Jumat, 03 Juli 2015

Menyoal Islam Nusantara

Menyoal Islam Nusantara

   Faisal Ismail  ;   Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
KORAN SINDO, 01 Juli 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

John L Esposito (profesor di Georgetown University, Amerika Serikat) menulis buku berjudul Islam: The Straight Path. Jika diterjemahkan, buku ini berjudul Islam: Jalan Lurus (bahasa Indonesia) atau Islam: Shiratal Mustaqim (bahasa Arab). Di Indonesia pernah diintroduksi Islam Rahmatan lil Alamin (Islam Rahmat bagi Seluruh Alam).

Menurut saya, predikat ”the straight path” dan ”rahmatan lil alamin” yang diberikan kepada Islam sepenuhnya dapat diterima, dapat dipahami, dan tidak problematik. Karena hakikat ”jalan lurus” dan ”rahmat bagi seluruh alam” merupakan esensi yang sangat fundamental dalam ajaran Islam. Islam memang memiliki visi-misi menunjukkan jalan lurus (shiratal mustaqim) dan Islam juga mempunyai visi-misi sebagai rahmat bagi alam semesta. Visi-misi inilah yang dibawa dan dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW yang diutus Tuhan menyiarkan agama Islam.

Lalu, bagaimana dengan konsep Islam Nusantara? Ini problematik dan perlu diberi catatan kritis. Untuk mendiskusikan poin ini, pendapat Abul Ala Al-Maududi perlu dikutip. Dalam bukunya, Toward Understanding Islam (1966), Al-Maududi mengatakan bahwa Islam tidak dapat dinisbatkan kepada pribadi atau kelompok manusia mana pun karena Islam bukan milik pribadi, rakyat, atau negeri mana pun. Islam bukan produk akal pikiran seseorang, bukan pula terbatas pada masyarakat tertentu, dan tidak diperuntukkan untuk negeri tertentu.

Islam adalah agama universal yang melintasi dan melampaui batas-batas etnisitas, lokalitas, dan nasionalitas. Misi Islam adalah untuk menciptakan dan memelihara kualitas dan sikap keislaman dalam diri manusia. Karena itu, salah besar kalau Islam disebut Muhammadanisme (paham, pikiran, atau ciptaan Nabi Muhammad SAW). Kesalahan ini terjadi pada HAR Gibb (tokoh orientalis Barat) yang menulis buku tentang Islam dan diberi judul Muhammadanisme. Juga salah besar jika Islam disebut dan diidentikkan dengan Arabisme atau Islam (Tanah) Arab atau varian turunan lainnya. Sebutan atau nama Muhammadanisme, Arabisme, Islam Arab, Islam Timur Tengah (dan label atau predikat turunannya) tidak pernah dikenal dalam Alquran dan Sunah Nabi Muhammad SAW. Nama agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah Islam. Nama Islam adalah nama satu-satunya yang resmi dan baku seperti termaktub dalam Alquran dan diajarkan oleh Nabi Muhammad sendiri.

Selain merujuk pendapat Al-Maududi, saya akan mengacu pada pendapat Prof Koentjaraningrat. Dalam bukunya, Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan (1974), Koentjaraningrat mengatakan: ”Religi dan agama sulit juga untuk [disesuaikan] dengan sengaja menurut sifat-sifat khas Indonesia. Agama adalah Titah Tuhan; maka sebaiknya janganlah kita berusaha untuk mengembangkan suatu agama Islam khas ala Indonesia ...”  Saya sangat setuju dengan pendapat Prof Koentjaraningrat.

Menurut saya, terminologi Islam Indonesia atau Islam Nusantara masih problematik. Jika ada Islam Nusantara, logikanya ada pula Islam Jawa Tengah, Islam Jawa Timur, Islam Sunda, Islam Minangkabau, Islam Kalimantan, Islam Sumatera, Islam keraton, Islam nonkeraton, Islam Bali, Islam Yogya, dan sebagainya. Ada pula Islam Amerika Serikat, Islam Eropa, Islam China, Islam Rusia, dan seterusnya. Terlalu banyak varian dan jenis agama Islam, padahal sumbernya hanya Alquran dan Sunah Nabi.

Berpegang pada pendirian Maududi dan Koentjaraningrat, saya berpendapat bahwa penamaan Islam Nusantara dengan segala muatan, varian, dan turunannya tidak tepat.

                                                         ***

Islam adalah seperangkat doktrin sebagaimana tertera dalam Alquran dan Sunah Nabi. Ketika Islam disiarkan dan diamalkan oleh pemeluknya di suatu ruang dan waktu (di Nusantara), di situ nilai-nilai Islam berinteraksi dengan tatanan adat, kebiasaan, budaya, dan nilai-nilai agama/kepercayaan non-Islam yang berkembang dalam kehidupan masyarakat setempat. Terjadi konversi dari agama/kepercayaan non-Islam ke agama Islam. Konversi ke agama Islam tidak terjadi secara menyeluruh, masih ada sisa-sisa agama/kepercayaan lama yang tertinggal. Sedekah laut yang dilakukan oleh sebagian masyarakat muslim pada musim tertentu atau kepercayaan kepada Nyai Roro Kidul adalah contoh kepercayaan lama yang masih melekat pada sebagian masyarakat (muslim).

Salah besar jika fenomena ini disebut ”Islam Jawa Tengah yang percaya kepada Nyai Roro Kidul.” Akidah tauhid Islam sama sekali tidak ada hubungannya dengan kepercayaan kepada Nyai Roro Kidul. Tidak dinafikan, sebagian muslim masih ada yang percaya kepada Nyai Roro Kidul. Harap tidak dikacaukan antara Islam (sebagai agama) dan muslim (sebagai penganut agama Islam).

Islam sangat menoleransi adat, kebiasaan, dan budaya yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang berkembang dalam masyarakat. Misalnya, masjid di Nusantara tidak harus sama dengan masjid di Arab Saudi. Budaya lokal memengaruhi bentuk-bentuk masjid di Nusantara. Pernikahan secara agama Islam adalah sama bagi semua pemeluk Islam, tetapi upacara adatnya bisa berbeda di kalangan misalnya komunitas muslim di Jawa dan muslim di Minangkabau. Tidak tepat kalau upacara budaya perkawinan di Jawa dan di Minangkabau itu disebut ”Islam Minangkabau” dan ”Islam Jawa.” Itu tradisi dan budaya muslim Minang dan muslim Jawa, bukan (doktrin atau ajaran) Islam.

Komunitas Nahdlatul Ulama mempraktikkan tahlil, tarekat, dan tawasul. NU menilai, praktik ini tidak bertentangan dengan Islam. Salah besar kalau dikatakan tradisi NU itu sebagai ”Islam NU.” Tidak ada Islam NU. Yang ada adalah tradisi keagamaan komunitas NU. Karena merupakan tradisi atau budaya, komunitas muslim non-NU boleh saja tidak mempraktikkan tahlil, tarekat, dan tawasul.

Saya berpendapat, di mana saja (Yaman, Suriah, Irak, Mesir, Malaysia, Pakistan, dan Indonesia) Islam mengajarkan keramahan, kerukunan, dan perdamaian. Kekerasan dan peperangan di suatu negara muslim tertentu harus dilihat dari konstelasi politiknya. Di Indonesia pada 1960-an terjadi pemberontakan Darul Islam pimpinan Kartosuwiryo (Jawa Barat), Daud Beurureh (Aceh), dan Kahar Muzakkar (Sulawesi Selatan). Pada 1980-an muncul gerakan Komando Jihad pimpinan Imran. Konflik destruktif Poso dan Ambon awal 2000 juga melibatkan kelompok muslim. Imbasnya, ”Islam Nusantara” tidak ramah pada waktu itu.

Begitu pun halnya situasi di Yaman dan Suriah saat ini. Sebagai doktrin, Islam di kedua negara tersebut mengajarkan keramahan, kerukunan, toleransi, dan perdamaian. Jika sekarang ini terjadi kekerasan dan peperangan di dua negara itu, yang disalahkan adalah kelompok-kelompok muslim yang bertikai. Yang dituding sebagai pemicu konflik, bukan ”Islam Yaman” atau ”Islam Suriah” yang dinilai keras oleh para pendukung ”Islam Nusantara” yang ramah dan santun.

Saya setuju dan mendukung sepenuhnya agar konflik dan kekerasan politik seperti di Suriah dan Yaman tidak terjadi di negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar