80 Tahun Ahmad Syafii Maarif: Buya di Mata Saya
Ilham
Khoiri ; Wartawan
Kompas
|
KOMPAS, 07 Juli 2015
Ahmad Syafii Maarif, mantan Ketua
Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu, baru saja berulang tahun ke-80. Buya,
demikian sapaan akrabnya, kian matang sebagai guru bangsa. Dan, bangsa
Indonesia patut bersyukur memiliki guru seperti dirinya.
Sosoknya sebagai guru bangsa cukup
tecermin dalam perayaan ulang tahunnya yang ditandai dengan peluncuran buku
Muazin Bangsa dari Makkah Darat (Penerbit Serambi, 2015) di Bentara Budaya
Jakarta, Jumat (3/7). Acara itu bersahaja. Karena kebetulan berlangsung saat
Ramadhan, maka disediakan takjil dan menu makanan untuk berbuka pada akhir
acara.
Sejumlah tokoh nasional hadir.
Sebut saja, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, Ketua MPR Zulkifli
Hasan, Ketua sementara merangkap anggota sementara Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) Taufiequrachman Ruki, sejarawan Anhar Gonggong, Guru Besar
Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Franz Magnis-Suseno, Dewan Penyantun
Centre for Strategic and International
Studies Harry Tjan Silalahi, dan Pemimpin Redaksi Harian Kompas Budiman
Tanuredjo.
Ada juga diskusi dengan pembicara
Mantan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Komaruddin
Hidayat, Guru Besar Etika Komunikasi Politik Universitas Katolik Indonesia
Atma Jaya Alois A Nugroho, dan Wakil Ketua Muhammadiyah Disaster Management Center Rahmawati Husein.
Para tokoh itu berasal dari
beragam latar belakang. Ada pemimpin parlemen, politisi, pemimpin KPK, agamawan,
akademisi, peneliti, aktivis perempuan, pemimpin organisasi keagamaan,
penerbit, dan pemimpin media. Keberagaman mereka mewakili spektrum pengakuan
yang luas kepada Buya.
Hal itu ditunjukkan ketika
sebagian tokoh itu memberikan testimoni. Begitu juga saat pembahasan buku itu
dalam diskusi. Meski disampaikan dalam bermacam komentar, semuanya sama-sama
menahbiskan Buya sebagai guru bangsa yang tak lelah menyerukan pentingnya
mengacu pada moral publik.
Sebagai guru, Buya tak segan
membagi ilmu kepada publik, baik lewat ceramah, tulisan-tulisan di buku,
opini, atau komentarnya di media cetak. Lebih dari itu, dia juga tampil
memberikan teladan yang mengamalkan ilmu yang dibicarakannya itu dalam
kehidupan sehari-hari. Guru dalam pengertian sosok yang patut digugu
(didengar) dan ditiru (dicontoh) sungguh lekat secara otentik pada figurnya.
Dan, keguruannya itu dia abdikan
untuk bangsa Indonesia. Bangsa dalam arti luas, yaitu seluruh tumpah darah
negeri ini. Bukan untuk satu golongan, kelompok, suku, atau agama tertentu.
Sosoknya mewakili seorang ulama-intelektual yang sekaligus juga bangsawan,
dalam pengertian figur yang sungguh-sungguh memikirkan dan bekerja untuk
bangsa.
Persentuhan
dengan Buya
Sebagai pewarta harian Kompas,
saya mulai mewawancarai Buya sebagai narasumber sejak tahun 2004 saat saya
mengawali bekerja di harian ini. Persentuhan itu berlangsung secara sporadis
hingga sekarang. Semoga catatan sekilas ini bisa lebih mengenalkan sosoknya.
Wawancara pertama saya dengan Buya
berlangsung di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta, tahun 2004, pukul 06.00.
Kebetulan Buya hendak bepergian ke luar kota pagi itu sehingga meminta
bertemu di ruang tunggu bandara pada pagi itu, beberapa saat sebelum terbang.
Tak mau kehilangan momen, sehabis subuh, saya serta-merta menderu dengan
motor ke situ.
Di bandara, Buya sudah siap. Saya
masih ingat, beliau mengenakan batik warna coklat dengan motif biru yang
bersahaja. Senyumnya mengembang saat melihat saya datang. Saya langsung
bertanya soal budaya di Yogyakarta, topik yang sejak awal saya sodorkan.
Buya menekankan pentingnya menjaga
Yogyakarta sebagai kota "industri pemikiran" yang memberikan
sumbangan gagasan bagi kemajuan bangsa. Pemikiran dilahirkan para akademisi,
budayawan, seniman, dan negarawan yang ditopang banyak perguruan tinggi,
kantong seni budaya, lembaga keagamaan, dan kelompok masyarakat.
Kota Yogyakarta kian menarik
karena sejarah keberpihakan almarhum Sri Sultan Hamengku Buwono IX kepada
Republik Indonesia. Itu artinya, sejak awal Yogyakarta memang memihak
"keindonesiaan".
Namun, belakangan, sebagaimana
kota-kota lain, kota ini juga dirasuki nilai hedonisme. Untuk
mengantisipasinya, masyarakat Yogyakarta perlu mengukuhkan kembali
nilai-nilai luhur budaya. Saat bersamaan, agama harus difungsikan secara
benar sehingga menjiwai perilaku manusianya.
"Jangan jadikan agama sebagai
retorika politik sehingga sering terjadi perang ayat, bahkan Tuhan pun
dibajak. Tuhan tidak tersinggung, tetapi geli melihat kelakuan hambanya yang
tidak senonoh itu," tuturnya tegas.
Hasil wawancara itu diterbitkan di
halaman pertama edisi khusus suplemen Kompas untuk Daerah Istimewa
Yogyakarta, 3 Maret 2004. Buya kami pilih sebagai narasumber karena merupakan
tokoh bangsa yang tinggal di Yogyakarta.
Setelah itu, saya lama tidak
bersentuhan dengan Buya karena saya ditugaskan sebagai wartawan daerah di
Palembang, Sumatera Selatan. Sekitar 2,5 tahun di kota pempek, saya lantas
kembali ke Jakarta sebagai wartawan budaya di Kompas Minggu. Sesekali saya
kembali bersentuhan dengan Buya. Namun, persinggungan lebih kerap terjadi
saat saya ditugaskan menjadi wartawan politik dan giat meliput isu-isu
kebangsaan dan keagamaan.
Buya adalah salah satu narasumber
penting untuk isu-isu terkait toleransi, kebinekaan, politik moral, juga korupsi.
Setiap kali bangsa ini dirundung masalah pelik, kami merasa perlu meminta
pandangan Buya untuk membantu memetakan persoalan seraya mendorong jalan
keluar. Pandangannya selalu jernih, tajam, kritis, otentik, simpel, terbuka,
apa adanya, berdiri di atas semua kelompok, dan menawarkan solusi.
Gerakan
moral
Pada ujung pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono, Buya bersama sejumlah tokoh lintas agama
melontarkan kritik keras karena pemimpin negara dianggap hanya berwacana yang
baik-baik, tetapi minim aksi nyata untuk memperbaiki keadaan.
Para tokoh lintas agama meminta
Yudhoyono sungguh-sungguh memenuhi sumpah dan janjinya untuk mewujudkan
keadilan dan kesejahteraan, terutama bagi rakyat miskin dan terpinggirkan.
"Ini gerakan moral, sama sekali tidak ada urusannya dengan menjatuhkan
siapa atau menaikkan siapa," kata Buya, di Jakarta, Februari 2011 itu.
Pada April 2011, saya menonton
pemutaran perdana film biografi masa kecil Buya, Si Anak Kampoeng, hasil
besutan sutradara Damien Dematra di Jakarta. Buya ikut menonton bersama
sejumlah sahabatnya.
Film ini mengisahkan perjalanan
awal tokoh yang lahir pada 31 Mei 1935 itu saat menimba ilmu di Sumpur Kudus,
Sumatera Barat. Ini menjadi pijakan penting sebelum dia hijrah ke Yogyakarta,
melanjutkan studi S-2 di Universitas Ohio, dan S-3 di Universitas Chicago di
Amerika Serikat.
Film itu hendak berpesan, anak
muda jangan gampang berputus asa, tetapi terus berjuang untuk mencapai
cita-cita. Seusai pemutaran, penonton menyalami dan beberapa orang melontarkan
pujian. Buya justru merendah, "Wah, saya tidak sehebat itu."
Salah satu gagasan Buya adalah
mengembangkan pemahaman keislaman dalam bingkai keindonesiaan. Dalam sebuah
diskusi di kantor pusat Muhammadiyah di Menteng, Jakarta, dia mengingatkan
umat Islam bahwa sila-sila dalam Pancasila merupakan pintu masuk membumikan
semangat Islam di Indonesia. Umat Islam tidak perlu lagi memperjuangkan
gagasan negara Islam, yang justru akan mengganggu kesepakatan pendiri bangsa.
Itu karena toleransi merupakan ajaran penting Islam.
Buya mengajak umat Islam di
Indonesia untuk menyadari bahwa nilai-nilai Islam telah diserap dalam
Pancasila. Karena itu, tidak perlu memformalkan nilai agama itu dalam bentuk
syariat atau khilafah Islam. Karena itu pula, dia mengecam kelompok-kelompok
yang mengatasnamakan Islam, tetapi menghalalkan kekerasan, seperti dalam
bentuk teror yang mengorbankan banyak orang, termasuk kaum Muslim sendiri.
"Teror dilakukan orang yang
terpinggirkan dan berani mati. Orang yang tidak berani hidup, beraninya mati.
Mereka tidak punya tawaran untuk memperbaiki keadaan," katanya suatu
ketika.
Buya selalu mengingatkan bahwa
Indonesia yang majemuk ini merupakan anugerah Tuhan. Kita perlu merawatnya
dengan memelihara dan saling menghargai di tengah kebinekaan suku, agama,
budaya, dan bahasa.
Gagasan Bhinneka Tunggal Ika yang
diambil Empu Tantular dari Kerajaan Majapahit telah ditetapkan sebagai
prinsip bangsa Indonesia dan tertera dalam lambang negara. Jika negara lemah
atau kurang peduli, kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki hati nurani
dan akal sehat harus terus tampil memperjuangkan cita-cita kerukunan dalam
kebinekaan itu.
Semangat ini juga diajarkan dalam
agama-agama. "Islam mengajarkan, manusia diciptakan laki-laki dan
perempuan, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, untuk saling mengenal.
Pengenalan ini juga berarti bertukar kebudayaan," katanya.
"Pluralisme menyebabkan
masyarakat dapat hidup bersama dengan damai. Orang ateis pun harus diberi hak
hidup di muka bumi. Sebaiknya orang beriman, tetapi tidak boleh dipaksa, dan
mereka harus tunduk pada konstitusi bangsa," katanya pada suatu diskusi
di Jakarta, November 2012.
Saat Pemilu Presiden 2014, saat
sebagian orang ingin menampilkan diri netral, Buya justru memperlihatkan
pemihakan. Saat itu, kompetisi antara dua pasangan calon presiden-calon wakil
presiden, yaitu Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa,
sangat sengit. Joko Widodo (Jokowi) menjadi korban fitnah keji yang memainkan
isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Geram dengan cara kampanye
kotor itu, Buya mengkritiknya secara keras.
"Ada kampanye najis dengan
mengatakan Jokowi bukan Muslim dan memilihnya kafir," katanya. Buya juga
menemukan ada indikasi keterlibatan negara melalui gubernur, bupati, dan wali
kota untuk memenangkan capres tertentu melalui instruksi sampai ke tingkat
akar rumput, persis praktik Orde Baru. Saat bersamaan, terjadi juga politik
uang yang masif. Akibat dari semua itu, terjadi polarisasi yang tajam.
"Pemihakan unsur-unsur negara
dalam pilpres kepada pasangan tertentu tidak saja merusak demokrasi, tetapi
lebih-lebih telah merendahkan martabat negara," ujarnya.
Pemihakan
atas nilai
Pemihakan Buya dalam pemilu
sebenarnya adalah pemihakan atas nilai, yaitu bagaimana mendorong proses
pemilihan yang adil, sehat, dan demokratis. Tak terlihat nafsu untuk memburu
jabatan. Buktinya, saat ditawari jabatan sebagai anggota Dewan Pertimbangan
Presiden (Wantimpres) seusai pemilu, Buya memilih tidak menerimanya.
Atas tawaran itu, dia mengirim
pesan pendek. "Baru saja Cecep Sutiawan, deputi SDM Sekneg, telp minta
kesediaan saya untuk jadi anggota Wantimpres. Jawaban saya, saya sudah pernah
jadi anggota DPA dulu. Sekarang saya sudah tua, mohon dicari yang lebih muda.
Maarif."
Meski berpeluang duduk di jabatan
yang menarik, Buya memilih tetap di luar. Dengan begitu, dia tetap bebas
mengutarakan pandangannya, termasuk mengkritik pemerintahan Jokowi. Namun,
jika merasa perlu, dia kadang juga hadir ke Istana untuk memberikan masukan
langsung kepada Presiden, tanpa harus menjadi Wantimpres.
Lihat saja ketegangan politik saat
pengajuan Budi Gunawan sebagai calon kepala Polri. Presiden Jokowi secara
mengejutkan mengajukan Budi ke DPR dan DPR menyetujuinya. Namun, sebagian
publik menolak karena sosok tersebut ditetapkan KPK sebagai tersangka
korupsi. Apalagi, sebelumnya sosok itu juga santer diberitakan sebagai salah
satu perwira polisi yang memiliki rekening gendut.
Di tengah kontroversi itu, Buya
bersama sejumlah tokoh menjadi tim pemberi masukan kepada Presiden. Tim ini
mendesak Presiden untuk mencari sosok calon kepala Polri yang bersih dari
permasalahan hukum. Sebelum Jokowi resmi berbicara, Buya menyatakan, Budi
Gunawan tak akan dilantik sebagai kepala Polri, sebagaimana aspirasi sebagian
rakyat. Memang akhirnya nama Budi ditarik dan diganti Badrodin Haiti yang
kini jadi Kepala Polri.
Aktivitas Buya dalam isu kepala
Polri tidak terlepas dari kegiatannya dalam gerakan pemberantasan korupsi.
Dia dikenal lantang mengecam para pejabat yang korup akibat kehidupannya terlalu
konsumtif, rakus, dan pragmatis.
"Sebagian pejabat sudah rabun
ayam, hanya melihat yang dekat-dekat saja. Kepentingan bangsa dan negara
tidak singgah dalam otaknya. Mereka menggunakan kekuasaan untuk memperoleh
benda dan kesenangan, seperti hidup di tengah fatamorgana," katanya pada
Oktober 2013.
KPK termasuk lembaga yang mendapat
perhatian besar Buya. Baginya, inilah satu-satunya lembaga penegak hukum yang
masih dipercaya dan menjadi harapan publik untuk menegakkan hukum, khususnya
memerangi korupsi. Karena itu, dalam banyak kesempatan, Buya menganjurkan
pemerintah, termasuk Presiden Jokowi, untuk menjaga KPK sebagai amanat
reformasi untuk membersihkan virus korupsi yang menggerogoti negeri ini.
Bahasa
kiasan Melayu
Tak hanya soal isi, Buya juga sering
kreatif dalam berbahasa, khususnya menyajikan diksi yang jitu. Ketika
menggambarkan harapan yang sulit dipenuhi, misalnya, dia mengatakan,
"Jangan minta tanduk kepada kuda."
Mengomentari kelompok yang
memaksakan kebenarannya sendiri sambil menyesatkan kelompok lain yang berbeda
pandangan, Buya menyebut, "Mereka itu merasa benar di jalan yang
sesat." Kali lain, dia ungkapkan kalimat "jangan jadikan politik
sebagai mata pencarian" untuk mengkritik para politisi yang lebih
berjibaku mencari keuntungan pribadi ketimbang memperjuangkan aspirasi
rakyat.
Bagi wartawan, kalimat-kalimat
semacam itu sungguh menarik karena membantu untuk membuat lead (kalimat
pembuka tulisan), bahkan judul berita. Kalimat-kalimat Buya, yang sebagian
lahir dari tradisi kiasan bahasa Melayu, menyegarkan bahasa Indonesia, juga
bahasa media yang terlalu rutin sehingga menjemukan.
Atas semua itu, maka Kompas
memberikan anugerah Cendekiawan Berdedikasi kepada Buya dan empat tokoh lain
saat ulang tahun Kompas ke-48 pada 2013. Ini semacam pengukuhan atas berbagai
penghargaan yang pernah dia terima sebelumnya, baik secara formal maupun
informal, dari masyarakat. Dia berharap anugerah itu bisa mendorong kemajuan
bangsa. "Mari kibarkan bendera optimisme di tengah gelembung pesimisme saat
ini," katanya.
Optimisme itu pula yang kental
terasa pada peluncuran buku dan diskusi di Bentara Budaya Jakarta, pekan
lalu. Pada ulang tahunnya ke-80, Buya Syafii Maarif hadir sebagai sosok yang
menumbuhkan harapan bagi kemajuan peradaban bangsa ini. Selamat ulang tahun,
Buya, sang guru bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar