Menyoal Islam Nusantara
Faisal
Ismail ; Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta
|
KORAN SINDO, 01 Juli 2015
John L Esposito
(profesor di Georgetown University, Amerika Serikat) menulis buku berjudul Islam: The Straight Path. Jika
diterjemahkan, buku ini berjudul Islam:
Jalan Lurus (bahasa Indonesia) atau Islam:
Shiratal Mustaqim (bahasa Arab). Di Indonesia pernah diintroduksi Islam Rahmatan lil Alamin (Islam
Rahmat bagi Seluruh Alam).
Menurut saya, predikat
”the straight path” dan ”rahmatan lil alamin” yang diberikan
kepada Islam sepenuhnya dapat diterima, dapat dipahami, dan tidak
problematik. Karena hakikat ”jalan lurus” dan ”rahmat bagi seluruh alam”
merupakan esensi yang sangat fundamental dalam ajaran Islam. Islam memang
memiliki visi-misi menunjukkan jalan lurus (shiratal mustaqim) dan Islam juga mempunyai visi-misi sebagai
rahmat bagi alam semesta. Visi-misi inilah yang dibawa dan dilaksanakan oleh
Nabi Muhammad SAW yang diutus Tuhan menyiarkan agama Islam.
Lalu, bagaimana dengan
konsep Islam Nusantara? Ini problematik dan perlu diberi catatan kritis.
Untuk mendiskusikan poin ini, pendapat Abul Ala Al-Maududi perlu dikutip.
Dalam bukunya, Toward Understanding
Islam (1966), Al-Maududi mengatakan bahwa Islam tidak dapat dinisbatkan
kepada pribadi atau kelompok manusia mana pun karena Islam bukan milik
pribadi, rakyat, atau negeri mana pun. Islam bukan produk akal pikiran
seseorang, bukan pula terbatas pada masyarakat tertentu, dan tidak
diperuntukkan untuk negeri tertentu.
Islam adalah agama
universal yang melintasi dan melampaui batas-batas etnisitas, lokalitas, dan
nasionalitas. Misi Islam adalah untuk menciptakan dan memelihara kualitas dan
sikap keislaman dalam diri manusia. Karena itu, salah besar kalau Islam
disebut Muhammadanisme (paham, pikiran, atau ciptaan Nabi Muhammad SAW).
Kesalahan ini terjadi pada HAR Gibb (tokoh orientalis Barat) yang menulis
buku tentang Islam dan diberi judul Muhammadanisme.
Juga salah besar jika Islam disebut dan diidentikkan dengan Arabisme atau
Islam (Tanah) Arab atau varian turunan lainnya. Sebutan atau nama
Muhammadanisme, Arabisme, Islam Arab, Islam Timur Tengah (dan label atau
predikat turunannya) tidak pernah dikenal dalam Alquran dan Sunah Nabi
Muhammad SAW. Nama agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah Islam. Nama
Islam adalah nama satu-satunya yang resmi dan baku seperti termaktub dalam
Alquran dan diajarkan oleh Nabi Muhammad sendiri.
Selain merujuk
pendapat Al-Maududi, saya akan mengacu pada pendapat Prof Koentjaraningrat.
Dalam bukunya, Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan (1974),
Koentjaraningrat mengatakan: ”Religi
dan agama sulit juga untuk [disesuaikan] dengan sengaja menurut sifat-sifat
khas Indonesia. Agama adalah Titah Tuhan; maka sebaiknya janganlah kita
berusaha untuk mengembangkan suatu agama Islam khas ala Indonesia ...” Saya sangat setuju dengan pendapat Prof
Koentjaraningrat.
Menurut saya,
terminologi Islam Indonesia atau Islam Nusantara masih problematik. Jika ada
Islam Nusantara, logikanya ada pula Islam Jawa Tengah, Islam Jawa Timur,
Islam Sunda, Islam Minangkabau, Islam Kalimantan, Islam Sumatera, Islam
keraton, Islam nonkeraton, Islam Bali, Islam Yogya, dan sebagainya. Ada pula
Islam Amerika Serikat, Islam Eropa, Islam China, Islam Rusia, dan seterusnya.
Terlalu banyak varian dan jenis agama Islam, padahal sumbernya hanya Alquran
dan Sunah Nabi.
Berpegang pada
pendirian Maududi dan Koentjaraningrat, saya berpendapat bahwa penamaan Islam
Nusantara dengan segala muatan, varian, dan turunannya tidak tepat.
***
Islam adalah
seperangkat doktrin sebagaimana tertera dalam Alquran dan Sunah Nabi. Ketika
Islam disiarkan dan diamalkan oleh pemeluknya di suatu ruang dan waktu (di
Nusantara), di situ nilai-nilai Islam berinteraksi dengan tatanan adat,
kebiasaan, budaya, dan nilai-nilai agama/kepercayaan non-Islam yang berkembang
dalam kehidupan masyarakat setempat. Terjadi konversi dari agama/kepercayaan
non-Islam ke agama Islam. Konversi ke agama Islam tidak terjadi secara
menyeluruh, masih ada sisa-sisa agama/kepercayaan lama yang tertinggal.
Sedekah laut yang dilakukan oleh sebagian masyarakat muslim pada musim
tertentu atau kepercayaan kepada Nyai Roro Kidul adalah contoh kepercayaan
lama yang masih melekat pada sebagian masyarakat (muslim).
Salah besar jika
fenomena ini disebut ”Islam Jawa Tengah yang percaya kepada Nyai Roro Kidul.”
Akidah tauhid Islam sama sekali tidak ada hubungannya dengan kepercayaan
kepada Nyai Roro Kidul. Tidak dinafikan, sebagian muslim masih ada yang
percaya kepada Nyai Roro Kidul. Harap tidak dikacaukan antara Islam (sebagai
agama) dan muslim (sebagai penganut agama Islam).
Islam sangat
menoleransi adat, kebiasaan, dan budaya yang tidak bertentangan dengan
nilai-nilai Islam yang berkembang dalam masyarakat. Misalnya, masjid di
Nusantara tidak harus sama dengan masjid di Arab Saudi. Budaya lokal
memengaruhi bentuk-bentuk masjid di Nusantara. Pernikahan secara agama Islam
adalah sama bagi semua pemeluk Islam, tetapi upacara adatnya bisa berbeda di
kalangan misalnya komunitas muslim di Jawa dan muslim di Minangkabau. Tidak
tepat kalau upacara budaya perkawinan di Jawa dan di Minangkabau itu disebut
”Islam Minangkabau” dan ”Islam Jawa.” Itu tradisi dan budaya muslim Minang
dan muslim Jawa, bukan (doktrin atau ajaran) Islam.
Komunitas Nahdlatul
Ulama mempraktikkan tahlil, tarekat,
dan tawasul. NU menilai, praktik ini tidak bertentangan dengan Islam.
Salah besar kalau dikatakan tradisi NU itu sebagai ”Islam NU.” Tidak ada
Islam NU. Yang ada adalah tradisi keagamaan komunitas NU. Karena merupakan
tradisi atau budaya, komunitas muslim non-NU boleh saja tidak mempraktikkan
tahlil, tarekat, dan tawasul.
Saya berpendapat, di
mana saja (Yaman, Suriah, Irak, Mesir, Malaysia, Pakistan, dan Indonesia)
Islam mengajarkan keramahan, kerukunan, dan perdamaian. Kekerasan dan
peperangan di suatu negara muslim tertentu harus dilihat dari konstelasi
politiknya. Di Indonesia pada 1960-an terjadi pemberontakan Darul Islam
pimpinan Kartosuwiryo (Jawa Barat), Daud Beurureh (Aceh), dan Kahar Muzakkar
(Sulawesi Selatan). Pada 1980-an muncul gerakan Komando Jihad pimpinan Imran.
Konflik destruktif Poso dan Ambon awal 2000 juga melibatkan kelompok muslim.
Imbasnya, ”Islam Nusantara” tidak ramah pada waktu itu.
Begitu pun halnya
situasi di Yaman dan Suriah saat ini. Sebagai doktrin, Islam di kedua negara
tersebut mengajarkan keramahan, kerukunan, toleransi, dan perdamaian. Jika
sekarang ini terjadi kekerasan dan peperangan di dua negara itu, yang
disalahkan adalah kelompok-kelompok muslim yang bertikai. Yang dituding
sebagai pemicu konflik, bukan ”Islam Yaman” atau ”Islam Suriah” yang dinilai
keras oleh para pendukung ”Islam Nusantara” yang ramah dan santun.
Saya setuju dan
mendukung sepenuhnya agar konflik dan kekerasan politik seperti di Suriah dan
Yaman tidak terjadi di negeri ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar