sebanyak 226.520
kapal atau lebih dari 98 persen dari total armada ikan Indonesia memegang
izin operasi di perairan kurang dari 12 mil laut. Sementara di ZEEI,
jumlahnya hanya 4.230 kapal atau tak mencapai 2 persen. Persoalannya menjadi
jauh lebih rumit setelah KKP melakukan uji petik.
Hasilnya, 80 persen dari 226
sampel kapal ikan didapati melakukan manipulasi tonase kapal jadi kurang dari
30 GT. Temuan ini sekaligus memunculkan spekulasi baru: sekurang-kurangnya
ada 6.000 kapal ikan Indonesia mengantongi izin dari pemerintah daerah,
tetapi beroperasi di perairan ZEEI.
Komprehensif
Penegakan hukum di laut berupa
penangkapan hingga penenggelaman kapal pencuri ikan telah memberi penjelasan
awal bahwa kita bukanlah bangsa pandir, yang terus-menerus membiarkan bangsa
lain mencuri kekayaan ikannya, sementara nelayannya sendiri dibiarkan
menonton dan miskin. Pengelolaan perikanan ke depan membutuhkan solusi
komprehensif.
Pertama dan paling utama,
Kementerian Perhubungan perlu menuntaskan pengukuran ulang seluruh armada
ikan nasional sebelum KKP mengalokasikan penambahan armada ataupun izin baru
di perairan Indonesia. Khusus pada 2015, pemerintah dapat memberi insentif
kepada pelaku usaha perikanan berupa pembebasan biaya pengukuran tonase kapal
ikan, termasuk biaya perizinan penangkapan ikan. Diharapkan akurasi antara
alokasi perizinan dengan ketersediaan sumber daya ikan dan target pendapatan
negara jadi lebih baik; sejalan dengan tingginya partisipasi nelayan dan
pelaku usaha mendaftarkan ulang kapalnya.
Kedua, mentransformasikan 11
Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI jadi satuan Otoritas Pengelolaan
Perikanan. Sebab, perairan Indonesia tidak saja luas, karakternya juga
beragam dan dinamis. Otoritas ini nantinya dapat memberi pertimbangan
periodik kepada Menteri Kelautan dan Perikanan dalam menentukan: alokasi izin
penangkapan, jenis alat tangkap yang boleh digunakan, spesies dan volume ikan
yang boleh ditangkap, hingga menyiapkan dan mengawal keberlanjutan sistem
logistik ikan nasional. Karena itu, perlu ada wakil organisasi nelayan dan
masyarakat adat, dunia usaha, LSM, perguruan tinggi, dan pemerintah daerah di
dalamnya.
Apabila keduanya disegerakan, pengelolaan
perikanan Indonesia menjadi lebih berkelanjutan, kapal-kapal berbendera
Merah-Putih semakin berdaulat, kesejahteraan nelayan kecil dan buruh
perikanan berpeluang lebih baik, bahkan aksi pencurian ikan dengan mudah
ditumpas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar