Menjawab Islam Nusantara
Muhammad
Sulton Fatoni ;
Wakil Sekretaris Jenderal PBNU;
Dosen
Sosiologi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Jakarta
|
KORAN SINDO, 06 Juli 2015
Membaca artikel opini Faisal
Ismail, Menyoal Islam Nusantara, di koran ini edisi Rabu, 1 Juli 2015,
mendorong saya untuk menulis opini balik. Saya sengaja memberi judul Menjawab Islam Nusantara agar tulisan
ini fokus memberikan catatan atas beberapa persoalan yang dikemukakan Faisal
Ismail. Beberapa saja yang perlu saya beri catatan di sini mengingat
keterbatasan kesempatan.
Pertama , saya ingin memulai dari
tema ”Islam: the Straight Path”
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, ”Islam: Jalan Lurus”, atau ”Islam:
Shirat al-Mustaqim.” Memaknai Islam:
the straght path dengan Islam:
jalan lurus tidak menimbulkan pergeseran pemahaman. Namun menjadi
persoalan besar jika menyamakan makna Islam:
the straight path (Islam: jalan lurus) dengan Islam: shirath al-mustaqim. Rangkaian kata shirath almustaqim terdapat dalam Surat Al-Fatihah ayat 6 yang
lengkapnya, ihdina al-shirath
al-mustaqim. Maksud kata shirath
dalam nash tersebut adalah agama
Islam. Sedangkan maksud mustaqim
dalam ayat tersebut adalah kemapanan tanpa distorsi (Ahmad as-Showy, 1813).
Sehingga, jika dirangkai dalam
satu kalimat, Islam: shiratal-mustaqim menimbulkan kekacauan arti yang
bersumber dari kesalahan merangkai kata. Padahal Rasulullah SAW menegaskan
bahwa Islam itu kesaksian ketuhanan hanya Allah, kerasulan Muhammad SAW,
komitmen melaksanakan salat, mengeluarkan zakat, puasa Ramadhan, dan pergi
haji saat mampu (Imam Muslim, 875).
Begitu juga merangkai ”Islam”
dengan kalimat rahmatan li al-alamin.
Kalimat ini terdapat dalam Surat Al-Anbiya: 107, wama arsalnaka illa rahmatan li al-‘alamin (Aku tidak utus engkau
Muhammad kecuali untuk mengasihi alam semesta). Ibn Abbas menegaskan bahwa
subyek dari misi ”mengasihi alam semesta” adalah Nabi Muhammad SAW, sedangkan
objeknya adalah seluruh umat manusia (at-Thabari:
919).
Maka rangkaian kata ”Islam
rahmatan li al-Alamin” pun memunculkan kekacauan arti yang disebabkan oleh
kesalahan merangkai kata. Fakta di atas tentu problem besar mengingat kedua
kalimat tersebut (shirat al-mustaqim dan rahmatan li al-alamin) adalah bagian
dari teks Alquran. Padahal, telah menjadi kesepakatan ulama bahwa hanya
orang-orang dengan kriteria tertentu saja yang punya otoritas untuk memaknai
Alquran.
Lalu bagaimana dengan terma ”Islam
Nusantara”? Dua kata ini sebenarnya membutuhkan penjelasan sederhana. Islam
dan Nusantara adalah dua kata yang masingmasing mempunyai makna dan kedua
kata tersebut digabungkan untuk membentuk frase. Maka jadilah rangkaian Islam
Nusantara yang memperlihatkan hubungan erat antara bagian yang
diterangkan-menerangkan (Ramlan, 1985) meski tanpa menimbulkan makna baru.
Dalam ilmu bahasa Indonesia, jenis
penggabungan kata ini disebut aneksi. Karena masuk dalam kategori aneksi, maka
terma Islam Nusantara sama saja dengan terma Islam di Nusantara, atau Islam
dan Nusantara. Maka pilihan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atas terma Islam
Nusantara itu cukup logis dan ilmiah dengan pertimbangan tidak menyalahi
pakem ilmu bahasa Indonesia; dan tidak merusak arti Islam dan Nusantara.
Maka, mengkritik terma Islam
Nusantara dengan pendekatan ilmu linguistik Arab teori nisbat tentu
mengadaada. Sekali lagi, kata Nusantara dalam rangkaian Islam Nusantara–
dalam berbagai tulisan para pemikir NU–itu bukan untuk kategorisasi.
Nusantara dalam konteks linguistik hanya menerangkan teritori di mana
penghuninya memeluk agama Islam. Begitu juga mengkritik Islam Nusantara
dengan pisau analisa pendapat Koentjaraningrat.
Sudah sepatutnya Koentjaraningrat
berpendapat bahwa agama itu titah Tuhan dan sebaiknya tidak berusaha
mengembangkan suatu agama Islam khas Indonesia. Pernyataan Koentjaraningrat
tersebut berkesesuaian dengan prinsip Islam sebagai ajaran yang mapan tanpa
distorsi (shirath al-mustaqim).
Hanya saja terma Islam Nusantara bukanlah bentuk
pengembangan agama Islam. Islam Nusantara itu paham dan praktik keislaman di
bumi Nusantara sebagai hasil dialektika antara teks syariat dengan realita
dan budaya setempat (Afifuddin Muhajir,
2015). Spirit Islam Nusantara adalah praktik berislam yang didahului
dialektika antara teks-teks syariah dengan realitas dan budaya tempat umat
Islam tinggal.
Perspektif ushul fiqh, proses dialektika antara teks-teks syariah dengan
realitas dan budaya tempat umat Islam tinggal itu sesuatu yang lumrah
terjadi, bahkan pasti terjadi mengingat Islam itu ajaran yang universal. Dan
Islam Nusantara adalah wujud Islam yang universal mengingat ia telah dipeluk
oleh ratusan juta penduduk Nusantara dan telah melahirkan ratusan ribu produk
hukum dan khazanah keislaman lain.
Bertolak dari pemahaman di atas,
tak perlu takut Islam terdistorsi gara-gara muncul terma Islam Nusantara,
atau bahkan nanti menyusul muncul terma Islam Amerika, Islam Eropa, Islam
Australia, Islam Afrika, dan lainnya.
Terlepas dari kajian sisi
linguistiknya yang masih diperdebatkan, terma Islam Nusantara dan Islam rahmatan li alalamin mempunyai spirit
sama mengingat keduanya lahir dari rahim Nahdlatul Ulama. Hanya dari sisi
konsekuensinya, Islam Nusantara lebih selamat mengingat tidak menimbulkan
kekacauan arti.
Pada kesempatan ini saya justru
mengkritik Faisal Ismail tentang konversi kepercayaan non-Islam ke agama
Islam. Betulkah konversi itu terjadi? Sedekah laut yang dilakukan oleh
sebagian masyarakat muslim pada musim tertentu itu bukan wujud konversi dari
kepercayaan non-Islam ke agama Islam. Sesungguhnya di sana telah terjadi
dialektika antara nash syariah dan
budaya setempat sehingga tak terjadi pertentangan antara Islam dan budaya
setempat.
Jika proses sedekah di laut itu
sebatas konversi tentu tak ada gunanya Islam mereka anut. Begitu juga dengan
kepercayaan terhadap Nyi Roro Kidul yang dianut oleh sebagian muslim di
pesisir pantai, salah besar jika kedatangan Islam hanya sekadar melakukan konversi.
Catatan terakhir, saya sepakat dengan Faisal Ismail bahwa di mana saja
(Yaman, Suriah, Irak, Mesir, Malaysia, Pakistan, dan Indonesia) Islam
mengajarkan keramahan, kerukunan, dan perdamaian.
Hanya, saya tidak sepakat jika
Faisal berpendapat bahwa kekerasan dan peperangan di suatu negara muslim
tertentu hanya harus dilihat dari konstelasi politiknya. Pengalaman PBNU
mendamaikan beberapa suku di Afghanistan yang terlibat aksi kekerasan hingga
kini tidak murni karena persoalan politik. Antarsuku masih mempunyai problem
ideologis dan teologis dalam memandang negara perspektif Islam. Mereka juga
masih mempersoalkan hubungan Islam dan nasionalisme.
Kasus yang sama terjadi di
Indonesia pada 1960-an dengan meletusnya pemberontakan Darul Islam pimpinan Kartosuwiryo
(Jawa Barat), Daud Beureuh (Aceh), dan Kahar Muzakkar (Sulawesi Selatan).
Meski awalnya sebagian sejarah menganalisis sebagai persoalan politik, namun
dalam perkembangannya mereka mempertentangkan antara nasionalisme dan Islam.
Aksi kekerasan di Indonesia adalah
sejarah yang tak perlu diingkari. Namun, sejarah kekerasan yang singkat
tersebut bukan berarti meruntuhkan terma Islam Nusantara yang mempromosikan
kedamaian Indonesia yang telah berlangsung dalam skala yang lebih luas dan
rentang waktu yang sudah ratusan tahun.
Menilik ajaran Islam yang
berkembang di Indonesia, masyarakat muslim Indonesia bukan lahan subur bagi
aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama (Azyumardi Azra, 2015). Di antara buktinya, pada Muktamar di
Banjarmasin tahun 1927 Nahdlatul Ulama menyerukan ”perang kebudayaan” melawan
penetrasi budaya Barat yang dibawa Belanda. Di
susul pada tahun 1928 di mana NU memutuskan untuk memberikan perlindungan dan
memperjuangkan keadilan secara kolektif dan masif bagi masyarakat Nusantara
yang merasa terancam (dokumen PBNU, 1928).
Karena itulah
Wahabisme tidak laku di Indonesia, meski telah dipasarkan sejak awal 1920-an.
Memang benar kelompok Wahabi bukan teroris tapi satu digit lagi berpotensi
jadi teroris karena mereka dilengkapi referensi, tinggal berani atau tidak (Said Aqil Siradj, 2014). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar