Profesionalisme Polri Harapan Masyarakat
Budi
Gunawan ; Wakapolri
|
KORAN SINDO, 01 Juli 2015
”A hero is an ordinary individual who finds the strength to
persevere and endure in spite of overwhelming obstacles.”
Premis yang
dilantunkan Christoper Reeve tersebut terdengar bersahaja. Namun, di balik
ketenangannya tersimpan gemuruh yang menghadirkan perspektif lain akan makna
kepahlawanan.
Aktor pemeran Superman
ini tak hendak menggugat makna heroisme yang selama ini kita hidupi. Ia
sekadar menyimpulkan nilainilai baru, dengan perbuatan biasa-biasa saja,
namun menginspirasi jutaan lainnya. Baginya, pahlawan adalah orang biasa yang
memiliki kekuatan untuk bertahan dan teguh menghadapi berbagai deraan.
Tesis Reeve ini terasa
cukup relevanuntukdiketengahkansebagai bahan refleksi di momen Hari
Bhayangkara ini. Dengan tugasnya sebagai penegak hukum dan penjaga kamtibmas,
bagi sebagian orang polisi dipandang sebagai pahlawan. Namun, tak sedikit
juga yang menganggap sebaliknya.
Dua variabel ini,
sebagaimana juga performa yang memberi harapan maupun yang menurunkan citra,
selalu mewarnai perjalanan Polri. Diskresi yang dimiliki dalam penegakan
hukum menyediakan banyak peluang bagi polisi untuk menjadi pahlawan dengan
bertindak progresif sebagai penjaga keadilan. Namun, di sisi lain kewenangan
tersebut juga dapat menjerumuskan polisi ke lembah kenistaan bila
menyelewengkannya. Profesi kepolisian memang sarat dengan ironi dan
kontradiksi.
Di antara dualisme
inilah polisi harus meniti tugas dan tanggung jawabnya sebagai bhayangkara
negara. Hanya sakralitas pengabdian yang membuat seorang polisi sanggup
bertahan dengan teguh menghadapi berbagai tantangan, dan inilah yang dalam
kategori Christoper Reeve di atas membuat polisi layak disebut sebagai
pahlawan. Karena diskresi yang melekat, kerja polisi menjadi tak mengenal
batas, 24 jam sehari, baik siang maupun malam, dinas maupun tidak.
Lingkungan kerja
polisi juga bukanlah ruang ber-AC yang nyaman seperti penegak hukum lainnya.
Di jalanan yang terik dan berdebu, polisi harus berhadapan dengan penjahat
yang siap menghunus badik. Celakanya, sekalipun berhadapan dengan para
kriminal, polisi dituntut untuk menghormati hak asasi mereka dan siap
dijadikan bulanbulanan.
***
Dilema memang selalu
mewarnai tugas polisi. Petugas kepolisian di lapangan yang bukan profesor
diharuskan bertindak seketika, tanpa sempat membaca referensi, tanpa ruang
untuk berpikir. Jika tindakannya benar, polisi tak akan mendapat aplaus. Bila
tindakan yang ditempuh keliru, polisi bisa kehilangan nyawa atau berhadapan
dengan hukum. Ibarat buah simalakama, satu kaki polisi berada di penjara dan
kaki lainnya ada di kuburan.
Dengan pertaruhan
semacam ini tak adil rasanya bila orang hanya pandai mencerca kinerja
kepolisian, tanpa memahami berbagai kendala yang dihadapi profesi itu
sendiri. Publik hanya menilai apa yang tampak di permukaan dan berangkat dari
prasangka. Hal ini tentu saja akan mereduksi kompleksitas profesi kepolisian.
Herman Goldstein (1977) dalam Policing
a Free Society telah mengingatkan betapa tidak mudahnya mendefinisikan
peranan polisi.
Hal ini juga diamini
oleh David H Bayley (1994) melalui Police
for the Future yang menyatakan bahwa penilaian terhadap peran polisi
sering diwarnai oleh mitos dan stereotip. Tingginya tingkat persentuhan
polisi dengan masyarakat, dibanding dengan derajat persentuhan profesi
penegak hukum lainnya, membuat rentan terjadi friksi. Selain itu, polisi juga
tak bisa menghindar dari pandangan sinis masyarakat.
Konsekuensinya,
prestasi polisi akan dianggap sebagai sebuah kewajaran, sedangkan kegagalan
akan melahirkan deraan yang datang bertubi-tubi. Itulah sebabnya lahir pameo
yang menyebut polisi sebagai profesi yang jasa-jasanya tak terhimpun dan
dosa-dosanya yang tak berampun. Sebagai bhayangkara negara dengan pengabdian
yang tak mengenal batas, deraan ini diterima sebagai kritik yang dilandasi
kecintaan masyarakat terhadap polisi.
Karena itu, jika
polisi mampu menyikapi deraan ini sebagai kritik yang membangun melalui
profesionalismenya, seperti kata Reeve di atas, polisi mampu memenuhi harapan
masyarakat. Tantangan terbesar bagi segenap jajaran Polri di usia yang telah
memasuki 69 tahun ini adalah menjadikan Polri semakin profesional sesuai
harapan masyarakat. Polri memiliki kekuatan untuk meraih semua itu. Kekuatan
yang berasal dari berbagai deraan yang telah menempa Polri selama ini.
Seperti kata George Kirkham, polisi adalah manusia biasa yang luar biasa.
Dengan berperan
sebagai penegak hukum dan keadilan, dapat dipastikan friksi dengan masyarakat
akan dapat diminimalisasi dan Polri akan dicintai masyarakat. Fungsi ”ultima
” dari hukum yaitu menciptakan keadilan dan kesejahteraan dapat terpenuhi.
Hal ini tentu dapat
menjadi kado istimewa bagi masyarakat di usia Polri yang ke- 69, sesuai
dengan tema yang diusung, ”Melalui
Revolusi Mental, Polri Siap Memantapkan Soliditas dan Profesionalisme Guna
Mendukung Pembangunan Nasional.” Dirgahayu
Polri!!! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar