Jurnalisme Firasat
Ignatius
Haryanto ; Peneliti
Senior LSPP, Jakarta
|
KORAN TEMPO, 06 Juli 2015
Media di Indonesia yang meliput
sejumlah peristiwa bencana masih menunjukkan kegagapan dalam menjalankan
tugasnya. Peristiwa bencana tragis yang menimbulkan kesedihan bagi pihak
keluarga, serta menimbulkan trauma bagi pihak lainnya. Meski begitu, media pun
membuat liputan yang tidak menunjukkan kecerdasannya.
Dalam peristiwa terakhir, ketika
terjadi kecelakaan pesawat Hercules yang jatuh di permukiman penduduk di Kota
Medan, akhir Juni lalu, sejumlah media online meliput peristiwa ini dengan
tidak cerdas. Setelah mengetahui seberapa besar skala kecelakaan dan tragedi
ini, awak media pun berlomba mewawancarai para keluarga korban.
Yang paling menyebalkan adalah
ketika media-media itu menanyakan hal yang terkait dengan soal
"firasat" kepada para anggota keluarga korban, baik itu istri,
suami, anak, maupun orang tua korban. "Apakah ada firasat sebelum
terjadi kecelakaan ini?" begitulah kira-kira template pertanyaan yang
diajukan para wartawan kepada anggota keluarga korban.
Ini bukan pertama kalinya pertanyaan
soal firasat diajukan wartawan. Pertanyaan semacam ini juga ada pada saat
kecelakaan pesawat AirAsia QZ 8501 akhir tahun lalu, dan sejumlah kecelakaan
lain. Apakah pertanyaan soal firasat ini menambah informasi yang berguna bagi
pembaca? Apakah hal ini bukan suatu perpanjangan dari cara pandang klenik
dalam melihat peristiwa kecelakaan seperti ini? Lalu, jika anggota keluarga
mengaku tidak memiliki firasat atas kepergian, apa yang hendak disimpulkan
dari situ? Sebaliknya, jika anggota keluarga tersebut berbohong soal firasat
tersebut, ke mana wartawan akan mengeceknya?
Apakah tidak lebih penting untuk
menampilkan sosok korban, apa maksud perjalanan korban, dan hal-hal faktual
lain yang bisa diverifikasi? Dalam hal kecelakaan pesawat Hercules, bukankah
lebih berguna jika wartawan bertanya soal berapa harga yang korban bayar
untuk bisa naik pesawat Hercules (jika dia penumpang sipil) tersebut? Hal
terakhir ini lebih bermakna karena belakangan menjadi polemik soal masuknya
penumpang sipil dalam pesawat Hercules tersebut.
Di satu sisi, wartawan yang
meliput peristiwa tragis seperti ini dituntut untuk berempati kepada para
korban. Namun, di sisi lain, para wartawan juga dituntut untuk memberikan
informasi yang bisa memberi makna dari peristiwa yang telah terjadi. Dalam
kerangka ini, pertanyaan soal firasat itu berkontribusi apa bagi pemahaman
pembaca terhadap peristiwa yang terjadi tersebut?
Sayangnya, media terkemuka
termasuk yang ikut-ikutan mengusung "jurnalisme firasat" tersebut.
Silakan Anda membandingkan bagaimana media luar negeri yang mengangkat
liputan soal bencana, dan rasanya tak ada wartawan yang akan menanyakan soal
firasat.
Saya membayangkan pertanyaan
wartawan soal firasat ini akan datang dari wartawan media mistik atau
supranatural. Dan untuk media semacam ini, jawaban dari anggota keluarga
menyangkut firasat akan jadi penting. Sayangnya, atau bagusnya, sebagian
besar media kita adalah media arus utama yang pembacanya berharap akan bisa
mengandalkan informasi yang hadir dalam media tersebut. Jika tak lagi bisa
memberikan informasi yang penting dan bermakna untuk pembaca, berarti media
tersebut sudah gagal menjalankan tugasnya bagi publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar